Ketika Nenek ku Meninggal
Kelas 1 SD tahun 1972, sudah tinggal di Asrama Batalyon Kavaleri 8 Tank, terdengar kabar bahwa Nenekku meninggal dunia melalui telegram dari Kodim Manna Bengkulu Selatan.Â
Orang tua ku di berikan ijin cuti untuk pulang ke kampung menghadiri Ibundanya yang telah meninggal. Aku yang masih kelas 1 SD di ajak untuk ikut menemani Bapakku menuju Bengkulu. Berangkatlah aku menuju Jakarta dengan Bapakku, dari Cililitan menuju Tanjug Priuk. Perjalanan menuju Bengkulu tidak semudah seperti saat ini.Â
Dari kota Jakarta sebelum menuju pelabuhan di bawa putar-putar kota Jakarta hingga waktu sore Kapal sudah bersandar di Pelabuhan Tangjung Priuk. Pelabuhan Merak belum ada saat itu. Dari Tanjung Priuk menuju Pelabuhan Panjang di Lampung. Turunlah di Pelabuahan Panjang yang sudah tidak digunakan, saat ini untuk pelabuhan untuk Kawasan  peti kemas.
Dari Pelabuhan Panjang, melanjutkan perjalanan dengan menggunakan kereta Api menuju Stasiun Lubuk Linggau. Dari dalam kereta api aku bulak balik berjalan menuju wc, karena tidak hati-hati jempol tangan kiriku terjepit pintu wc dan langsung menghitam, sakit rasanya, karena salah sendiri jadi tidak menangis dan di tahan rasa sakitnnya.Â
Perjalanan menuju Bengkulu mengalami beberapa malam untuk bisa sampai di kampung halaman orang tua ku. Perjalanan harus menyeberang sungai yang belum ada jembatannya, mobil, sepeda semua di seberangkan melalui jembatan penyeberangan yang di Tarik oleh beberapa orang agar sampai di seberang.
Bermalam di Lubuk Linggau dan besoknya melanjutkan perjalanan melalui Muarainim Lahat dan sampailah di Bengkulu Selatan Kota Manna sore harinya. Sangatlah melelahkan karena harus berhenti dan melanjutkan perjalanan.Â
Di kota Manna menginap semalam untuk melanjutkan perjalanan esok harinya. Dirumah saudara aku di jamu dan di potongkan ayam.Â
Kendaraan menuju kampung halaman tidak ada, akhirnya Bapakku dan aku naik sepeda ontel menuju Kedurang. Aku duduk di belakang, dan Bapakku mengayuh sepedah sepanjang 40 km, untuk sampai di kampung halaman, dan beberapa kali istirahat. Sepeda di peroleh dari saudara yang ada di Kota Manna, entah di beli atau di pinjamkan yang jelas sepeda itu sampai di kampung halaman.
Perjalanan dengan sepeda membuat ku ngantuk karena tertiup angin sepeda yang menghembus, sesekali di tegur oleh Bapakku. Aku tidak tau bagai mana perasaan Bapakku ketika itu. Aku masih kecil, kelas satu SD sementara Ibu Orang tuaku yang paling di sayangi meninggal dunia dan harus menempuh perjalanan sampai beberapa malam.Â
Perjalanan dari Kota Manna ke Kedurang jalannyanya belum sebaik saat ini, jalannya masih berbatuan dan lebih sering digunakan untuk pelajan kaki dan gerobak yang di Tarik oleh Sapi atau Kerbau. Kiri kanan perkampunagn di Kedurang masih tinggi-tinggi rumahnya, masih takut bila ada harimau masuk kampung. Saat ini perumahan di Kedurang sudah modern seperti perumahan di perkotaan, masih ada rumah panggung namun hanya beberapa lagi.