Mohon tunggu...
Isharyanto Ciptowiyono
Isharyanto Ciptowiyono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pencari Pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Hegemoni AS, Masihkah Bertahan?

24 Februari 2014   09:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:32 1064
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Hegemoni global" dapat didefinisikan sebagai suatu situasi di mana terdapat hanya 1 negara yang mampu memainkan peran utama dalam mengorganisir, mengatur, dan menstabilkan ekonomi politik dunia. Penggunaan kekuatan bersenjata selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari hegemoni tersebut, tapi kekuatan militer tergantung pada sumber daya ekonomi di negara yang bersangkutan. Pendekatan militer semata-mata tidak dapat digunakan untuk menjawab setiap ancaman terhadap kepentingan geopolitik dan ekonomi, dan menimbulkan bahaya lintas negara, seperti yang terjadi terhadap Inggris di Afrika Selatan (1899-1902) dan Amerika Serikat di Vietnam ( 1962-1975 ).

Inggris memegang hegemoni pada tahun 1815-1913, akan tetapi sejak 1890-an negara ini berada di bawah tantangan ekonomi AS dan Jerman, dan saat terjadi 2 perang dunia tidak lagi mampu berfungsi sebagai penjamin emisi ke sistem global.

Hegemoni AS dimulai sejak Perang Dunia Kedua (1939-1945) dan mencapai puncaknya sekitar 30 tahun kemudian. Negara AS masih memiliki kekuatan besardi bidang ekonomi dan politik internasional tetapi belakangan peran itu surut. Supremasi militer tidak lagi cocok di bidang ekonomi dan politik. Bahkan selama hari-hari keemasan pada tahun 1944-1971 AS tidak mampu menghindari kekalahan militer di Vietnam dan “hanya” imbang di Korea. Ada beberapa situasi di mana hegemoni AS dewasa ini mulai surut.

Pada tahun 1950 Amerika Serikat memasok setengah produk bruto dunia, sementara saat ini tinggal 21 persen. Sebanyak 60% produk manufaktur dunia berasal dari AS, sementara pada tahun 1999 tinggal 25% saja. Untuk ekspor jasa komersial, sektor yang paling berkembang dalam ekonomi global, AS menyumbang 24% pada tahun 2001, sementara Uni Eropa sebanyak 23% atau 40% jika ekspor diantara persekutuan negara ini dihitung.

Pada tahun 2002 saja, dominasi sektor industri mulai ditempati oleh perusahaan non AS. Dominasi itu meliputi 9 dari 10 industri elektronik terbesar, 8 dari 10 industri otomotif, 7 dari 10 perusahaan penyulingan minyak, 6 dari 10 perusahaan telekomunikasi, 5 dari 10 perusahaan farmasi, 4 dari 6 industri kimia, dan 4 dari 7 perusahaan penerbangan. Dari 25 bank terbesar di dunia, 19 diantaranya adalah perbankan non AS, sekalipun posisi puncak Citibank dan Bank of America belum tergeser.

Pada saat yang sama, dalam kelompok 2000 perusahaan dunia yang memiliki asset di banyak negara asing, terdapat 23 perusahaan AS. Sementara secara bersama-sama, Inggris, Prancis, Jerman, dan Belanda (yang GDP-nya 1/70 AS) memiliki 40 perusahaan, Jepang 16 perusahaan. Bahkan pada 1990, dalam transaksi saham diantara 100 perusahaan multinasional terbesar dunia, pengaruh AS berkurang dari 30% menjadi 40%, sementara di saat bersamaan Uni Eropa meningkat dari 41% menjadi 46%.

Nilai investasi asing langsung (FDI, Foreign Direct Investment) perusahaan-perusahaan AS pada tahun 2001 adalah 21%, menurun tajam dibandingkan sebesar 47% pada tahun 1960. Sepanjang 1996-2001, transaksi investasi asing baru yang berasal dari AS sebanyak 16% sementara Inggris 16%, dan Prancis bersama-sama Belgia dan Luksemburg mencatatkan saham sebesar 21%.

Dalam keuangan global, pengaruh AS tidak hanya kurang dominan, tetapi juga rentan. Peranan mata uang dolar sebagai mata uang utama dunia mulai terkikis sejak 1970-an. Pada 1981-1995, jumlah tabungan swasta yang dinominasikan dalam mata uang Eropa telah meningkat dari 13% menjadi 37%Antara 1981 dan 1995, porsi tabungan dunia swasta diselenggarakan dalam mata uang Eropa meningkat dari 13 persen menjadi 37 persen, sedangkan pangsa dolar turun antara 40-67%. Sebanyak 40% obligasi baru telah diterbitkan dalam euro sejak mata uang baru itu diperkenalkan pada tahun 1999, mendekati 48% yang dikeluarkan dalam bentuk dolar. Cadangan devisi yang dipegang oleh bank-bank sentral di seluruh dunia tinggal 50%, melorot tajam dibandingkan dengan kisaran 76% pada tahun 1976. Pada tahun 2001, proporsi itu kembali naik menjadi 68%, Setengah cadangan devisa yang dipegang oleh bank-bank sentral dunia yang terdiri dari dolar pada tahun 1990 dibandingkan dengan 76 persen pada tahun 1976 , proporsi naik kembali ke 68 persen pada tahun 2001 karena pengurangan cadangan oleh bank-bank di Uni Eropa untuk membuka jalan bagi euro. Untuk pertama kali sejak Perang Dunia II, pembayaran secara universal telah menggunakan mata uang di luar dolar.

Sejak tahun 1970, AS mengalami deficit perdagangan, sesuatu yang terjadi pertama kali dalam 80 tahun. Hanya pada tahun 1973 dan 1975, nilai ekspor melampaui nilai impor. Transaksi berjalan yang sudah sejak 1895-1977 selalu mengalami surplus, lepas masa itu kemudian merosot tajam. Investasi domestik AS berkurang dibandingkan dengan investasi di luar negeri pada tahun 1990. Pada tahun 2002, untuk pertama kali saldo investasi AS negatif.

Deficit transaksi berjalan kemudian ditutup dengan utang. Pada 2002, AS membubuhkan rekor utang luar negeri sebesar 503 miliar dolar, yang berarti hampir 4,8% dari GDP. Ini merupakan kejadian merangkak di mana sejak 1986, AS berubah menjadi negara pengutang.  Aset asing di AS kini sebesar 2,5 triliun dolar lebih besar dibandingkan dengan asset AS di luar negeri.  Perusahaan AS terus berinvestasi di luar negeri, akan tetapi tidak dapat dilakukan dengan pendapatan saat ini. Sementara itu, tingkat surplus neraca Inggris telah meningkat 4-5% dibandingkan PDB tiap tahun pada 1895-1913.

Oleh sebab itu, menghadapi ekonomi domestic yang merosot sejak dekade 1970-an, AS semakin gencar dalam mempromosikan perdagangan internasional. Menunjuk kepada Undang-Undang Tarif 1974, AS bisa mengajukan gugatan hukum terhadap negara manapun yang kesepakatan perdagangan, atau apabila suatu negara melakukan diskriminasi yang tidak masuk akal dan membatasi aktivitas perdagangan AS. Bentuk kesepakatan baru seperti “Orderly Marketing Agreement” telah dipaksakan kepada Korea Selatan, Hong Kong, dan Taiwan pada tahun 1973 untuk membatasi perdagangan kapas dan tekstil sintesis ke AS. Pada tahun 1981, AS berhasil mendesak Jepang untuk memperlambat laju ekspor otomotifnya. Bahkan GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) ditunda pemberlakuannya pada 1982 karena sikap menentang Eropa terhadap usulan AS, tetapi tidak diikuti putaran perundingan baru.

Untuk selanjutnya, AS memainkan pedang ganda: melakukan perundingan bilateral atau memaksakan kebijakan-kebijakan perdagangan multilateral. Sebagai hasilnya, tercapai kesepakatan perdagangan bilateral dengan negara-negara Karibia (1984), Israel (1985), Kanada (1988), dan Meksiko (1994).

Pemerintah AS semakin panic dan kemudian memakai perisai Undang-Undang Tarif 1974 untuk memerangi agresivitas ekonomi asing. Dengan UU ini ratusan penyelidikan terhadap kesepakatan perdagangan dilakukan. Pada Oktober 1993, jumlah penyelidikan terbesar dilakukan terhadap Jepang, yang dituding melanggar kesepakatan 1981 mengenai ekspor otomotif. Tarif 100% dikenakan terhadap 13 mobil buatan Jepang dan memaksa negeri sakura itu untuk menderegulasi perdagangan komponen otomotif supaya ratusan ribu produk onderdil AS dapat masuk ke Jepang. Kesepakatan baru diresmikan 1995 saat Jepang bersedia secara samar-samar untuk menderegulasi komponen suku cadang dan meningkatkan layanan dealer bagi mobil buatan AS. Tetapi para pemain otomotif Jepang sama sekali tidak menggubris kesepakatan itu karena tidak bisa mengerem laju ekspor mobil Jepang ke AS.

Pada tahun 1998, AS terhempas akibat kekalahan 3 tuntutan mereka di WTO (World Trade Organization). Pada bulan Januari, panel WTO memutuskan bahwa dukungan pemerintah Jepang terhadap Fuji untuk bersaing dengan Kodak bukanlah suatu bentuk pelanggaran perdagangan bebas. Pada bulan Mei, WTO memutuskan AS tidak berwenang untuk membatasi impor udang. Pada bulan Juni, panel banding WTO mengizinkan Uni Eropa untuk melindungi peralatan computer dan industry telekomunikasi dengan sistem tarif.

AS kemudian mengajukan complain soal pembatasan kuota impor pisang Uni Eropa, yang dibatasi hanya dari bekas koloni mereka di Afrika dan Karibia. AS juga menggugat larangan impor hormone pertumbuhan sapi di Uni Eropa. Pada April 1999, WTO menerima complain AS dengan meminta Uni Eropa agar membuka akses lebih luas untuk impor pisang. Demikian pula untuk hormone pertumbuhan sapi, WTO memutuskan kebijakan Uni Eropa itu illegal, akan tetapi memutuskan pula bahwa ganti rugi yang diberikan kepada AS sebesar 128 juta dolar, dari tuntutan awal 900 juta dolar.

Uni Eropa memukul balik. Pada Juli 1999, sebuah panel WTO menyetujui gugatan Uni Eropa dan memerintahkan pembatalan UU Penjualan Korporasi Asing AS (1971) karena di dalamnya mengatur subsidi terselubung. Putusan ini merupakan kekalahan terbesar AS dalam diplomasi dagang.  Berdasarkan UU ini, sekitar 6000 perusahaan AS telah menikmati keringanan pajak hingga 30%. Caranya: mendirikan anak perusahaan untuk ekspor di negara “tax heaven” seperti Bermuda dan Barbados. Keringanan pajak itu dinikmati hingga nilai 1 miliar dolar untuk Boeing dan General Elektric (1991-2000) dan mencapai lebih dari 500 juta dolar untuk Motorola, Honeywell, Caterpillar, dan Cisco. Berkali-kali usaha Uni Eropa untuk membatalkan ketentuan itu dikritik pemerintah AS akan menciptakan bom nuklir dalam perdagangan internasional.

Presiden Bush pada tahun 2002 menciptakan blok permusuhan lagi saat menerbitkan aturan untuk menekan laju impor baja dari Asia, Eropa, dan Amerika Latin. Uni Eropa, bersama-sama Jepang, China, Korea Selatan, Selandia Baru, Swiss, Norwegia, dan Brasil, mengancam akan memberikan balasan. Sementara, kalangan pelaku usaha AS mengeluh bahwa akibat aturan itu mereka tidak lagi dapat memperoleh baja dalam kualifikasi khusus yang mereka butuhkan. Akibatnya, AS mengalah dan menghapus ketentuan itu. Tetapi segera memberlakukan tarif 369% atas impor baja dari Kanada, Brasil, Meksiko, dan Ukraina. Pada Maret 2003, WTO memutuskan aturan itu illegal, yang memperpanjang daftar kekalahan AS dalam kancah perdagangan global.

Hanya dalam sektor pertanian AS begitu defensif. Dua tahun sesudah kekalahan menyakitkan di WTO soal baja, Presiden Bush menandatangani UU yang mengizinkan pemerintah untuk memberikan subsidi kepada produk pertanian dengan meningkatkan anggaran negara sebesar 80% dan itu diperkirakan menghabiskan kira-kira 190 miliar dolar dalam 10 tahun. Keputusan Bush dianggap merusak komitmen perdagangan global yang dirumuskan di Jenewa untuk memangkas subsidi pertanian, yang mestinya akan diberlakukan juga untuk Uni Eropa, Jepang, dan Korea Selatan. Pada bulan Mei, AS bersama-sama dengan Kanada dan Argentina mengajukan keberatan kepada WTO atas penundaan penghapusan subsidi rekayasa genetic di Uni Eropa. AS juga berhasil memaksa Mesir untuk meninggalkan kesepakatan serupa dengan Uni Eropa.

Tetapi pertempuran abadi AS dengan Eropa berlangsung dalam industry penerbangan: antara Boeing dan Airbus. Sebanyak 4 negara—dengan subsidi dan pinjaman—membangun Airbus untuk menjadi lawan Boeing pada tahun 1970. AS tentu saja mengkritik itu, tetapi Airbus berdalih bahwa terhadap Boeing AS pun melakukan perlindungan besar dari pengadaan pesawat militer hingga misi angkasa luar. Saat Airbus meningkat kinerjanya hingga 30% akibat pesanan pesawat baru yang mulai marak pada 1992, maka sebuah kekalahan baru bagi AS nampaknya mulai menganga. Tetapi, produsen komponen pesawat tidak bisa dipengaruhi perseteruan politik. General Eletric dan Lockheed Martin terus saja memasok kebutuhan komponen pesawat. Bahkan pada 1997, Boeing memasok suku cadang senilai 2 miliar dolar, yang menhasilkan 60 ribu lapangan kerja di Eropa. Bahkan, beberapa perusahaan AS atau anak perusahaan mereka di Eropa, masih mengerjakan pesanan Airbus. Pada tahun 2001, Airbus berhasil menggeser Boeing dalam produksi pesawat komersial, disusul keberhasilan berikutnya melayani pesawat militer untuk 7 negara Eropa. Dan sekarang bahkan menjadi perusahaan terkemuka untuk pesawat komersial. (Ingat, tahun 1998, IMF—yang dikendalikan Eropa—memberikan utang kepada Indonesia, dengan konsekuensi Indonesia harus menutup atau mencabut subsidi kepada pabrik pesawat kita, PT DI. Nampaknya supaya kelak tidak menjadi saingan penting bagi Airbus.)

Jangan lupa, sanksi ekonomi kepada “musuh” AS yang berhasil hingga sebelum 1970, pada tahun 1980-an tingkat keberhasilannya hanya 10%. Sanksi ekonomi kepada Kubah diremehkan, bahkan oleh Inggris, yang pada tahun 1982 sukses menggagalkan perdagangan turbin dan perlengkapan lainnya untuk pembangunan pipa gas dari perusahaan AS kepada Jerman (waktu itu) Barat.

Pada tahun 1998, AS nampaknya dipaksa untuk meringankan sanksi bagi perusahaan AS yang memiliki property di Kuba. Sebagai gantinya, Uni Eropa bersedia untuk membatasi jual beli senjata ke Libya dan Iran. Bagaimanapun, pemerintah AS memperoleh kecaman dari pengusaha domestic bahwa di kedua negara itu,  hanya Eropa yang memetik keuntungan dalam bisnis dan perdagangan.

Jangan lupa, China pun mulai bangkit secara ekonomi, yang berpotensi untuk mengikisi habis dominasi AS selama 50 tahun terakhir. Membanjirnya barang-barang elektronik dengan mutu yang bagus dari Singapura dan Jepang, merangsang negara-negara di Asia Timur untuk menciptakan zona perdagangan bebas. Bagaimanapun, Asia adalah kawasan dengan pertumbuhan ekonomi yang cepat.

Sementara itu, Eropa makin gencang berbisnis di Amerika Latin. Dari 25 perusahaan asing terbesar di kawasan ini, 14 adalah perusahaan Eropa, sedangkan sisanya dari AS. Untuk itu, AS berusaha merangkul negara Amerika Latin untuk mencapai kesepakatan perdagangan bebas bilateral, seperti terhadap Chile, Kolombia, Dominika, dan 5 negara di Amerika Tengah. Tetapi negara dengan potensi ekonomi tinggi seperti Brazil dan Argentina menjalin kesepakatan serupa dengan Uruguay dan Paraguay sejak 1991. Persekutuan ekonomi ini menjadi kekuatan terbesar ketiga dunia sesudah Uni Eropa dan NAFTA.  Brazil dan sekutunya berusaha memperluas keanggotaan persekutuan itu ke negara Amerika Latin lain, sembari meningkatkan kerjasama dengan Uni Eropa.

AS nampaknya harus menghadapi kenyataan baru dalam pergulatan politik dan ekonomi global. Bagaimanapun, peran hegemoni negara itu masih nyata, walaupun sudah mulai terkikis dalam banyak momen dan fakta. Barangkali itulah kelemahan AS dewasa ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun