Pemberitaan terhangat di beberapa tayangan televisi ibukota sedang ramai menyajikan tentang tewasnya dua pelajar tingkat menengah atas di ibukota. Kematian mereka diduga karena mendapatkan tindakan bullying dari kakak kelasnya di sekolah.
Sungguh suatu fenomena kekerasan baru yang selama ini luput menjadi perhatian kalangan pendidik di sekolah. Bullying merupakan suatu perilaku agresif dari seorang individu atau kelompok, berupa tindakan menyerang, mempermalukan, atau mengintimidasi yang dilakukan secara berulang kali.
Tindakan pullying terbagi menjadi 3 bentuk, yaitu fisik (memukul, menendang, dan mendorong), verbal (menghina, mngejek, dan mengancam), serta emosional (menyebarkan rumor/ gossip, menyingkirkan dari kelompok).
Suatu laporan di Indonesia tahun 2013 menunjukkan bahwa tindakan bullying telah djumpai di sekolah. Bentuk bullying tersebut sebagian besar berupa verbal, seperti: ucapan atau kata-kata yang mencela, mengejek, atau memanggil teman dengan sebutan yang melecehkan, yaitu sebanyak 38-41,7%. Sedang bentuk bullying urutan dua di sekolah adalah fisik, berupa: menendang, memukul, dan menampar sebanyak 19.2-26,9%.
Survei lainnya pada sejumlah pelajar di kota-kota besar Indonesia menunjukkan bahwa sebanyak 18,9-49% mengaku pernah menjadi korban bullying di sekolah berupa verbal. Sedangkan bentuk fisik dijumpai sebanyak 15,2-35,6%. Sebagian besar responden mengaku bahwa yang menjadi pelaku bullying di sekolah adalah orangtua, pendidik dan teman mereka sendiri.
Bullying ternyata dijumpai hampir di setiap negara di dunia. Fenomena bullying di sekolah dikenal di negara Jepang dengan istilah “ijime.” Tindakan bullying tentunya dapat berdampak secara psikologis kepada anak yang menjadi korban, diantara berupa: penurunan fungsi dan kesehatan mental seperti rasa cemas dan takut, menolak sekolah (school refusal), tertekan (depresi), dan mengalami masalah penyesuaian secara umum dan memilki memori trauma. Suatu penelitian menunjukkan bahwa remaja dengan gejala psikotik berupa perilaku halusinasi ternyata memiliki kemungkinan lebih besar memiliki riwayat sebagai korban perilaku bullying. Pada temuan kasus di praktek klinis, bullying di sekolah dapat menyebabkan suatu perilaku tidur berjalan atau di kenal dengan sebutan somnambulisme pada anak yang menjadi korban.
Berdasarkan uraian diatas, ternyata tindakan bullying ada di sekitar kita, khususnya sebagai bentuk kekerasan di sistem pendidikan. Mengingat dampaknya yang begitu hebat, maka diperlukan suatu upaya pencegahan terhadap hal ini. Pencegahan primer berupa sosialisasi akan kesadaran publik akan pencegahan kekerasan: keselamatan pada anak di sekolah, peraturan dan undang-undang perlindungan anak, program pelatihan cara mengasuh anak bagi orangtua. Pencegahan sekunder biasanya kepada keluarga dengan risiko tinggi melakukan kekerasan berupa pelatihan parenting style. Pencegahan tersier diberikan kepada keluarga yang memiliki riwayat perilaku kekerasan agar tidak terjadi pengulangan dengan bantuan konselor, presentasi role model orangtua yang baik, dan penyuluhan rutin mengenai keluarga sehat jiwa dari layanan keswamas rumah sakit jiwa.
Dalam sistem pendidikan, guru sebagai individu yang banyak bersama anak di sekolah perlu memiliki tugas untuk melaporkan kecurigaan terjadinya kekerasan pada anak ke pihak yang berwenang seperti kepolisian atau komisi perlindungan anak. Selain itu guru perlu mendapatkan sosialisasi tentang pentingnya upaya pencegahan perilaku bullying di sekolah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H