Pagi itu di bulan Maret 2011, Najamuddin, seorang petani muda dari desa Tompo Bulu bersiap-siap menuju Pasar Camba. Ia akan menempuh perjalanan dengan jalan kaki sekira 3 jam dari kaki Gunung Bulusaraung menuju kecamatan Camba, Maros. Ia ingin membeli ico (rokok tembakau yang diproduksi oleh orang Bugis) di sana. Persediaan tembakaunya telah habis dan tidak ada jalan lain selain harus berjalan kaki ke Pasar Camba. Kawan-kawannya sesama petani dan pamannya juga menitip untuk dibelikan. Ketika tinggal selama sepuluh hari di desa Soga, Kecamatan Marioriwawo, Kabupaten Soppeng, barulah saya tahu kalau ico yang dijual di pasar Camba, pasar Bantimurung, dan beberapa pasar di Barru berasal dari olahan pak Heddang, dari dusun Tonrongnge, desa Soga. Bila pasar Bantimurung dan pasar Camba dikonsumsi oleh petani-petani di sana, maka pasar di Barru justru diminati oleh orang-orang laut, nelayan. Di desa Soga, sisa kejayaan komoditas tembakau Bugis, alias ico tinggal terlihat di dinding-dinding rumah panggung banyak penduduk. Begitu pula seng yang sudah menua dan berwarna cokelat penuh karat. Sebelum tanaman kakao menyesaki lahan-lahan orang Soga dan sekitarnya, tembakau dan jagunglah yang menjadi komoditas andalan mereka. Setelah kekacauan politik berakhir sejak kekalahan pasukan Qahhar Mudzakkar oleh Tentara Republik 1966 dan orang-orang Soga kembali dari pengungsian, kegiatan ekonomi berangsur-angsur normal dan masyarakat menemukan hidup dalam ketenangan. Dominasi tentara dalam kehidupan sosial tampaknya benar-benar mengubah banyak hal. Bukan hanya para gurilla mengendur semangat juangnya di pedalaman-pedalaman Sulawesi, tapi juga aktifitas bandit lokal nyaris hilang sama sekali. Kelompok La Janggo’ Ribi, kelompok La Nasing, dan kelompok La Mara yang beroperasi di wilayah ini kembali ke rumah masing-masing atau pergi ke tempat lain menghindari dendam yang mungkin saja mereka temui. Soppeng tahun 1970an marak dengan petani tembakau. Di desa Soga, Haji Palerei, salah seorang pedagang sukses di masa itu (bahkan hingga kini) memproduksi hingga seribuan timpo tembakau. Heddang sendiri adalah salah satu buruhnya saat itu. Ia menjual tembakaunya hingga ke Sulawesi Tenggara melalui jalur Koppe, Bajoe, Kolaka, Kendari, Raha, dan Bau-Bau. Begitu besarnya arus distribusi tembakaunya, membuat banyak orang Soga migrasi ke sana dan bahkan menetap hingga kini. Haji Palerei bukan seorang petani tembakau. Ia adalah pedagang tembakau. Tanaman-tanaman itu di tanam oleh petani-petani Soga dan desa-desa lainnya (dulunya Soga adalah salah satu dusun dari desa Barae hingga tahun 2005). Begitu suksesnya ia pada masa itu, ia memiliki lebih sepuluh mobil Toyota pick-up dan sebuah truk. Bukan itu saja, ia juga memiliki banyak lahan di sana, dan lebih seratus rumpun bambu di dalam hutan bambu yang tumbuh di sepanjang sungai Mario dan sungai Wallanae. Cerita mengenai bagaimana ia bisa memiliki lahan sebanyak itu, bahkan hingga di Sulawesi Tenggara ada ceritanya sendiri. Tulisan ini ingin menceritakan masa-masa dimana tanaman tembakau masih menjadi primadona orang Soga dan budaya situlung-tulung masih terlihat setiap hari. Semuanya, sekali lagi berlangsung hanya pada awal 1970an dan berakhir saat tanaman kapas mulai datang pada 1981 dan hingga biji kapas terserang hama heliotis pada 1984. Setelahnya, dikisaran 1985 tananam kakao mulai menggoda petani, bukan hanya mengganti tanaman kapas tapi juga memangkas puluhan hektar pohon bambu dan jagung putih yang waktu itu masih merupakan makanan pokok mereka. Sejak saat itu, banyak hal mulai hilang di desa Soga. Secara sosial, budaya situlung-tulung mulai tergerus, dan secara ekologis, cakkelle atau burung kakak tua yang menjadi lambang daerah Soppeng pergi dan tak pernah lagi terlihat sekarang ini. ***** Saat itu, jalur distribusi dan distributor ico adalah ke Takkalalla yang dibawa oleh Syamsuddin (menantu kepala lingkungan Soga, Abdul Azis saat itu; orang tua Abdul Azis sendiri, La Mampo, adalah petani tembakau yang membawa [mappateke: menggunakan kuda] ico-nya ke Tupabbiring—Barru), ke Pare-Pare dan Suppa dibawa oleh La Mading, dan seorang pedagang besar dari Toddangkalung dusun Tonrong’e, Haji Palerei yang mempekerjakan banyak pekerja dan pembeli terbesar daun ico dari petani-petani di kampung Soga dan sekitarnya membawa ico-nya ke Makassar dan Sulawesi Tenggara. Rute perjalanan ke Sulawesi bagian Tenggara ini dimulai dari Soga, dengan menggunakan kuda (patteke) keKoppe, lalu dengan mobil ke pelabuhan Bajao, menyeberang dengan perahu Lambo ke Kolaka, lalu mengarah ke Kendari dengan mobil, kemudian menyeberang lagi dengan perahu Lambo ke pulau Muna, dan akhirnya sampai ke Bau-Bau di pulau Buton. Jalur distribusi ini kemudian menyebabkan banyak orang Soga merantau massappa dalle’ hingga ke Bau-Bau. Begitu besarnya usaha Haji Palerei, ia bisa memproduksi ico hingga seribu timpo tembakau dalam 10 hari dengan jumlah pegawai mencapai 20an orang. Satu timpo berisi 20-an gulungan ico kering (satu gulungan ico sama dengan 1 ta’ba). Bukan itu saja, Haji Palerei adalah pedagang inovatif. Dialah yang memulai mencampur ico dengan saus gula merah (yang saat itu masih diproduksi oleh banyak pembuat gula dari pohon aren) dan membakarnya di dalam bambu (timpo)yang dibuat di wanua Barae pada 1970. Sebelumnya, ico, hanyalah gulungan tembakau kering. Haji Palerei (1930 - ), kini menetap di Bau-Bau adalah seorang pedagang besar kampung ini. Ia pernah belajar di pesantren DDI Pattojo di bawah bimbingan Anre Gurutta Arsyad Lannu. Sebagai pedagang yang sukses ia memiliki banyak sekali alat-alat produksi seperti truk dan puluhan mobil Toyota Pick-Up dan tentu saja lahan yang luas baik di Barae maupun di Sulawesi Tenggara. Menurut kabar, banyak orang di kampung-kampung Wanua Barae mengharapkan bantuannya mengatasi keadaan ekonomi mereka. Macam-macam saja cara orang meminta bantuannya, namun hal yang lazim adalah meminta H. Palerei membeli sepetak lahan atau serumpun dua rumpun pohon bambu mereka. Itulah mengapa, selain pedagang sukses, H. Pelerei juga memiliki lahan yang luas dan pohon bambu yang banyak. Jauh melebihi pohon bambu La Pannennang sekarang yang berjumlah seratusan pohon. Kebanyakan orang Soga sendiri kini hanya memiliki bambu di kisaran 10 – 20 pohon saja. Namun, perubahan kepemilikan rumpun bambu atau dalam istilah Soga 'dapureng'' bukan hanya disebabkan oleh penjualan pemiliknya saja, tapi banyak karena pembagian warisan orang tua kepada anaknya. Contohnya, kepala dusun Tonrong’e, Jamil dan saudara-saudaranya yang lain memperoleh pembagian pohon bambu dari orang tuanya, Haji Laedi—seorang perakit bambu yang pada tahun 1960-1970an memasarkan batang bambu ke Bajoe untuk keperluan bagang bambu melalui sungai Walanae. Jamil, sebagai anak sulung memperoleh 20 dapureng. Sementara kedua adiknya, Mustafa dan Tahirman masing-masing memperoleh 35 dan 40 dapureng. Menurut La Wahe’ (54) yang mendengar cerita ini secara turun-temurun, di masa lalu (masa penjajahan) pemilik pohon bambu yang gemar berjudi kerap menjual pohonnya ke warga lain bila ia kalah berjudi dan butuh uang tunai untuk melanjutkan kebiasaannya. Ia sendiri, pernah membeli sebidang tanah yang di dalamnya terdapat pohon bambu yang kemudian ia beli secara terpisah seharga 150 ribu rupiah untuk seluruh batang dalam satu rumpun itu. Namun, lahan hutan bambu semakin berkurang memasuki era pertengahan 1980an saat booming kakao di Sulawesi Selatan sampai di desa Barae. Bila sekarang ini, berdasarkan perkiraan beberapa warga yang menyebutkan luasan total hutan bambu di desa Soga adalah 30 hektar, maka sekitar setengahnya telah menjadi lahan kakao. Jadi, dapat diperkirakan, bahwa sampai tahun 1970, luasan lahan untuk seluruh rumpun bambu di desa ini adalah 40 – 45 hektar. Hitungan ini tentu masih perlu dibuktikan, mengingat pemanfaatan bambu bukan saja untuk lahan tapi untuk memenuhi permintaan orang-orang Wajo, Pangkajene Sidenreng, dan Bone yang sudah berlangsung sejak awal 1970an (dibahas ditulisan lain tentang awo: bambu). Perkembangan ekonomi desa Barae semakin pesat saat tahun 1977 pengerasan jalan oleh warga dan militer dilakukan. Namun, tak lama setelah itu, di akhir 1970-an atau awal 1980-an pamor tembakau Bugis menurun. Ada beberapa faktor yang menyebabkannya. Pertama adalah rumitnya merawat tanaman tembakau dan keterbatasan lahan banyak petani. Misalnya, tanaman tembakau yang telah dipetik daun-daunnya tak dapat lagi ditanami oleh tanaman baru di lahan yang sama. Petani harus mencari lahan lain atau mengganti tanaman tersebut dengan jagung. Siklus penanaman tembakau kira-kira seperti ini. Pertama, penanaman benih setelah usai pembibitan (pembelian bibit). Kedua, bibit tembakau itu ditanam di lahan khusus yang telah digemburkan secara bersama-sama (untuk lahan sehektar dengan jarak tanam satu meter maka aka nada 10.000 bibit yang dikerjakan minimal 5 orang untuk dikerjakan selama dua – tiga hari). Ketiga, tanaman baru itu ditutupi dengan daun enau selama 14 hari. Keempat, tanaman disemprot untuk dengan menggunakan cairan khusus (seperti spirtus—cari namanya) untuk menghindari hama kalanrei yang dibawa oleh semut. Harga perbotolnya adalah 2.500 rupiah dan setidaknya butuh 4 botol untuk persekali semprot. Kelima, setelah tumbuh pucuk daun kedua, maka daun pertama dipotong dan membiarkan daun pertama ini terus melebar. Demikian pula pucuk-pucuk baru di dekat daun selalu dipotong (iceleppiri) hingga akhirnya terdapat delapan lembar daun yang dijaga pertumbuhannya. Dan tanaman ini, setelah mencapai ketinggian 75 cm sampai 100 cm harus disemprot setiap minggunya selama dua bulan hingga tanaman tak lagi layak. Setelah itu, daun dipetik dan didiamkan selama 4 hari untuk kemudian dirajang, dijemur, dan lalu digulung. Terakhir, tanaman tembakau itu dicabut dan kemudian lahan ditanami dengan jagung untuk kebutuhan pokok petani. Dengan demikian, petani tembakau dengan lahan terbatas hanya akan mampu memproduksi daun tembakau sekali dalam setahun. Sebab kedua pudarnya pamor tembakau adalah hama kalanrei (kuman di pucuk daun)dan ule’ (ulat yang memakan daun) serta curah hujan yang tinggi yang menyebabkan akar membusuk. Hama dan musim yang tak bersahabat ini tak dapat ditangani dengan pengetahuan yang terbatas dalam pengendaliannya. Adapun penyebab ketiga adalah mulai membanjirnya rokok kemasan dari Jawa—Kudus seperti kretek (tembakau dan cengkeh) dan rokok putih yang diimpor dari Amerika Serikat dan Inggris. Dan terakhir, pembayaran atas penjualan daun tembakau petani seringkali tidak langsung dibayarkan, melainkan pada beberapa bulan atau bahkan setahun berikutnya. Belum lagi bila dalam perjalannya tembakau yang dikirim ke Bau-Bau rusak akibat percikan air laut yang bergaram yang mempengaruhi kualitas tembakau. Di rumah La Wahe’, saya menemukan beberapa lembar foto para petani secara saling bantu membantu mengolah dedaunan tembakau ini (majjama ico).Dari lembar-lembar foto itu, saya membayangkan serangkaian aktifitas itu. Terlihat La Wahe’ memperbaiki letak duduknya. Kaki kirinya ia naikkan sekira 25 cm dan badannya menyerong ke samping kanan memperhatikan atau menanti lembar-lembar daun keluar dari lubang kattang (tempat perajangan setumpukan daun tembakau). Daun-daun tembakau itu sebelumnya, setelah dipetik di kebun lalu didiamkan selama empat hari dengan cara menjejernya dengan penyangga balok kayu di kedua sisinya. Di hari kelima, daun-daun yang berubah warna itu lalu dilipat ke dalam. Ujung daun di sisi kiri dilipat ke dalam dan akan bertemu dengan ujung daun dari sisi kanan tepat digaris tengahnya. Begitu ujung-ujung dedauanan itu mencuat sekian millimeter iapun mengayunkan pisaunya dan sreeet! [caption id="" align="aligncenter" width="640" caption="La Hawe dan La Cale sedang merajang daun-daun tembakau (dokumen La Wahe) "][/caption]
Di lembar photo lain, di sebelah Wahe’, La Cale sudah lebih dulu mengiris berpuluh lembar daun yang tergenggam erat di telapak tangan kanannya. Sementara itu tangan kirinya yang memegang pisau khusus untuk mengiris daun tembakau itu naik turun menimbulkan irama gesekan yang mungkin sudah terlupakan sekarang dan tak pernah lagi didengarkan oleh anak-anak yang lahir belakangan. Dari setiap gesekan pisau tajam itu di daun-daun tembakau, menyebabkan sobekan dedaunan itu terurai jatuh ke lantai didekat kaki perajang daun tembakau ini. Saat itu, keduanya, baik Wahe’ maupun Cale’, hanya mengenakan celana pendek dan tak berpakaian. Irisan daun tembakau sebentar saja menumpuk hampir selutut mereka. [caption id="" align="aligncenter" width="640" caption="Perempuan-perempuan sedang menebar rajangan tembakau (koleksi foto La Wahe"][/caption]
Masih di lembar photo itu, terlihat I Rose’, istri La Wahe’ dan tiga tetangganya yang seluruhnya perempuan dengan cekatan mengambil rajangan tembakau itu dan menebarnya (ma’tale’) di atas jamba’ yang terbuat dari bilahan bambu yang dikaitkan satu sama lain. Ukurannya hanya berkisar 80 cm kali 120 cm. sebagian orang menyebutnya ta’ba. Irisan dedaunan itu lalu terbagi merata. Siap dijemur. Dua perempuan itu jongkok saling berhadap-hadapan. Masing-masing jongkok diujung ta’ba. Seorang perempuan yang masih belia mengenakan celana puntung berbahan denim dan kaos oblong. Dirambutnya yang hitam lurus, terselip bando berwarna merah muda. Dua lainnya yang lebih tua dan telah bersuami mengenakan sarung bermotif batik dan juga kaos oblong. Sementara seorang lainnya hanya mengenakan daster. Di dekat mereka, tergantung dua petromaks yang akan dinyalakan bila pekerjaan ini masih berlangsung hingga malam hari. Sementara prosesi makkire’ dan ma’tale’ ini berlangsung. Menurut Wahe’, orang yang berbeda, lelaki atau perempun meraih ta’ba’ yang telah berisi taburan irisan tembakau itu menuju tepi jalan depan rumah mereka. Rupanya, bukan hanya di rumah ini orang bekerja mengiris ico. Di sepanjang jalan berjejer ta’ba yang di atasnya daun ico terpanggang matahari. Pemandangan serupa terlihat di belahan Sulawesi yang lain, Minahasa. Di sana petani-petani cengkeh menghampar terpal aneka warna berisi bunga-bunga cingke yang telah di pete (petik) dan di jumur (jemur) di tepi-tepi jalan atau halaman rumah mereka. Kedua bahan inilah, yang kemudian menjadi bahan baku kretek, rokok khas Indonesia. Setelah kering, biasanya dua hari bila matahari sedang terik, daun-daun ico ini kemudian digulung dari kedua sisinya. Gulungan dari sisi kiri dan kanan bertemu tepat di bagian tengahnya gulungan. Gulungan ico dari setiap ta’ba’ akan ditumpuk hingga beberapa tumpukan (epesilonjo). Inilah akhir kerja petani dan pekerja daun ico. Setelah seluruhnya terkumpul, pedagang atau pengusaha industri ico rakyat akan datang menawar. Masih merujuk pada lembar photo yang lain, terlihat satu prosesi di mana seluruh pekerja ini makan bersama. Menurut banyak informan yang bekerja ico saat itu, sistem upah dengan uang belum terjadi. Orang-orang Soga menyebutnya situlung-tulung atau saling menolong. Dan karena saling menolong, maka sudah seyogyanya si pemilik usaha, dalam hal ini keluarga Wahe’ akan menyediakan makan siang atau malam dan penganan berupa kue dan minuman. Beberapa keluarga lain biasanya juga menyediakan hasil kebun mereka seperti ubi atau pisang. Sebenarnya, sebelum pemetikan daun-daun tembakau di setiap tanaman, petani-petani tembakau ini melewati hal tersulit dalam perawatan tanaman. Dua atau tiga bulan sebelumnya, Wahe’ akan sibuk menanam benih bersama empat orang kawannya. Dalam besaran satu hektar lahannya, ia menanam sekira 10.000 tanaman tembakau dan itu berarti hasilnya bisa mencapai 150 ta’ba atau 150 gulungan tembakau yang sudah dirajang. Jarak antara tanaman satu dengan tanaman lainnya adalah 1 meter saja. Setelah masa tanam itu, perawatan secara rutin tak boleh diabaikan. Wahe’ sudah menyediakan pupuk dan semprotan kimia untuk mengatasi hama kalanrei, ule’, akar yang busuk akibat curah hujan tinggi. Bila beruntung, maka daun-daun tembakaunya akan tumbuh aman. Namun, bukan banyaknya daun yang menjadi idaman petani tembakau di desa ini. Tetapi sebaliknya, besaran daunlah yang dibutuhkan. Besaran daun berdampak pada rasa tembakau. Bagi para pencinta tembakau, harumnya ico adalah yang utama. Akhirnya, sayang sekali, ilmu dari penyuluh dinas pertanian ini tak laku bagi petani Soga. Bila pucuk daun kedua telah tumbuh, maka daun pertama itu akan di potong dan dibuang. Daun kedua inilah yang akan menjadi daun ico terbaik yang akan dipetik nantinya. Dalam prosesnya, setiap minggu akan muncul pucuk baru di dekat daun yang mulai besar itu. Pucuk baru itu harus iceleppiri (dipotong dengan kuku) dan membuangnya agar daun semakin melebar. Saat itu, tinggi tanaman sudah mencapai 75 cm hingga 100 cm. Wahe’ menyemprotnya setiap minggu dengan cairan serupa spirtus hingga daun dipetik semua dan tanaman itu tak dibiarkan tumbuh lagi. ***** Masa kejayaan ico di desa Soga memang benar-benar surut saat kapas yang diperkenalkan oleh dinas pertanian—saat itu bernama PTP XXIII pada tahun 1981. Satu persatu petani ico beralih ke tanaman ini. Para pengolah industry rokok rakyatpun gulung tikar. [caption id="" align="aligncenter" width="640" caption="Mengumpulkan hasil penjualan kapas dari petani-petani kapas (koleksi foto Budirman Azis)"][/caption]
Saat itulah, La Heddang yang merupakan buruh kerja Haji Palerei memutuskan untuk bertahan. Ia bertahan sendirian saat tak ada lagi tanaman tembakau di tanam di desanya. Ia membeli daun-daun tembakau kering di tempat lain yang saat itu petani-petaninya masih menanamnya, seperti di Cabbenge. Demikian pula gula merah yang tak diproduksi lagi di desanya, ia beli di tempat lain. Pada waktu-waktu tertentu di setiap bulannya, di bawah rumah panggungnya yang berwarna hijau, kita akan lihat ia sendirian menebar tembakau keringnya, lalu mencampurnya dengan saos gula merah. Setelah itu ia memasukkan ke dalam timpo dan membakarnya ditempat pembakaran di halaman depan rumahnya. Mujur ia masih sanggup bertahan sekarang. Tapi sepertinya itu tak akan berlangsung lama. Suatu siang, saat saya masih di desa Soga di awal Mei 2011 ini, ia datang ke kantor desa dan memohon sedikit modal dari kas desa. Ia tahu, ada dana desa (Alokasi Dana Desa) yang diterima oleh desa Soga dari Negara. Ia berharap ada sedikit yang bisa ia pinjam untuk modal membeli daun-daun tembakau. Tapi sayang sekali. Saat itu, kepala desa Soga belum bisa memenuhinya. Ia lalu pulang dengan tangan hampa. Bayangan hilangnya pelanggan-pelanggan setianya beralih ke penjual lain menghantuinya[]. [caption id="" align="aligncenter" width="448" caption="La Heddang sedang mencampur saos gula merahnya di tembakau kering sebelum membakarnya."][/caption]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI