Terjebak dalam dualisme Cartesian
antara raga dan jiwa yang tak pernah satu
Jika mencintai hanya seputar hati
Kita hanyalah sebatas pengagum
Yang saling mengagumi dan selalu
Namun tentang paras yang selalu membius
Apakah menipu harus menjadi predikat hati, jiwa
Keharmonisan sebuah materi tak pernah pergi dari kosa kata kenikmatan
Dan jiwa yang mencintai tanpa perlu mendengarkan lonceng-lonceng gereja
menjadi cerita lepas dan hilang ditelan angin
Jika tubuh adalah penjara jiwa paling lazim
Betapa tersiksanya jiwa lantaran tubuh yang didera tangkapan mata
Sebab jiwa yang sejati tak pernah sepayung bersama nafsu
Dan materi akan bergulat dalam kefanaan yang dipuja rayap
dan menjadi azupan gizi paling mutakhir bagi akar-akar pohon
Dari pagi dan malam kita telah berlarut-larut di dalam kekangan tradisi
Bahwa kita akan pergi dan pulang kepada tempat yang sama
Dan cinta yang seia dalam jiwa dan materi tak akan lagi saling mengenal
di jalan pulang yang penuh misteri
Mencintai harus seperti adonan kue
yang tercampur rata, sedikit basah
hukum keseimbangan yang menjadi hakim antara jiwa dan materi
Agar tak nihil dijalan pulang
menutup mata adalah sangsi paling mujarab
Sekedar menjadi tuhan atas diri sebab Tuhan masih dalam tanda kurung.
 Â
Ischo Frendino. JKT, Tanah Abang, 29/02/2
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H