Mohon tunggu...
Isbedy Stiawan ZS
Isbedy Stiawan ZS Mohon Tunggu... -

Lahir di Tanjungkarang, Lampung, dan hingga kini masih menetap di kota kelahirannya tersebut. Menulis puisi, cerpen, esai sastra dan opini sosial, politik, dan kebudayaan. sejumlah buku sastra yang telah diterbitkan oleh penerbit di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money

Kompasiana: Media Publikasi

16 November 2010   11:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:33 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

SEORANG teman pelukis asal Indramayu dan kini menetap di Jakarta, Dirot Kadirah, dalam diskusi sastra selesai saya membacakan puisi di Dewan Kesenian Cirebon (DKC), dua tahun lalu, cukup kenes tatkala mengomentari keluhkesah para sastrawan karena kesulitan mendapatkan media publikasi. Padahal, menurut pelukis berwarna nelayan itu, media publikasi bagi seorang seniman cukup banyak dan luas. Dia mencontohkan bagaimana para perupa (pelukis), yang  mengekspresikan gagasannya tak hanya liwat selembar kanvas, tapi bisa dengan berbagai cara.

Lalu, dia mempertanyakan, kenapa sastrawan begitu pusing hanya soal media publikasi? Terutama penyair, sebenarnya bisa mempublikasikan liwat banyak hal, bahkan bisa dicetak digital printing sehingga puisi membentuk rupa (gambar, jika dikasih lukisan-lukisan). Belum lagi media di dunia maya, alangkah banyaknya. "Memang hasilnya (maksud dia materi) tidak langsung didapat, namun jika sudah dikenal banyak orang dan menara sudah dibangun, pastilah materi itu akan datang juga," ujar Dirot.

Sejak itu, aku mulai menggagas bikin puisi digital printing dan baru terealisasi saat NGO Lampung Ikhlas menggelar "Lampung untuk Mentawai, Saatnya Ikhlas" di Pondok Rimbawan, pekan lalu. Aku cetak tiga puisi tentang musibah di Mentawai dan Merapi. Ketiga puisiku dilelang dan meraup dana Rp2.600.000 yang semuanya dialokasikan bagi korban tsunami di Mentawai.

Lalu, aku jabarkan apa yang dikatakan pelukis Dirot. Ternyata facebook, twiiter, dan Kompasiana adalah media publikasi yang sangat efektif. Terutama Kompasiana, aku merasakan manfaat yang cukup besar bagi publikasi karya-karya--juga reportase--berbagai kegiatan. Di Kompasiana aku pernah menulis berita lomba cipta puisi, dan kiranya mampu meraup peserta yang siginifikan. Begitu pula tatkala para pemenangnya diumumkan, juga banyak yang mengaku dari Kompasiana ketimbang media cetak lain. Ukuwan cepat menjadi alasan kenapa penulis dan pembaca memilih Kompasiana sebagai ruang/media publikasi.

Dan, ternyata hampir mayoritas tulisan yang ditayang di Kompasiana berupa opini, reportase, dan sedikit sekali hanya curahan hati (curhat) ataupun diary. Inilah yang membedakan dengan media maya seperti facebook lebih banyak kita hanya membaca status seseorang tentang apa dan sedang melakukan apa dan di mana dia berada saat membuat status. Kalau mau sedikit berkualitas, kalau pun itu ada, membaca tulisannya di catatan facebook. Tetapi, berapa banyak yang memanfaatkan ruang 'catatan' di facebook? Bahkan, seorang teman, belum tahu cara menggunakan 'catatan' di fb padahal dia sudah lama memiliki akun jejaring sosial dunia maya itu.

Inilah gambaran, sejatinya ruang yang diberikan Kompasiana dengan begitu lebar, dan seleksi yang begitu longgar--kecuali barangkali tulisan yang berbau SARA dan pornografi, maka admin Kompasiana akan membuangnya--sehingga setiap orang yang telah terdaftar sebagai anggota Kompasiana (Kompasianer) dapat menggunakan dan memanfaatkan setiap ruang/rubrik yang disediakan. Pertanggungjawaban atas tulisan itu, berpulang kepada penulisnya. Termasuk bagi tulisan yang ternyata plagiat/mencuri dari karya orang lain. Dia pasti dengan sendirinya 'dibumihanguskan' dari ruang publikasi bernama Kompasiana ini.

Sepanjang aku menjadi Kompasianer, sejumlah tulisan dan sejumlah penulis bisa saya baca dan kenal. Dari yang senior hingga yang junior. Dari yang berjuluk 'mbah' hingga 'cicit'--bahkan, 'muridku' baru kutahu kalau dia suka menulis di Kompasiana (maaf, untuk keperluan privasi, kata 'murid' di sini tak kusebut namanya--kecuali dia memintanya sendiri dengan memberi komentar nantinya, isb). Dari tulisan yang tadinya biasa-biasa dan cenderung lari ke mana-mana, akhirnya dapat runut dan enak dibaca. Kemudian, yang kutahu dia mulai menulis kolom di media cetak.

"Anugerah Kompasiana. Saya banyak belajar dari sana. Hasilnya memnggembirakan!" ujarnya, saat sebuah opininya dimuat di media cetak lokal. "Tapi, ini baru permulaan saya belajar menjadi kolomnis," katanya lagi.

Ya. Bagi seorang penulis, tak ada kata berhenti untuk belajar. Membaca dan menulis adalah bagian penting dari pembelajaran dan belajar. Suka membaca akan menularkan keinginan menulis. Dan banyak menulis, tentu harus rakus membaca pula. Sekalung matarantai yang tak boleh diputuskan.

Kini, meski tak sebanyak di facebook, karya-karyaku juga telah menayang di sini. Kalau tidak karya baru, kadang aku mendownload tulisanku yang telah dimuat media cetak: ini hanya untuk berbagi kabar. Artinya, media cetak terbatas pembacanya karena penyebaran yang berada di satu wilayah. Maka bagi yang belum membaca di media cetak, bisa menikmati tulisanku yang sama di Kompasiana.

Pada akhirnya, Kompasiana sebagai media publikasi dan ruang publik terpenuhi. Oleh karena itu ke depan, diperlukan ada ciptaan-ciptaan pembaruan. Misalnya tata wajah, warna, dan penampilan lainnya. Kata orang-orang tua: penampilan mencerminkan pribadi seseorang. Meski aku begitu setuju seratus persen, tapi kenapa banyak orang "yang penting keren, biarpun kere...".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun