Mempertahankan stabilitas demokrasi dalam sistem presidesial dalam konteks fragementasi partisan dalam fungsi legislatif, bukan sesuatu yang mustahil. Sampai hari ini masih banyak pakar yang meragukan sistem multipartai dalam demokrasi presidensial.
Pada awal 1990an, kritik presidensial yang mengemuka dilakukan oleh Juan J. Linz dan kemudian memiliki pengaruh luas dan cendekiawan yang memiliki pandangan serupa akan mengatakan “sulit menggabungkan antara sistem presidensial dengan demokrasi multipartai.”
Para pakar dengan pesimis mengatakan demokrasi multipartai berbahaya bagi sistem presidensial dengan menunjuk kemungkinan jalan buntu dalam hubungan pemerintah dan DPR, akibat tajamnya polarisasi ideology dan sulitnya mencapai kesepakatan dengan banyak partai politik. Sistem presidensial akan sukses jika menggunakan demokrasi seperti di AS, hanya ada 2 partai politik yang dominan.
Tetapi nampaknya demokrasi multipartai dalam sistem presidensial tetap bergeming. Amerika Latin acapkali dijadikan contoh mengenai hal ini. Argelina Figueredo dan rekan-rekannya meneliti bahwa hampir seperempat abad, 1979-2006, diantara negara-negara Amerika Latin hanya 2 yang memiliki pemerintahan dengan satu partai dominan yaitu Kosta Rika dan Meksiko. Sebanyak 6 negara yaitu Bolivia, Brazil, Chili, Kolumbia, Ekuador, dan Panama, memeiliki pemerintahan koalisi presidensial dalam periode yang sama, sementara 4 yang lain (Argentina, Paraguay, Venezuela, dan Uruguay) juga memiliki koalisi presidensial menjelang akhir periode itu. Kombinasi demokrasi multipartai dengan sistem presidensial merupakan hal yang unik dalam praktik ketatanegaraan AS.
Kombinasi semacam itu harus dipandang sebagai kasus khusus yang berhubungan dengan fungsi Parlemen yang biasa terjadi dalam demokrasi parlementer maupun sistem dua partai seperti di AS. Dengan kata lain, banyak kajian yang tak tajam dalam menggrap nuansa koalisi dalam sistem presidensial.
Kajian menjadi bias sebab para teoritisi kerap menggunakan ketidakstabilan pemerintah yang berpijak pada teori dan praktik di Eropa atau semata-mata hanya melihat AS.
Hingga 1980, memang ada rumus mujarab yang disepakati para pakar: dua partai dominan. Hal itu berlaku bagi demokrasi parlementer maupun presidensial yang akan menghasilkan kesetaraan antara pemerintah dengan partai politik.
Namun sejak 1980-an pula, para pemikir perbandingan politik beranjak untuk menghentikan pandangan biasa itu. Para paakr mulai memikirkan serius aspek sistem multipartai, termasuk kewajiban kompromi, tolerasni dan inklusifitas. Riset-riset mengenai sistem presidensial didominasi oleh pakar perbandingan politik, yang menghasilkan pandangan yang realitis daripada argument Linz soal “bahaya presidensialisme.”
Praktik di Amerika Latin dan Asia akhir-akhir ini mengkonfirmasikan viabilitas dan fungsionalitas dari pemerintahan koalisi, sembari muncul anggapan kontrovesi bahwa mekanisme itu akan berjalan kalau ada Presiden yang “kuat.” Brazil dan Chile ditunjuk sebagai contoh bagus praktik ini. Dibandingkan negara-negara lain dalam satu kawasan, kepemimpinan Presiden di kedua negara itu lebih kuat. Bolivia, Meksiko, dan Venezuela, dengan kekuasaan formal Presiden yang kuat, justru tidak berjalan dengan baik. Mengapa demikian?
Di Bolivia dan Venezuela , Presiden berupaya untuk mengkonsentrasikan kekuasaan dan menciptakan proses yang tidak stabil. Di Meksiko, pemerintah baru menghadapi kebuntuan karena lahirnya divided government.
Negara-negara yang sukses melaksanakan sistem presidensial dan demokrasi multipartai menjadi pioner dalam menerapkan sistem perwakilan proporsional seperti Kosta Rika (1913), Uruguay (1918), Chile (1925), dan Brazil (1933). Negara-negara ini telah mengalami pengalaman panjang mengenai multipartai di Amerika Latin. Negara-negara yang mengadopsi sistem perwakilan proporsional paling akhir (Argentina dan Meksiko, 1963) telah melahirkan sistem kepartaian hegemonik, suatu penyakit dari keterbelahan politik yang tajam.
Ada 3 hal yang menyebabkan kombinasi demokrasi multipartai dan sistem presidensial gagal: kekuasaan presiden, politik dagang sapi peserta koalisi (posisi cabinet, patronase, dan sebagainya) yang menyebabkan eksekutif gagal memperoleh dukungan DPR, dan nihilnya check and balances untuk mengimbangi diskresi Presiden.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H