Bagaimana tidak mendendam para mantan anggota PKI dan yang terlibat dalam pergerakan. Selama Orde Baru tidak diberi kesempatan untuk menjadi PNS, bahkan kehidupannya diawasi terus menerus.
Anggota TNI yang pernah memnyumbang apapun dalam pergerakan PKI dianggap mendukung PKI dan mengalami hukuman penjara dengan tidak disidangkan, inilah yang selalu diungkit. Banyak warga negara yang lari keluar negeri dan tidak bisa kembali ke Tanah Air.
Dibukanya keran demokrasi melalui reformasi dan runtuhnya Orde Baru memberikan angin segar bagi anak-anak anggota PKI, sebut saja Ribka Ciptaning yang bangga menjadi anak PKI bahkan terang-terangan dalam sebuah buku serta wawancara di salah satu media beliau mengatakan bahwa ada sekitar 15 juta termasuk anak dan cucunya.
Jumlah ini sangat potensial dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah melalui lembaga legislatif. Dan informasi ini telah disampaikan oleh Ustad Alfian Tanjung bahwa saat ini sudah ada kurang lebih 200 anggota legislatif yang berasal dari keluarga mantan anggota PKI.
Bila dipikir-pikir dendam ini tidak akan berakhir. Karena semua pihak merasa benar dan tidak mau disalahkan. Coba renungkan Letnan Jenderal TNI Purnawirawan Agus Wijoyo Kepala Lemhanas pernah menggagas acara Simposium Nasional, membedah Tragedi 1965 di Hotel Aryaduta, 18 April 2018.
Simposium ini diadakan guna menemukan penyelesaian Tragedi 1965. Tapi yang terjadi malah beliau yang dipersalahkan, sebagai pendukung PKI padahal orangtua beliau yang menjadi korban kebiadaban PKI. Maka oleh sebab itu dendam tidak akan pernah selesai bila masing-masing terus mempermasalahkan.
Dendam tidak akan selesai, sekali lagi tidak akan selesai. Oleh karena itu, mari berpikir kedepan menuju Indonesia yang lebih baik, lebih hebat dari kemajuan-kemajuan Ilmu Pengetahuan untuk kepentingan Bangsa dan Negara.
Beberapa narasi yang telah disampaikan melalui media televisi di atas membuat masyarakat jenuh dan berpikir kapan akan berakhir. Haruskah kita terprovokasi dengan semua tayangan dan narasi-narasi yang terus ditayangkan?
Haruskah pihak-pihak yang kalah juga terus-menerus menekan kekuasaan agar meminta maaf?
Semoga cepat berakhir walapun sangat sulit akan berakhir. Harus ada yang berlapang dada untuk islah. Aamiin. (IDT)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H