Mohon tunggu...
ishak salim
ishak salim Mohon Tunggu... -

Peneliti Sosial - Politik Active Society Institute, Makassar Alumni Institute of Social Studies, The Netherlands

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perjuangan Difabel Mencapai Puncak Tertinggi Sulawesi

7 Januari 2017   14:04 Diperbarui: 7 Januari 2017   22:39 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PADA 3 DESEMBER 2016, tiga pendaki difabel, Eko Peruge, Abdul Rahman, dan Risma Irmawati bersama 25 pendaki lain dari berbagai kelompok pencinta alam berhasil mencapai puncak Rante Mario, Gunung Latimojong, dengan ketinggian 3478 mdpl.  Menurut kebanyakan warga Dusun Karangan, ketiganya adalah pendaki difabel pertama yang mendaki di gunung tertinggi kelima di Indonesia. Gunung Latimojong juga dikenal sebagai “atap Sulawesi” karena tertinggi di Pulau Sulawesi. Eko mendaki dengan kruk dikarenakan kaki kanannya diamputasi saat remaja. Rahman mendaki dengan pendamping dikarenakan kedua matanya mengalami penurunan fungsi penglihatan sejak umur 12 tahun dan kini mengalami low vision kategori berat. Sementara, Risma sejak lahir memiliki perbedaan jumlah jemari di kedua tangannya sehingga memiliki perbedaan dalam menggenggam benda. Eko dan Rahman menggagas “Ekspedisi Difabel Menembus Batas” dan memulai ekspedisi pertama di Gunung Latimojong dari tujuh puncak yang direncanakan. Sebagai anggota tim ekspedisi, saya berupaya menuliskan pengalaman itu dan merefleksikan capaian ekspedisi ini.

SUDAH SEKITAR SATU jam para pendaki berjalan menyisir perbukitan menuju dusun Karangan, Desa Latimojong. Di sisi kiri mereka, hamparan pepohonan kopi terjajar rapi. Biji-biji kopi di pucuk-pucuk ranting di pohon-pohon itu masih muda, menghijau dan mengilap. Sesekali para pendaki juga melintasi mata air yang mengalir dengan liukan alami. Di bulan November ini, biji-biji kopi baru tumbuh. Empat bulan sebelumnya petani-petani memanen kopi mereka dan menjualnya di Pasar Baraka.

“Ke kiri sedikit, jalan becek,” ujar Yayat yang berjalan paling depan, menginformasikan kepada Rahman yang berjalan dengan trekking pole  (tongkat mendaki) di belakangnya.

“Agak ke kanan, ada jurang, … menunduk sedikit,” Pendamping lain, Zainal dari Makassar Rescue memberitahu Rahman dari belakang.

“Berhenti dulu, haus ka!” ujar Rahman tampak kelelahan.

Kerongkongannya mengering dan peluh bercucuran di wajah dan punggungnya. Sejak tadi, suara serangga alam yang mendesis dan mengerik menghiburnya dalam perjalanan ini. Tapi gemercik air tiba-tiba menggetarkan gendang telinganya. Ia membayangkan jernihnya air itu dan ingin merasakan segarnya teguk demi teguk di mulut dan tenggorokannya.

Teman-temannya pun berhenti dan seseorang mengeluarkan botol plastik yang sudah tandas. Yayat memandu tangan Rahman menyentuh air yang memancar dari batang bambu yang terbelah.

Jalur pendaki yang saat ini mereka jalani adalah jalur pekebun kopi. Biasanya, dari Pasar Baraka, para pendaki akan langsung menuju dusun Karangan sebagai pos nol sebelum mendaki. Ada truk berukuran sedang atau hardtop yang bisa mengangkut para pendaki, khususnya di hari pasar, Senin dan Kamis. Tetapi saat ini, beberapa ruas jalan kendaraan sedang dibeton. Mobil truk hanya bisa merapat di Dusun Angin-angin dan selanjutnya mereka harus berjalan sekitar 2 jam atau mengojek.

Rahman adalah ketua Persatuan Tuna Netra Seluruh Indonesia Kota Makassar. Selain itu, bersama kawan-kawan pendaki saat ini, ia adalah direktur Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan atau PERDIK. Ia, Eko Peruge dan sejumlah aktivis PERDIK sedang memperjuangkan pengurangan stigma negatif terhadap difabel.

Stigma merupakan cap atau label yang disematkan oleh orang-orang berpengetahuan dan berkuasa. Mereka bisa berasal dari anggota keluarga difabel sampai para akademisi kampus atau penentu kebijakan publik. Mereka mampu memproduksi aneka label dengan bermacam alasan. Label itu kemudian disebarluaskan ke seluruh ruang di mana memungkinkan orang-orang meraup pengetahuan dan keuntungan tertentu. Jika label itu diakui benar, maka segeralah label itu dipakai terus menerus di dalam berbagai sektor kehidupan, termasuk di dalam proyek-proyek pembangunan. Tak peduli apakah orang yang dilabeli menerima label atau tidak, bukan hal penting. Sayangnya, penolakan label-label, yang menurut difabel merugikan mereka, ternyata tidak serta merta mudah dihilangkan. Label itu melekat, diakui, dan disebarluaskan sebagai sebuah identitas baru.

Cacat, penyandang cacat, penyandang disabilitas, anak berkebutuhan khusus, penyandang masalah kesejahteraan sosial, penderita cacat, tidak sehat jasmani, keterbelakangan mental dsb adalah contoh label yang diproduksi negara melalui institusi kesehatan dan kampus. Sementara to kandala, to picco’, to kasiasi, to pepe, dan lain-lain adalah label lain yang diproduksi oleh anggota-anggota masyarakat tertentu di Sulawesi Selatan. Label itu kemudian bersentuhan dengan berbagai dinamika sosial di mana difabel hidup dan menjelma menjadi stigma yang meminggirkan, mengabaikan, bahkan memiskinkan para difabel.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun