Pukul 6.30 di Halte Bus.
Di sini kutinggalkan masa lalu
menitipkan goresan janji untuk tak pernah kembali ke waktu-waktu dulu
pada jendela kaca halte yang berembun dan dikotori luka-luka ingatan yang membiru
yang  terus menerus merenungi waktu,
mentasbihkan setiap  gemericik hujan yang jatuh tanpa malu.
Teruntuk mereka yang tak mampu pergi dari hati dan tak bisa melangkah menjadi baru
bus-bus adalah waktu
 membawamu pergi ke kota-kota berjuta cinta yang tak kenal cemburu
dipenuhi seroja-seroja indah di tikungan kesempatan yang tak lagi layu
mampirlah sejenak, cumbui semerbak keharumannya yang lugu.
Sementara di tengah kegelisahan dan sangsi para penunggu, Â
bus-bus datang dan pergi berlaju-laju
Jarum arlojiku pun seirama nadi berdetak tak kenal ragu
luruh tanpa makna dan lampu merah yang tak pernah abadi menyala
mentakdirkan langkah kakiku.
Akhirnya kau pun sebuah album yang membeku
yang kutinggalkan di sepanjang jalan yang pernah kucumbu
belati yang memberi luka, yang hanya bisa kucium di dasar kenangan tumpukan puisiku.
Pukul 6.30 aku pun  cepat-cepat pergi terburu-buru
menghindar dari keriapan impian yang menyekap ku kembali ke masa- masa purba pertemuan itu.
Aku masih punya dua kaki dan satu hati, menyisir belantara kehidupan baru.
Sambil mendengarkan lagu
aku bersuratan dengan angin tuk sampai di tempat baru.
Berpacu dan melaju.
Ischo Frendino, Jakarta 31/01/20
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H