Mohon tunggu...
Isharyanto Ciptowiyono
Isharyanto Ciptowiyono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pencari Pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyelesaian Keluhan Historis, Beban Indonesia dan Singapura

17 Februari 2014   00:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:46 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hampir 2 pekan belakangan tensi diplomatik Indonesia dengan Singapura menganga tajam. Keputusan Pemerintah Indonesia memberikan nama Usman Harun untuk sebuah kapal perang milik Angkatan Laut menjadi pemicu. Singapura mengaum keras: tidak setuju kedua nama itu dipakai sebagai penanda lambung kapal perang tersebut.

Usman Ali dan Harun Saiddinyatakan bersalah dan dihukum gantung(1968) atas tindakan pemboman MacDonald House di bulan Maret 1965 (kala itu Singapura masih menjadi bagian dari Federasi Malaysia) oleh otoritas Singapura selama Konfrontasi yang diprakarsai oleh Indonesia. Tindakan itu telah menewaskan 3 orang dan melukai 33 orang lainnya. Dari segi operasi militer Indonesia, Usman dan Harun sukses menjalankan operasi pada jantung wilayah musuh. Kebijakan konfrontasi itu digelorakan Presiden Soekarno sebagai reaksi Indonesia terhadapperluasan Federasi Malaysia, yang mencakup pula Sabah, Sarawak dan Singapura. Kedua marinir digantung di Singapura dan dihormati sebagai pahlawan nasional di Indonesia. Sebelum berbagai upaya diplomatic Presiden Soeharto kepada otoritas Singapura untuk memohonkan keringanan hukuman diabaikan oleh Perdana Menteri Lee Kuan Yew. Asisten Pribadi Presiden Soeharto, Tjokronopanolo (kelak Gubernur DKI Jakarta, 1977-1982) memang diizinkan untuk menjenguk kedua marinir itu dalam tahanan, tetapi gagal mengusahakan pembebasan atau permintaan keringanan hukuman atas keduanya.

Sebagian besar segi peristiwa ini telah nyaris dilupakan sampai pemimpin militer Indonesia baru-baru ini memutuskan untuk menggunakan nama itu sebagai nama kapal perang, yang kemudian memicu kemarahan Singapura dengan menyebutkan keputusan itu sebagai tidak sensitif, terutama bagi para keluarga korban.Menurut analisis Reuters, para pejabat pemerintah Singapura berusaha meminta kepada otoritas Indonesia untuk mempertimbangkan kembali pemberian nama itu. Dari sudut pandang Singapura, peristiwa tahun 1965 itu sudah selesai dengan kunjungan kenegaraan Perdana Menteri Lee Kuan Yew yang kemudian mengadakan tabur bunga di pusara kedua pahlawan itu pada tahun 1973. Sejak itu pula, sekalipun tidak pernah ada pernyataan perang diantara kedua negara, hubungan Indonesia dan Singapura kembali membaik.

Indonesia yang tetap bersikukuh dengan keputusan itu—sebagian memperoleh dukungan publik dan para politisi—kemudian memutuskan membatalkan kepesertaannya dalam even Singapore Air Show.

Ketegangan structural antara Indonesia dengan Singapura memang timbul tenggelam, terutama setelah era reformasi. Perdana Menteri Lee Kuan Yew—yang kala itu telah menjadi menteri senior—pernah meragukan kapasitas Presiden Habibie sebagai “orang yang tidak akan pernah diterima pasar.” Sementara Habibie menuding Singapura tidak lebih dari “little red dot” (setitik noktah kecil merah) di peta bumi.

Pemerintah Singapura, alih-alih melanjutkan kecaman, nampaknya senang menggunakan frasa itu, antara lain dengan menyusun buku berjudul “The Little Red Dot:Reflections of Diplomat’s Singapore”, yang mengklaim keberhasilan peran negara itu mencapai kesejahteraan.

Tetapi tensi Indonesia dengan Singapura memangberurusan dengan politik. Saat menolak upaya permohonan keringanan atau pengampunan atas Usman dan Harun, Lee Kuan Yew melalu otoritas terkait pernah mengatakan bahwa penolakan itu “have done otherwise without conceding that the small must always defer to the big and irretrievably compromising our sovereignty.”

Namun, jika Singapura bersikeras bahwa yang kecil tidak harus tunduk kepada yang besar, maka Indonesia sama-sama bersikeras bahwa yang besar tidak harus tunduk kepada si kecil. Beberapa hari lalu, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto menyatakan bahwa "fakta bahwa ada persepsi yang berbeda atas kebijakan pemerintah Indonesia dengan negara-negara lain, dalam hal ini Singapura, tidak bisa membuat kita mundur atau menunda pelaksanaan keputusan dan implementasi sebuah kebijakan.

Ketegangan Indonesia dengan Singapurakemudian dibungkus dengan menggemakan retorika nasionalis pemimpin politik mereka. Namun apa yang sangat mencolok dalam hal ini adalah perbedaan antara wacana "resmi" dan dengan wacana "populer.” Sementaratiap politisi telah mencoba untuk menggalang dukungan untuk posisi mereka masing-masing melalui media massa, telah menimbulkan resonansi terbatas bagi masyarakat Singapura dan Indonesia, yang menganggap satu sama lain sebagai "teman".

Campuranwacana tersebut menjadi bukti bahwa narasi nasionalis, yang dominan kemudian diimbangi dengan refleksi diri di kalangan masyarakat umum di kedua negara. Pada tanggal 8 Februari, The Jakarta Post menerbitkan sebuah editorial berjudul "Can We Be More Sensitive?" Sementara pada hari yang sama, seniman Singapura Alfian Sa'at berpendapat bahwa penolakan Singapura untuk memberikan grasi kepada dua Marinir Indonesia bisa menyebabkan mereka menjadi "martir," yang menjadi sumber ketegangan dan penyebab konflik yang muncul dewasa ini.

Tentu bukan kapasitas tulisan ini untuk menilai mana yang benar tetapi terbukti bahwakeragaman wacana itu merupakan bukti pluralisme dalam masyarakat Indonesia dan Singapura. Keinginan untuk memahami perspektif orang lain, meskipun atas nama patriotisme dan nasionalisme, merupakan suatu pertanda baik untuk hubungan antara kedua negara, setidaknya pada tingkat people-to-people.

Artikel ini berpendapat bahwa asimetri kekuasaan telah membentuk watak dasar antara Singapura dan Indonesia, yang mengarah ke kebuntuan diplomatik antara kedua negara. Hal ini juga menunjukkan adanya ketimpangan antara wacana resmi dengan wacana di tingkat awam. Dengan pengecualian dari keluarga yang terkena dampak pemboman 1965, kebijakan Konfrontasi, yang berlangsung setengah abad yang lalu, telah memberi resonansi bagi Singapura dan Indonesia sama-sama peduli akan stabilitas dan perdamaian, hal mana terbukti bahwa kedua negara memiliki peran sentral dalam posisi sebagai sama-sama perintis Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).


Sejak berdirinya ASEAN 1967, Indonesia dan Singapura terus memainkan peran yang sangat penting dalam ASEAN. Indonesia memiliki peran aktif dalam mediasi Thailand dan Kamboja selama konflik Preah Vihear , melalui proses " shuttle diplomacy " yangmerupakan karya Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa. Jangan lupa, Indonesia pada akhir 1980-an memainkan peran penting dalam menyelesaian pertikaian di Kamboja dan menciptakan perdamaian di Mora, Filipina. Singapura juga berperan penting dalam pengaturan dari banyak inisiatif ASEAN terutama Forum Regional ASEAN, ASEAN Plus Tiga, ASEAN Defence Ministers Meeting, dan Pertemuan Asia-Eropa (ASEM).

Mengingat pentingnya Indonesia dan Singapura untuk ASEAN, sangat disayangkan bahwa adanya kebuntuan diplomatik yang bisa jadi mempertaruhkan mimpi besar ASEANsebagai suatu "komunitas keamanan." Sudah saatnya bagi Indonesia dan Singapura untuk menyisihkan keluhan historis mereka, sekalipun ini sulit, dan kemudian berkonsentrasi pada wilayah di mana kerjasama lebih lanjut dapat dicapai, sehingga mempertahankan visi mereka bersama untuk menciptakan Komunitas ASEAN stabil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun