PEMILU 2014 SUDAH berlangsung dengan penuh gegap gempita. Beberapa jam setelah pencoblosan selesai sejumlah televisi nasional merilis perhitungan suara cepat oleh beberapa lembaga survei ternama. Jutaan pasang mata memandangi partai mana gerangan yang meraup suara terbanyak. Tulisan ini tidak ingin menambah pembahasan siapa menang siapa kalah. Jika bagi Imelda Marcos “win or lose in election, we go shoping!” maka bagi pemilih difabel pernyataannya “siapapun pemenang dalam pemilu, pemilu belum aksesibel bagi penyandang disabilitas”.
Foto: Armin Hari, Lokasi: Salah satu TPS di Kabupaten Sleman DI Yogyakarta saat Pemilu 2014 berlangsung.
Saat hari pencoblosan, di 4 daerah meliputi provinsi Sulawesi Selatan, Jawa Timur, DI Yogyakarta, dan Kalimantan Timur, Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB) bersama sejumlah organisasi penyandang disabilitas melakukan pemantauan pemilu. Fokus pemantauan tertuju pada seberapa aksesibel pemilu kali ini berlangsung. Isu disabilitas dalam pemilu memang sudah menguat sejak satu dekade lalu. Sejak tahun 2004, pemilu saat itu sudah memasukkan isu pentingnya mempertimbangkan aspek aksesibilitas pemilu. Namun pemilu 2014, sepuluh tahun sejak isu disabilitas digaungkan, perhelatan pemilu belum beranjak dari ketidakberpihakan pada difabel.
Petugas KPPS tak sensitif disabilitas
Di hari pencoblosan, pemantau mengamati bagaimana petugas KPPS bekerja. Jauh sebelumnya, organisasi penyandang disabilitas berhubungan dengan KPU dan Bawaslu baik di tingkat pusat maupun daerah. Hari H Pencoblosan, amatan pemantau tertuju pada bagaimana petugas KPPS menyiapkan TPS dan bekerja melayani pemilih.
Dari hasil pantauan, setidaknya terdapat sejumlah kelemahan KPPS dalam menfasilitasi pemilih . Kelemahan itu dapat diklasifikasi ke dalam beberapa kategori, yakni Petugas KPPS kurang memiliki perspektif difabilitas, kurang teliti, dan kurang ramah.
Petugas KPPS umumnya kurang memiliki kepekaan terhadap isu disabilitas. Hal ini berimplikasi pada cara mereka menata ruang dan mempersiapkan segala kebutuhan pemilih saat proses pencoblosan berlangsung. Hal yang paling nyata terlihat saat memasuki lokasi TPS adalah adanya tangga yang harus dilewati pemilih. Tangga selalu menjadi hambatan fisik utama pengguna kursi roda, pengguna kruk, dan orang tua yang telah renta. Namun kekurangpekaan bahwa kebutuhan setiap orang berbeda membuat desain TPS menjadi tidak aksesibel. Akibatnya pemilih dengan disabilitas daksa yang merupakan pemilih difabel terbesar di negeri ini menjadi pemilih yang harus siap menerima jasa baik orang lain yang seharusnya tak perlu.
Terkadang bahkan hambatan itu berlapis-lapis. Di Yogyarta, tepatnya di salah satu TPS di kelurahan Bangun Kerto, Sleman ketidakaksesibilitas itu tampak mulai saat pemilih hendak menyerahkan surat pemilih di bagian pendaftaran. Nyaris seluruh pemilih rentan seperti orang tua jompo yang sudah bungkuk dan difabel dengan kursi roda atau tongkat, dan orang buta terpaksa meminta tolong atau dibantu seseorang untuk meletakkan surat pilihnya dan mengantri secara normal.
Dalam beberapa temuan di sejumlah TPS, sejumlah kekurangtelitian petugas KPPS juga terlihat. Contoh kecil soal perlunya menyodorkan form C3 bagi setiap pendamping yang bersedia membantu seorang pemilih difabel atau pemilih lansia memilih. Akibatnya, setiap pendamping akan kehilangan tuntutan pidana jika sewaktu-waktu ia membocorkan rahasia seseorang. Hal ini masuk kategori ketidaktelitian petugas dalam melihat segala perlengkapan pemilihan untuk pemilih. Bantuan memperagakan alat bantu mencoblos bagi pemilih netra kerap lewat begitu saja tanpa pemberitahuan sama sekali.
Dalam beberapa kasus, jika bukan karena pemilih netra yang memintanya (dimana pemilih pernah mengikuti sosialisasi penggunaan template atau setidaknya mengetahui informasi tentang itu) maka penggunaan alat bantu mencoblos itu tak akan berguna sama sekali. Di satu sisi, KPU sebenarnya juga hanya menyediakan alat bantu mencoblos bagi kertas suara DPD RI dan tidak bagi tiga kertas suara lainnya. Di Makassar, berdasarkan pantauan di sana, keberadaan alat bantu mencoblos bagi DPD RI bahkan tak sampai ke TPS sama sekali. Lagi-lagi difabel harus didampingi bahkan dengan pendampingan tanpa kerahasiaan (Form C3 tidak diberikan apalagi ditandatangani).