Suatu publikasi yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung pada tahun 2006 mencatat bahwa terhitung dari tahun 1790, negara Amerika hanya mempunyai 17 Ketua Mahkamah Agung dan 98 hakim agung. Rata-rata mereka menjabat sepanjang 15 tahun. Para hakim agung itu kadang-kadang menghabiskan 20-30 tahun masa jabatan lagi setelah Presiden yang mencalonkannya sudah meninggalkan Gedung Putih.
Di samping masa jabatan seumur hidup dan tidak dapat dipecat kecuali dengan proses impeachment oleh Konggres, salah satu faktor yang menentukan corak pengisian jabatan hakim agung di Amerika adalah peranan Senat, salah satu kamar parlemen dari Konggres.
Seseorang yang dicalonkan oleh Presiden menjadi hakim agung harus memperoleh persetujuan Senat. Dan organ Senat yang menentukan untuk seleksi awal adalah Komisi Yudisial sebelum dibawa ke rapat paripurna Senat. Sejak berakhirnya perang sipil (1870-an) nyaris semua calon yang diajukan disetujui oleh Senat. Bagi Senat, konfirmasi hakim agung adalah wewenang mandiri yang dilaksanakan tanpa keterlibatan House of Representative. Lagi pula Senat secara tradisional sesungguhnya “tidak begitu berminat” dalam memperhatikan pencalonan itu dibandingkan seleksi jabatan di lingkungan eksekutif yang lain. Senat sadar, berbeda dengan seleksi pejabat lain, dengan rentang masa jabatan mereka seumur hidup, amat sulit untuk menuntut janji atau komitmen apapun dari para calon.
Seperti disampaikan di awal tulisan ini, pengajuan hakim agung adalah salah satu kesempatan menorehkan catatan terbaik bagi seseorang dalam masa kepresidenannya. Bisa diingat di sini saat John Adam mencalonkan John Marshall menjadi Ketua Mahkamah Agung (1801). Hampir 34 tahun lamanya Marshall dalam posisi itu dicatat “mampu mengangkat derajat pengadilan menjadi berkedudukan setara dalam berhadapan dengan eksekutif dan legislatif.” John Adam sendiri hampir 25 tahun kemudian setelah pencalonan itu (1826) berujar, “Marshall adalah hadiah saya untuk rakyat Amerika dan salah satu tindakan terbaik dalam hidup saya.”
Studi yang dilakukan oleh Denis Steven Rutkus dan Maureen Bearden menghitung bahwa sejak 1789-2009 telah dilakukan seleksi terhadap 159 calon dan sesungguhnya hanya 140 calon karena beberapa diantaranya diajukan lebih dari satu kali. Diantara angka itu terdapat 8 calon yang disetujui Senat tetapi tidak melaksanakan jabatan (7 orang) dan 1 orang meninggal dunia setelah diberikan konfirmasi. Dalam rentang waktu itu, sebanyak 36 calon yang tidak dikonfirmasi oleh Senat, sebanyak 11 tidak memperoleh suara dalam voting dan sisanya lalu ditunda atau ditarik pencalonannya oleh Presiden. Penolakan pertama terjadi terhadap John Rutledge yang diajukan oleh Presiden George Washington (17 Desember 1795). Untuk calon yang batal diajukan tetapi berhasil dikonfirmasi Senat pertama kali terjadi atas diri William Paterson (27 Februari 1793). Pencalonannya ditarik kembali oleh Presiden George Washington beberapa hari kemudian dengan alasan “teknis konstitusional: yang bersangkutan masih menjadi anggota Senat yang berakhir hingga 3 Maret 1793. Namun tanggal 4 Maret 1793 ia diajukan kembali dan memperoleh konfirmasi Senat. Kejadian serupa menimpa Pierce Butle yang diajukan oleh Presiden Warren G. Harding 23 November 1922 selama sesi ke-3 dari persidangan Senat yang ke-67. Namun hingga sesi berakhir konfirmasi tidak pernah dilakukan dan yang bersangkutan diajukan kembali pada sesi ke-4 masa sidang itu pada 5 Desember 1922 dan memperoleh persetujuan Senat pada 5 Desember 1922.
Kemudian John M. Harlan II mengalami kejadian serupa. Ia diajukan pada tanggal 9 November 1954 oleh Presiden Dwight D. Eisenhower dalam masa persidangan Senat yang ke-83, tetapi tidak pernah memperoleh persetujuan sampai selesai sesi. Ia dinominasikan lagi pada 10 Januari 1955 saat awal sesi ke-84 dan tak lama kemudian pada 16 Maret 1955 memperoleh persetujuan Senat.
Komposisi Senat berpengaruh juga kepada pencalonan. Roger B. Taney yang dicalonkan oleh Presiden Andrew Jackson (1835) gagal disetujui Senat sebagai hakim agung tetapi kemudian dalam pencalonan setelah terbentuknya Kongres yang baru ia sukses disetujui sebagai Ketua Mahkamah Agung. Demikian juga pencalonan Stanley Matthews oleh Presiden Rutherford B. Hayes (1881) yang gagal memperoleh persetujuan Senat akan tetapi ketika diajukan oleh Presiden James A. Garfield (1881) disetujui sebagai hakim agung oleh Senat.
Paling baru dari kejadian serupa adalah pencalonan John G. Robert Jr, yang sempat ditolak oleh Senat saat diajukan oleh Presiden George Bush (2005). Ia dimaksudkan untuk menjadi hakim agung menggantikan Sandra O’Connor yang mengundurkan diri, tetapi saat Ketua Mahkamah Agung William Renquist meninggal mendadak, Presiden Bush kembali mencalonkannya sebagai Ketua Mahkamah Agung dan disetujui oleh Senat.
Sejak awal kepresidenan Washington hingga awal abad ke-20, Senat cukup memerlukan 1 minggu saja untuk memberikan konfirmasi. Sebaliknya dalam dekade berikutnya, jika dilihat dari tahun 1967-2009, Senat membutuhkan waktu lebih lama lagi. Senat kadang-kadang menunda waktu konfirmasi dan rata-rata membutuhkan waktu 9 minggu untuk sampai tahap persetujuan. Dalam periode ini, karena sikap Senat yang menunda-nunda pembahasan, Presiden George Bush sempat menarik kembali pencaloan 2 calon hakim agung yaitu John G. Roberts Jr. dan Harriet E. Miers (2005) . Belakangan saat John Robert diajukan kembali sebagai Ketua Mahkamah Agung 39 hari kemudian, ia memperoleh konfirmasi Senat.
Mengapa kemudian Senat cenderung menunda-menunda atau memperlambat proses konfirmasi terhadap para calon hakim agung? Senat pernah trauma dengan sifat agresif pengadilan di bawah Ketua Mahkamah Agung Earl Warn pada dekade 1950-an yang mampu menjadi katalisator utama dalam perubahan sosial dan politik di masyarakat, sehingga untuk dekade berikutnya mereka benar-benar mempertimbangkan wajah para calon agar sesuai dengan garis politik yang dikehendakinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H