Presiden Joko Widodo mengumumkan susunan kabinetnya, Minggu (26/10/2014), di Istana Negara, Jakarta. Ada 4 menteri koordinator dengan 34 kementerian dan lembaga setingkat menteri. Nama kabinet Jokowi-JK adalah Kabinet Kerja. Saya mencatat ada 3 keunikan dari penggunaan wewenang konstitusional Presiden Joko Widodo tersebut dibandingakn era sebelumnya.
Penamaan Kabinet
Beredar luas di media sebelumnya bahwa nama kabinet Presiden masa bakti 2014-2019 itu adalah Kabinet Trisakti, mengambil ajaran mantan Presiden Soekarno yang selalu didengang-dengungkan utamanya saat pemilu presiden tempo hari. Tetapi saat diumumkan namanya adalah Kabinet Kerja. Barangkali menyesuaiakan ambisi sang presiden yang sesuai pidato pelantikannya 20 Oktober lalu untuk mengisi hari-harinya dengan “kerja, kerja, dan kerja.” Nama kabinet kerja bukan hal yang baru. Nama Kabinet Kerja pernah digunakan oleh Presiden Soekarno sebagai nama kabinet yaitu (i) Kabinet Kerja I (10 Juli 1959-15 Februari 1960, 33 personel); (ii) Kabinet Kerja II (10 Februari 1960-6 Maret 1962, 40 personel); (iii) Kabinet Kerja III (6 Maret 1962-13 November 1963, 60 personel); (iv) Kabinet Kerja IV (13 November 1963-27 Agustus 1964, 66 personel).
Penamaan kabinet bukan masalah konstitusi. Ia biasanya merupakan label yang diberikan oleh Presiden dan umumnya menyesuaikan dengan psikologis sosial politik atau menunjukkan skala dan focus pemerintahan yang dijalankan. Usai mengomandokan Dwi Komando Rakyat (Dwikora), suatu reaksi politik dan militer Presiden Soekarno dalam melaksanakan Konfrontasi dengan Malaysia, dilakukan perombakan kabinet tak lama kemudian. Terbentuklah Kabinet Dwikora I (27 Agustus 1964-22 Februari 1966, 110 menteri), Kabinet Dwikora II (24 Februari 1966-28 Maret 1966, 132 menteri), dan Kabinet Dwikora III (28 Maret 1966-25 Juni 1966, 79 menteri).
Dipandang tidak sesuai dengan psikologis politik dan untuk mengenang aksi-aksi massa di penghujung 1965 yang berslogan Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera), seiring dengan tindakan MPRS yang menempatkan Soekarno sebagai kepala negara, sementara aksi pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh sebuah Presidium Kabinet yang dipimpin oleh Soeharto maka kabinet pun dirombak.
Untuk pertama kali Kabinet Ampera dibentuk 25 Juli 1966 dengan 31 kementerian yang menjalankan tugas hingga 17 Oktober 1967. Kemudian, usai penyerahan kekuasaan Presiden Soekarno kepada Soeharto pada Februari 1967, maka dibentuk Kabinet Ampera II (17 Oktober 1967-6 Juni 1968). Dalam kerja kabinet ini, Soeharto masih sebagai Pejabat Presiden hingga ditetapkan oleh MPRS sebagai Presiden pada 6 Juni 1968.
Sejak 1968 inilah Soeharto menjadi Presiden dan kemudian mampu mengkonsolidasikan kekuasaan dengan visi politik “pembangunan”, kata yang selalu ada dalam tutur lisan maupun pidato resmi kenegaraan. Oleh sebab itu, Soeharto memberikan nama kabinetnya adalah Kabinet Pembangunan I (6 Juni 1968-28 Maret 1973, 24 kementerian), Kabinet Pembangunan II (28 Maret 1973-29 Maret 1978, 24 kementerian), Kabinet Pembangunan III (29 Maret 1978-19 Maret 1983, 32 kementerian), Kabinet Pembangunan IV (19 Maret 1983-23 Maret 1988, 42 kementerian), Kabinet Pembangunan V (23 Maret 1988-17 Maret 1993, 44 kementerian), Kabinet Pembangunan VI (17 Maret 1993-14 Maret 1998, 43 kementerian), dan Kabinet Pembangunan VII (14 Maret 1998-21 Mei 1998, 38 kementerian)
Sesudah Soeharto menyatakan berhenti pada 21 Mei 1998 dan Wakil Presiden B.J. Habibie menggantikan sebagai Presiden, maka selang sehari kemudian, pada Jumat 22 Mei 1998, Preisden Habibie mengumumkan kabinet yang diberi nama Kabinet Reformasi Pembangunan. Penggunana kata reformasi menunjukkan penyerapan kata dan slogan yang menjadi psikologis politik masyarakat saat itu.
Saat Presiden Abdurrahman Wahid membentuk kabinet, sama sekali tidak diberikan nama resmi akan tetapi media dan publik memberikan nama Kabinet Persatuan Nasional. Julukan lain adalah Kabinet Garansi, mengingat personel kabinet yang diumumkan 26 Oktober 1999 itu, masuk struktur karena garansi dari ketua partai pendukung dan Panglima TNI. Presiden Wahid sendiri menghendaki agar nama kabinet diberikan nama sesuai pembentuknya, misalnya menjadi Kabinet Abdurrahman Wahid.
Kata ‘gotong royong’ selalu menjadi idiom, terutama kalangan politisi PDI-Perjuangan untuk memuat argumentasi-argumentasi mereka sehubungan dengan isu-isu politik termasuk pemilihan presiden dan wakil presiden serta pembentukan pimpinan MPR dan DPR. Oleh sebab itu, ketika membentuk kabinet usai dilantik MPR 23 Juli 2001, Megawati menamai kabinetnya dengan nama Kabinet Gotong Royong.
Saat pemilu presiden 2004, kelompok elit terbelah ke dalam Koalisi Kebangsaan (dimotori oleh PDI-Perjuangan) dan Koalisi Kerakyatan (dimotori oleh Partai Demokrat). Presiden Yudhoyono yang terpilih kemudian berusaha memperoleh dukungan semua kekuatan politik yang ada kecuali dari PDI-Perjuangan, sehingga memberi nama kabinetnya Kabinet Indonesia Bersatu I (21 Oktober 2004-22 Oktober 2009) dan nama ini dipertahankan dalam periode kedua kepresidenannya (22 Oktober 2009-22 Oktober 2014). Presiden Yudhoyono sukses menggalang kekuatan partai politik pendukungnya, sekalipun kadang-kadang kurang bisa mendisiplinkan mereka dalam isu-isu tertentu.
Tempat Pengumuman
Sepanjang kepresidenannya, Soeharto selalu mengumumkan kabinet di Istana Kepresidenan. Acara berlangsung formal dan khidmat. Presiden didampingi oleh Wakil Presiden. Soeharto memberikan penjelasan dan pengantar singkat dan kemudian membacakan susunan menteri-menteri. Calon-calon menteri yang biasanya sudah diberitahu menanti sambil menunggu di rumah dengan mengundang keluarga dan insan pers. Banyak diantara menteri-menteri itu yang umumnya sama sekali tidak menyangka diajak bergabung dengan kabinet.
Demikian pula Presiden Habibie mengumumkan Kabinet Reformasi Pembangunan di Istana Kepresidenan. Karena tidak ada Wakil Presiden, maka Habibie hanya didampingi pejabat teras secretariat negara dan politisi Golkar yang menjadi kepercayaannya. Presiden Wahid mengumumkan pengantar dan latar belakang pembentukan kabinet di Istana Kepresidenan, tetapi Wakil Presiden Megawati yang membacakan nama-nama menteri. Saat perombakan kabinet pada Agustus 2000, Presiden Wahid menjelaskan latar belakang dan pengantar perombakan kabinet. Saat itu, sebelumnya, Presiden Wahid telah memerintahkan kepada Yudhoyono (Menteri Pertambangan dan Energi),Erna Witoelar (Menteri Permukiman dan Pengembangan Wilayah), dan Ryas Rasyid (Menteri Negara Otonomi Daerah) untuk menyiapkan konsep struktur kabinet supaya lebih ramping dibandingkan sebelumnya yang mencapi 36 menteri. Tetapi Wakil Presiden Megawati tidak mendampingi dalam pengumuman itu oleh karena hal-hal yang tidak pernah dijelaskan resmi kepada publik. Susunana kabinet dibacakan oleh Sekretaris Kabinet Marsilam Simanjuntak.
Presiden Megawati saat mengumumkan kabinet Gotong Royong juga di Istana Kepresidenan pada 9 Agustus 2001. Di samping memberikan kata pengantar, Megawati sendiri yang membacakan susunan menteri-menteri dengan didampingi oleh Wakil Presiden Hamzah Haz.
Sebelum dilantik, Yudhoyono mempunyai komitmen untuk segera menyusun kabinet dan segera bekerja. Namun sepanjang semalam berikutnya, waktu pengumuman berubah terus hingga akhirnya baru diumumkan pada 21 Oktober 2004 nyaris pada pukul 00.00 WIB. Yudhoyono mengemukakan pokok-pokok pengantar dan membacakan susunan menteri dengan didampingi oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dalam masa bakti yang kedua, waktu pengumuman lebih tertata. Audisi kabinet telah dilakukan sebelum pelantikan berlangsung di kediaman pribadi Cikeas dan bahkan telah memerintahkan setiap kandidat untuk memeriksakan kesehatan di RSPAD Gatot Subroto. Yudhoyono memastikan standar kesehatan kandidat sebelum dilantik. Kabinet resmi diumumkan di Istana Kepresidenan pada 22 Oktober 2014 dengan didampingi oleh Wakil Presiden Boediono.
Harus diakui format pengumuman kabinet oleh Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka—awalnya direncanakan di Pelabuhan Tanjung Priok—berbeda dengan era sebelumnya. Lebih santai dan American style. Calon menteri bukan saja diumumkan tetapi diminta hadir dengan kostum seragam dan dibacakan kepakaran dan pertimbangan-pertimbangan mengapa mereka ditunjuk menjadi menteri. Untuk pertama kali pula, ibu negara Iriana Joko Widodo dan isteri Wakil Presiden Jusuf Kalla menghadiri acara itu. Lagipula, untuk pertama kali pula, Presiden mengumumkan kabinet tanpa banyak pidato dan tidak didahulu uraian pengantar.
Perubahan Detik-Detik Terakhir
Sejak kepresidenan Abdurrahman Wahid, perencanaan personalia kabinet memang penuh kejutan. Dalam mempersiapkan kabinet, Presiden Wahid dan Wakil Presiden Megawati mengalami dinamika. Ketua partai pendukung hilir mudik ke Istana untuk memastikan jagonya tetap ditunjuk mengingat gaya personal Presiden Wahid yang mudah berubah dalam mengambil keputusan. Ada tarik menarik yang cukup kencang. Bahkan secara mengejutkan Presiden Wahid mengumumkan pembubaran kementerian penerangan dan kementerian sosial tanpa perencanaan yang memadai yang menimbulkan kegelisahan public dan memancing penggunaan hak interpelasi DPR. Demikian pula untuk perombakan kabinet di Agustus 2000. Konsep struktur kabinet yang diusulkan Yudhoyono dan timnya ada yang diterima tetapi ada pula yang tidak.
Presiden Megawati memerlukan waktu hingga 17 hari sejak pelantikannya dalam mempersiapkan kabinet. Bahkan saat diumumkan 9 Agustus 2001, nama Jaksa Agung belum ditetapkan sehingga ditunda pengumumannya dan menunjuk Wakil Jaksa Agung Suparman menjadi Plt. Jaksa Agung.
Perubahan waktu pengumuman Kabinet Yudhoyono tahun 2004 juga banyak factor seperti tarik menarik pengusulan dan usulan partai pendukung. Posisi Jusuf Kalla saat itu pun mulai menentukan. Kandidat yang telah dipanggil di Cikeas, ada yang tidak dilantik seperti E.E. Mangindaan (yang direncanakan menjadi Menteri Negara Pembangunan Kawasan Tertinggal) dan Rachmat Gobel (yang diplot menjadi Menteri Perindustrian). Sri Mulyani disetujui menjadi menteri namun posisinya antara Menteri Keuangan atau menteri lain masih tarik ulur. Yudhoyono menghendaki Menteri Kesehatan adalah perempuan, doctor, dan dari Indonesia Timur, tetapi nama yang didapat justru Siti Fadilah Supari di menit-menit terakhir jelang pengumuman. Di tahun 2009, kejadian itu tidak terjadi tetapi publik terkejut ketika Nila Anfasa Moeloek yang direncanakan menjadi Menteri Kesehatantidak tercantum namanya sebagai menteri. Justru muncul nama Endang Rahayu Setyaningdyah, juga dalam hitungan jam sebelum pengumuman resmi. Safrie Sjamsoeddin (Sekjen Kementerian Pertahanan) sudah dipanggil di Istana, konon ditawari jabatan Sekretaris Kabinet tetapi mendapatkan penolakan lewat pemberitaan media. Demikian pula Prof. Fahmi Idris (yang diplot menjadi Wakil Menkes) dan Anggito Abimanyu yang diplot jadi Wakil Menkeu juga tidak segera dilantik.
Bagaimana dengan Presiden Joko Widodo? Ada drama penantian pengumuman yang terus menerus mundur, sekalipun Presiden mengklaim bekerja lebih cepat dari jatah 14 hari yang ditentukan undang-undang. Rekomendasi KPK dan PPATK dijadikan pertimbangan kemungkinan penggantian kandidat tanpa penjelasan memadai kepada publik. Marurar Sirait dikabarkan menjadi salah satu menteri tetapi tidak pernah hadir di Istana. Nama Rudiantara sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika pun baru muncul jelang pengumuman. Ada perbedaan sangat jauh beredarnya calon-calon menteri saat kampanye presiden hingga spekulasi media usai pelantikan. Bidang ekonomi kreatif yang sempat ditonjolkan Presiden Joko Widodo saat debat calon presiden, justru hilang dari struktur kabinet. Sementara pembentukan Kementerian Koordinator Maritim dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi yang tidak terlalu menonjol malah masuk dalam struktur kabinet.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H