WUJUDKAN INDONESIA INKLUSI
Gegap gempita pesta demokrasi 2014 ternyata tak menyisakan ruang bagi Difabel. Bahkan hingga jelang pemilihan Presiden, visi dan misi masing-masing calon tak ada yang mampu menegaskan peta jalan untuk menginklusikan Difabel yang hingga saat ini masih menjadi kelas dua (subordinasi) dalam tatanan sosial kita.
Difabel adalah warga negara yang untuk mencapai kesetaraan di berbagai hal, membutuhkan sejumlah pengubahan lingkungan: baik aspek fisik, sosial dan kebijakan dalam rangka memampukan mereka demi adanya partisipasi sosial yang setara (dari berbagai sumber).
Di Indonesia, sejumlah data menunjukkan, bahwa jumlah warga negara difabel cukup besar, yakni 10% dari total populasi (TNP2K 2012) dan dalam versi lain ada lebih 15% di setiap negara berkembang seperti Indonesia (‘World Report on Disability [WHO 2012]). Sayangnya, gambaran data mengenai difabilitas/disabilitas/kecacatan di Indonesia tidaklah seragam di tiap kementerian. Dengan konsep dan terminologi yang berbeda-beda: BPS, Kementerian Pendidikan, Kementerian Kesehatan, serta Kementerian Sosial masing-masing menunjukkan data yang tidak seragam. Hal ini kemudian menimbulkan kesulitan mencari acuan bagi formulasi atau penyusunan kebijakan sosial yang tepat sasaran.
Data lain menunjukkan, ada sekitar 60% Difabel di Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan (PPLS, 2011). Tingginya angka kemiskinan ini bisa disebabkan [oleh] dan berdampak [pada] beberapa hal. Memang, dalam sejumlah literatur sosial menyebutkan bahwa ‘disabilitas seseorang cenderung membawanya kepada kemiskinan, di sisi lain kemiskinan dapat mengarahkan orang menjadi difabel dan menjadi bagian dari disabilitas’. Beberapa isu mendasar, seperti kurangnya ‘ketersediaan lapangan kerja’, masih adanya ‘cap miring’, dan praktik ‘pembedaan’ secara struktural dan budaya masih menjadi hambatan atas akses lapangan kerja bagi Difabel.
Begitu pula yang terjadi dengan dunia pendidikan. Sistem ‘pendidikan ‘inklusi belum sepenuhnya diberlakukan di sekolah-sekolah serta pendidikan tinggi secara menyeluruh. Akibatnya adalah baru sekitar 10% anak-anak Difabel usia pendidikan tertampung di sekolah. Di tambah lagi, masih belum tegasnya ‘payung hukum pendidikan’ yang menyebabkan mudahnya terjadi penolakan atas difabel. Pada 2013, SIGAB memperoleh pengaduan dari 12 keluarga difabel yang anak difabelnya ditolak mendaftar ke sekolah umum karena difabilitas mereka.
Pun demikian di bidang kesehatan masih menyisakan sejumlah soal. Kaitan erat antara Difabel dengan jenis tertentu dengan ‘kebutuhan medis’nya ternyata belum terjawab lewat ‘layanan serta jaminan kesehatan’ yang memadai. Sejumlah data menunjukkan, bahwa mayoritas Difabel yang memiliki pendapatan ekonomi di atas ketentuan ‘garis kemiskinan’ tidak berhak memperoeh bantuan iuran ‘Jaminan Kesehatan Nasional’ (SJSN - JKN). Padahal, di sisi lain, sebagai difabel, seseorang yang memiliki pendapatan di atas rata-rata pendapatan orang miskin namun ‘memiliki kerentanan sosial dan ekonomi’ seharusnya tetap berhak memperoleh bantuan sosial. Sejauh ini, sistem sosial negeri ini hanya ‘menjamin mereka yang miskin secara ekonomi’.
Terkait difabel yang berhak namun tidak memperoleh jaminan sosial, Hasil investigasi SIGAB (2013) menunjukkan ada sekitar 1083 Difabel dan keluarganya tidak memperoleh jaminan sementara kondisi sosial ekonomi mereka ‘sangat rentan’. Dalam konteks yang lebih luas, partisipasi sosial, politik dan publik masyarakat Difabel di negeri ini juga masih terhambat baik di level lingkungan (baik fisik maupun non fisik), perlakuan, serta kebijakan yang masih banyak yang belum berperspektif Difabel. Lihat saja realitas Pemilihan Umum Anggota Legislator yang jauh dari Akses. Alat Bantu Mencoblos bagi difabel buta tidak tersedia. Informasi bagi pemilih tuli dan bisu jauh dari memadai, desain TPS yang tak menghargai difabel daksa, dan banyak lagi kelemahan lain menyebabkan pelaksanaan Pemilu bagi difabel kurang bermakna.
Akar masalah dari peminggiran kaum difabel dalam proses pembangunan adalah pemahaman ‘disabilitas’ yang keliru yang diidap baik oleh para pimpinan negeri ini, pejabat publik, guru, politisi, pelaku media, ulama/tokoh agama dan kaum cendekia, tokoh masyarakat, bahkan orang tua di rumah keluarga difabel sekalipun. Untuk itu membersihkan pemahaman bahwa difabel adalah orang sakit, harus dikasihani, harus dibantu, harus dimaklumi, harus direhab, dan seterusnya harus segera ditinggalkan. Sebaliknya, difabel sudah mesti dipandang sebagai warga yang tidak berbeda dengan warga negara lainnya sehingga berhak mendapatkan hak-hak sosial, budaya, ekonomi, dan politiknya dalam proses pembangunan negeri ini.
Dalam konteks ini, maka isu difabel menjadi penting menjadi ‘mainstream’ dalam kebijakan dan program negara/pemerintah pada periode 2014 - 2019 dan periode berikutnya. Hal ini berlandaskan pada 3 aspek mendasar, yakni aspek konstitusional, kebenaran politik, dan aset bangsa.