Mohon tunggu...
Isdiyono Pak Guru
Isdiyono Pak Guru Mohon Tunggu... -

Sebuahperjalanan panjang tanpa batas, untuk mencetak buah pemikiran, dalamsebuah coretan, yang kan menjadi sebuahnoktah dalam lebarnya sejarah..."\r\n"...hidup adalah pilihan, tinggalkan yang meragukan, karena perubahan bukan untuk ditunggu..."

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guru Teladan Mendidik Bangsa

25 November 2010   05:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:19 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Bulan November memang bulannya rakyat merayakan hari besar para pahlawannya. Setelah perayaan untuk para founding father dilaksanakan pada 10 november lalu, kali ini adalah untuk para pahlawan pendidikan : guru. Pada peringatan ini, ada beberapa hal yang perlu mendapatkan sorotan dari seorang guru yaitu tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab terhadap pendidikan.

Dalam bukunya Menjadi Guru Efektif, Suparlan (2005:12) mendefinisikan guru sebagai orang yang tugasnya mencerdaskan kehidupan bangsa dalam semua aspek. Baik dalam hal yang bersifat spiritual, emosional, intelektual, fiskal maupun aspek kepribadian lainnya. Artinya, seorang guru diidentikkan dengan orang yang memiliki keahlian untuk menyebarkan ilmu yang dimilikinya.

Guru mendapatkan tempat terhormat sekaligus tempat masyarakat menaruh harapan dan ekspektasi yang tinggi terhadap masa depan pendidikan masyarakat tersebut. Inilah yang seolah menyebabkan profesi guru sebagai profesi yang berat, tetapi mendapatkan penghargaan yang tak sebanding.

Kalau dilihat dari dimensi materi, maka posisi guru tidak bisa memenuhi tuntutan guru itu sendiri dalam menemukan kepuasannya. Selalu saja ada kesenjangan gaji yang diterima oleh seorang guru dengan profesi lain yang sama-sama berada di bawah pemerintah.

Hal ini tentu tidak terlepas dari begitu banyaknya guru yang dihadapkan pada keterbatasan pemerintah dalam menganggarkan pendapatannya di sektor pendidikan. Kalau berbicara tentang hak, maka fakta ini tidak akan pernah mampu menjawab keinginan dan harapan guru dalam memenuhi kesejahteraan hidupnya. Menjadi guru bukanlah semata untuk kepentingan pemuasan fisik saja. Karena menjadi guru sejatinya adalah urusan batin, profesi guru adalah panggilan jiwa.

Frank Sennet (2004:2-7) merekam ungkapan para guru teladan di berbagai kota di Amerika tentang profesi yang mereka jalani. Bruce M. Penniman (Massachusetts) mengungkapkan bahwa mengajar adalah panggilan, bukan lompatan karir. Atau dengarlah penuturan dari Charles Zezulka (Connecticut),” Saat mengajar, saya merayakan kenikmatan belajar setiap harinya.” Kata Barbara Dorff (Texas), “ Guru yang baik terwujud dari hati.” Dalam kapasitas yang lebih luas, Pudad Ymbert (Texas) menuturkan bahwa, mengajar adalah melayani. Artinya melayani anak-anak, orang tua, masyarakat dan semua orang.

Memang benar bahwa menjadi guru harus siap menjadi pendidik masyarakat yang di dalamnya terdapat berbagai keragaman klasifikasi manusia. Inilah kewajiban seorang guru. Mereka tidak bisa melarikan diri dari kenyataan bahwa mereka merupakan salah satu bagian dari masyarakat belajar dan berada pada puncaknya, yakni sebagai fasilitator dan aktivator.

Seorang guru yang meninggalkan masyarakat sebagai tempatnya beraktivitas, perlu ditanyakan lagi kapasitas dan komitmennya dalam mengemban amanah mendidik bangsa. Bahwa pendidikan tanpa guru yang berkualitas, hanya akan menimbulkan permasalahan baru. Nah, berdasarkan pemikiran tersebut maka muncul pertanyaan baru, apakah guru yang ada sekarang sudah memiliki kompetensi profesional?

Pertanyaan ini menggiring kita pada hal tentang tanggung jawab yang setidaknya dipahami guru sebagai garis pembatas perannya dalam pendidikan.Dalam kondisi yang tidak memberikan jawaban pasti kepada masyarakat tentang peran pendidikan, guru wajib berinisiatif untuk memberikan pemahaman pada masyarakat. Bahwa pendidikan tidak semata tanggung jawab pemerintah yagn dalam hal ini dibebankan pada guru.

Pada hakikatnya, guru bukanlah profesi yang kaku, tetapi sebuah proses inovasi. Kata kunci inilah yang memberikan pemahaman pada masyarakat bahwa tugas guru itu bersifat dinamis. Selalu menyesuaikan situasi,kondisi dan kemajuan dunia ilmu pengetahuan.

Jadi, tanggung jawab seorang guru adalah memberikan inovasi dalam praktik pendidikan. Pendekatan proses secara kognitif, afektif, spiritual dan humanisme membedakan perlakuan kita terhadap guru dengan kita terhadap mesin di pabrik-pabrik. Manusia juga mahkluk yang bisa lelah mengeluh, tidak seperti mesin yang tak memiliki perasaan dan keinginan.

Permasalahan

Dalam pepatah populer selalu dikatakan bahwa, harapan dan kenyataan itu selalu berbanding terbalik. Kesejahteraan guru menjadi prioritas pertama dalam hal identifikasi masalah, melebihi keinginan mereka untuk meningkatkan kompetensi diri. Sehingga, tidak mengherankan jika banyak terjadi kasus guru yang melakukan aksi unjuk rasa menuntut kejelasan status mereka. Terutama untuk guru-guru honorer.

Seperti yang terjadi pada Sabtu (20/11), seratusan guru yang tergabung dalam Forum Komunikasi Guru dan Penjaga Wiyata Bakti (FKGWB) Banyumas melakukannya di depan gedung DPRD setempat. Tuntutannya adalah supaya honor yang mereka terima meningkat dari Rp 50.000,00 perbulan yang mereka terima sebelumnya.

Jauh di Sulawesi seorang guru bernama Ati (44), menerima Satya Lencana Pendidikan dari presiden atas keihklasannya mengajar di daerah terpencil dengan gaji Rp 15.000,00 saja. Kedua kasus tersebut jelas menunjukkan perbedaan yang sangat mencolok. Guru, satu sebutan, tetapi berbeda pemaknaan.

Pada dasarnya, kesejahteraan memang merupakan dambaan semua orang sebagai imbas dari profesi yang dimiliki sesuai dengan kinerjanya. Sehingga, profesi tidak hanya dimaknai sebagai titel yang bersesuaian dengan pendapatan tetapi diiringi dengan prinsip profesional. Artinya, dengan semakin tinggi tuntutan yang diminta, seharusnya semakin inovatif guru dalam memberikan kemampuannya.

Guru sejati tidak hanya digambarkan sebagai sosok yang mata duitan. Guru adalah simbol keteladanan bagi murid-muridnya. Ketika guru kehilangan jati dirinya, maka yang akan hancur adalah sistem pendidikan dalam ranah praktis. Kenaikan kesejahteraan seharusnya menjadi bagian dari peningkatan kapasitas dalam mendidik anak bangsa. Dengan demikian, pendidikan tidak akan kehilangan figur guru yang diidam-idamkan oleh masyarakat. Jika tidak, kita hanya akan mengenal satu guru dalam diri Oemar Bakri. Selamat hari guru.

Isdiyono, Mahasiswa Program Pendidikan Guru Sekolah Dasar

Universitas Negeri Yogyakarta

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun