Pada abad ke-17 lahir sebuah gerakan pemikiran yang dikenal sebagai ilmu pengetahuan modern. Evolusi ini merupakan sebuah perubahan radikal dalam perkembangan konsep kausalitas. Sejarah perkembangan pandangan ini luar biasa kompleks, dan dipengaruhi oleh sebuah keyakinan teologis dan ilmiah. Akan tetapi, penentuan kausalitas tidak dipandang memiliki sebuah sumber ilmiah, tetapi sebuah sumber teologis. Idenya adalah bahwa semua benda ditentukan asal muasalnya (sebabnya), dan hanya karena Kemahakuasaan Tuhan dan kemahatahuan ilmu pengetahuan. Jika Tuhan mengetahui apapun dan dapat melakukan apapun, maka apapun harus terjadi. Dengan kata lain, hanya Tuhan yang dapat menjadi sebab, bahkan Tuhan juga yang menjadi inisiator aktif dari sebuah perubahan.
Para penganut paham rasionalis tentang kausalitas antara lain Descartes, Hobbes, Spinoza, dan Leibniz -- dan beberapa dari ahli metafisik abad ke-17 lainnya. Beberapa ilmuwan dan filsuf yang mengetengahkan kausalitas dengan pendekatan paham empiris antara lain Locke, Newton, Hume, Kant dan Mill.
Sebagian besar ahli filsafat modern percaya bahwa Hume menyangkal berbagai pandangan para penganut faham rasionalis sebelum dia (Descartes, Hobbes Spinoza, dan Leibniz), yang semuanya menyatakan bahwa ada sebuah elemen penalaran secara apriori asli dalam kesimpulan sebab-akibat. Akan tetapi, menurut Hume, hubungan sebab-akibat secara logis tidak dibutuhkan dan oleh karena itu hubungan sebab-akibat tersebut tidak dapat diketahui secara apriori (lebih berdasarkan teori daripada kenyataan yang sebenarnya). Ia mengatakan bahwa kausalitas bukanlah sebuah hubungan yang dibutuhkan berarti secara logis. Ia memberikan contoh walaupun jika A menyebabkan B, tidak mungkin secara logis untuk mengira bahwa, karena A, B tidak akan telah terjadi.
Selama alasan dan logika menerima, pada sebuah peristiwa tertentu, maka apapun bisa terjadi kemudian. Ini merupakan sebuah alasan yang tepat mengapa hubungan sebab-akibat tidak dapat diketahui berdasarkan teori (apriori) tetapi berdasarkan kenyataan yang sebenarnya; untuk menentukan apakah sebuah hubungan sebab-akibat menghubungkan antara A dan B atau tidak, maka kita harus mengandalkan pengalaman kita tentang hubungan-hubungan yang serupa. "Tidak ada benda," tulis Hume, "yang dengan survei saja, tanpa berkonsultasi dengan pengalaman, yang dapat kita tetapkan menjadi sebab dari benda yang lain; dan tidak ada benda, yang tentu saja dapat kita tetapkan dengan cara yang sama untuk tidak menjadi sebab tersebut".
Konsep kausalitas Hume (1711-1776) merupakan konsep keharusan: peristiwa atau keadaan benda harus mengikuti sebabnya. Secara lebih khusus, dia mengatakan bahwa hubungan sebab-akibat ditandai oleh tiga faktor :
1. kedekatan (dalam ruang dan waktu) sebab dan akibat,
2. prioritas dalam waktu dari sebab ke akibat, dan
3. hubungan yang dibutuhkan antara sebab dan akibat.
Kant secara eksplisit mendukung keharusan bahwa akibat tidak hanya mengikuti sebabnya, tetapi akibat juga harus mengikuti sebab tersebut. Di samping itu, berkebalikan dengan Hume, universalitas yang terlibat dalam hubungan sebab-akibat tidak didasarkan pada induksi, dan oleh karena itu tidak empiris; karena, pengalaman tidak pernah dapat memberikan universalitas.
Konsep kausalitas menunjukkan sebuah aturan yang menurut aturan tersebut satu keadaan harus mengikuti keadaan yang lain, maka pengalaman hanya dapat menunjukkan kepada kita bahwa satu keadaan benda umumnya mengikuti satu keadaan yang lain, dan oleh karena itu tidak memberi kita universalitas ataupun keharusan.
Prinsip kausalitas Kant yang didasarkan pada struktur alasan. Prinsip kausalitas menyatakan bahwa :
a. setiap kejadian memiliki sebuah sebab;
b. sebab dari setiap kejadian adalah kejadian sebelumnya;
c. akibat harus mengikuti sebab tersebut,
d. sesuai dengan aturan universal absolut;
e. bukan dari pengalaman tetapi dari apriori.
Menurut Mill (1806-1873) , ide akal sehat tentang 'sebab' tersebut menyesatkan karena ada lebih banyak syarat lagi yang dibutuhkan yang sama pentingnya agar akibat tersebut terjadi. Oleh karena itu, "berbicara secara filosofis," kita tidak berhak untuk memilih salah satu dari syarat-syarat tersebut dan menamai salah satu syarat tersebut dengan 'sebab'. Karena itu, Mill mendefinisikan sebab dari sebuah kejadian sebagai sejumlah syarat yang karena sejumlah syarat tersebut maka kejadian tersebut (yaitu, sebuah kejadian sejenis) selalu terjadi. Sebab, kemudian, berbicara secara filosofis, adalah jumlah keseluruhan dari semua syarat tersebut, positif dan negatif secara bersama, seluruh kemungkinan dari setiap gambaran, yang disadari, akibat yang selalu mengikuti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H