Mohon tunggu...
ishak salim
ishak salim Mohon Tunggu... -

Peneliti Sosial - Politik Active Society Institute, Makassar Alumni Institute of Social Studies, The Netherlands

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Kakao, Cokelat dan Beberapa Pertanyaan yang Rumit

29 Desember 2015   00:01 Diperbarui: 4 April 2017   16:43 2536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="ilustasi: Kompas.com | Admin"][/caption]Desa ini bernama Cendana Hijau. Konon, nama itu diambil dari nama kediaman Presiden Paling Tiran yang pernah memerintah Republik ini. Sang Presiden tinggal di jalan Cendana, Jakarta.

Dulu, kawasan itu adalah kawasan paling elit yang hanya bisa dimasuki orang-orang penting lingkaran inti sang Tuan Tiran. Orang-orang yang kelak berkontribusi memerosotkan negara ini setelah gagal memetik kemakmuran bagi rakyatnya di setiap tahap pembangunan yang digagasnya sendiri.

Desa Cendana Hijau tidak terletak di Jakarta atau di sekitar Jakarta dan juga bukan di daratan Pulau Jawa. Desa ini desa transmigran, berada nyaris tepat di tengah Pulau Sulawesi. Letaknya berkisar 400 kilometer dari kota Makassar. Ia berada di kecamatan Wotu kabupaten Luwu Timur. Desa ini bertentangga dengan belasan atau puluhan desa-desa transmigran lainnya.

Memasuki desa ini kita bisa merasakan keramahan Urang-urang Sunda atau ketegasan Orang-orang Sasak dari Lombok.

“Kampung dengan beragam warna,” kata Kepala Desa, Jajang Wijayana.

Ia anak dari seorang transmigran dari Ciamis. Ayahnya, Wijayana juga kepala desa beberapa periode yang lalu. Sebenarnya ia tidak yakin bisa menjadi kepala desa, karena mayoritas penduduk desa ini adalah Orang Lombok. Tapi saat itu, tahun 2014, ada dua tokoh Lombok mencalonkan diri. Kang Jajang diuntungkan dengan perpecahan suara penduduk mayoritas ini.

Di antara keragaman budaya itu, saat ini setelah 40 atau 50 tahun yang lalu, ada dua tipe umum orang desa Cendana Hijau dalam melakoni hidup sehari-harinya. Khususnya hidup yang terkait Manusia dengan Tanah. Manusia-manusia ini menggantungkan hidup kepada tanah, namun sebagian besar orang-orangnya justru beramai-ramai menggerogoti daya hidup tanah.

Mereka adalah para petani kakao dan para pembuat bata merah.

Konon, 45 tahun yang lalu, berbondong-bondong orang dari negeri sabrang datang ke pelosok-pelosok Sulawesi. Orang-orang Jawa dan Sunda, Orang-orang Lombok dan Bali, dan kemudian orang-orang Bugis datang dan ditempatkan di hutan-hutan yang dihuni pepohonan, babi hutan, monyet sampai ular piton yang paling gemuk. Pemerintah dan para pengurusnya menyebut kedatangan itu sebagai Proyek Transmigrasi.

Pada tahun 1975, orang-orang Sunda dan Lombok datang nyaris bersamaan. Beratus-beratus keluarga dalam beberapa gelombang datang dan mulai membersihkan lahan-lahan yang diberikan negara kepada mereka. Modal mereka adalah parang dan kampak untuk menebas pepohonan dan membersihkan semak belukar. Kemudian setelah pohon-pohon tumbang mereka menggergaji batang-batang bangkai pohon itu dan mulai mendirikan rumah satu persatu sehingga membentuk permukiman dan juga membuka sawah atau kebun.

Hidup di awal transmigrasi adalah hidup yang berat dan penuh derita. Mereka yang tak tahan rintangan hidup di negeri yang jauh dari tanah lahirnya menyerah dan menjual lahan mereka. Mereka memilih pulang setelah menukar lembaran sertifikat tanah dengan lembaran atau kepingan uang. Satu persatu sertifikat tanah itu jatuh ke tangan para pendatang lokal berduit yang mayoritas berasal dari Tanah Bugis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun