Setelah beberapa bulan lalu media massa dipenuhi oleh berita tentang kekerasan seksual pada anak. Kini tajuk beritanya pun beralih ke laporan kasus mengenai anak-anak yang menjadi korban kekerasan fisik. Kekerasan fisik yang kemudian berujung pada kematian. Sungguh miris tentunya, masa-masa bermain dalam tahapan perkembangan mereka justru terampas oleh perlakuan kekerasan fisik.
Saya kembali mencari makalah tugas book reading saya dulu saat menjalani pendidikan psikiater tentang topik kekerasan fisik pada Anak. Eureka…! Saya pun berhqsil menemukannya dalam tumpukan kertas-kertas berdebu di laci meja kamar perpustakaan kecil di rumah. Kini saya baru sadari, ternyata makalah book reading saya selama pendidikan psikiatri umum lebih banyak menyoroti masalah kesehatan jiwa anak dan remaja. Sungguh hal yang tak terduga, ternyata peminatan khusus pada awal pendidikan psikiatri tersebut justru yang mengantarkan saya kepada profesi sekarang ini sebagai psikiater anak. Thanks god and off courses to my lecturer at child & adolescent psychiatry division, I was born to be a child psychiatrist.
Topik mengenai kekerasan fisik pada anak ini menjadi serial tulisan saya yang kedua dalam menyoroti berbagai problematika kekerasaan pada anak dan remaja. Setelah yang pertama tayang mengenai kekerasan seksual pada anak. Tulisan berikut ini masih berupa cukilan dari book reading saya tentang kekerasan fisik pada anak.
Kekerasan fisik pada anak telah didefinisikan oleh Child Abuse Prevention, Adoption and Family Services Act di Amerika Serikat sejak tahun 1998. Kekerasan fisik adalah perlukaan fisik yang di sengaja (keadaan bahaya) atau berisiko (keadaan terancam) pada anak dibawah 18 tahun oleh seseorang yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan anak tersebut, yang menyebabkan kesehatan dan kesejahteraan anak menjadi terancam.
Laporan di Amerika Serikat tahun 1993-1997 menunjukkan bahwa jumlah anak yang menjadi korban kekerasan fisik adalah 21,3-25,9%. Kebanyakan dari pelaku ternyata adalah orangtua korban. Anak yang lebih kecil cenderung lebih berisiko untuk mengalami penganiayaan, Laporan di Amerika tahun 1998 menunjukkan lebih dari 75% korban yang meninggal akibat kekerasan fisik berusia kurang dari 3 tahun. Ayah dan ibu memiliki kemungkinan yang sama untuk menganiaya anak berusia 1 minggu sampai 13 tahun. Pada korban berusia 13-15 tahun yang meninggal, 63% pelaku adalah ayah korban, sedangkan pada 16-19 tahun mencapai 80%. Studi menunjukkan bahwa dua pertiga kasus kekerasan fisik yang berat dilakukan oleh ayah dengan karakteristik sebagai berikut: belum cukup berpengalaman mengasuh anak, kesulitan pengendalian impuls, dan cenderung kasar terhadap pasangannya.
Faktor risiko terjadinya kekerasan pada anak berdasarkan beberapa literatur, antara lain: orangtua dengan gangguan kepribadian atau penyalahgunaan zat dan riwayat mengalami kekerasan di masa kanak, atau karakter anak yang rapuh (misalnya berat badan lahir rendah, temperamen seperti: banyak menangis atau sulit dikendalikan, prematuritas, retardasi mental, dan kecacatan fisik).
Fenomena sosial yang banyak dijumpai di perkotaan juga berkontribusiterhadap kejadian kekerasan fisik pada anak, diantaranya: kurangnya dukungan sosial, orangtua tunggal, isolasi sosial, kemiskinan, orangtua dengan tingkat pendidikan yang rendah, pengangguran, keluarga yang berkonflik, pendapatan yang kurang, atau ibu dengan kecerdasan ambang atau dibawah rata-rata, lingkungan perumahan yang buruk, ras minoritas, kurangnya akulturasi, jumlah anak dalam keluarga, orangtua yang masih muda, dan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga).
Beberapa studi menunjukkan bahwa dampak dari kekerasan fisik diantaranya: anak menjadi kurang memiliki empati dan rentan terhadap gangguan emosi dan perilaku seperti disregulasi mood, perilaku agresif dan merusak (30%), bermusuhan, ADHD, menarik diri, gangguan kelekatan orangtua–anak, kurang disukai atau popular dibandingkan teman sebaya, depresi berat atau distimia (40%), rendahnya kemampuan akademis (bahasa dan matematika), IQ yang rendah, keterlambtan bicara, meningkatnya ambang nyeri dan penyalahgunaan zat.
Kekerasan fisik pada anak sangat berdampak buruk terhadap proses tumbuh kembang anak. Titik awal pengobatan anak korban kekerasan adalah menjamin keselamatan anak dari terjadinya kembali trauma, dan mencegah terjadinya kekerasan kembali. Upaya pencegahan primer kekerasan fisik pada anak dapat berbentuk intervensi psikososial berupa: peningkatan kompetensi orangtua melalui program edukasi mengenai kekerasan fisik pada anak bagi kelompok berisiko tinggi (orangtua tunggal, orangtua yang masih muda, keluarga dengan status sosial ekonomi rendah, orangtua yang memilki anak dengan kecerdasan kurang), dan optimalisasi program layanan konsultasi dengan telepon melalui hotline service terkait temuan kasus kekerasan fisik pada anak.
Upaya sosialisasi mengenai dampak buruk dari kekerasan fisik pada anak dapat dilakukan oleh layanan kesehatan jiwa masyarakat di rumah sakit jiwa melalui metode dan modul pencanangan program “Keluarga Sehat Jiwa” dengan kader terlatih di perkotaan yang diawasi oleh pekerja sosial dan petugas medis (dokter dan tim keperawatan) melalui kunjungan rumah demi memperkuat keluarga. Upaya tersebut dapat menjadi langkah skriining dalam mengidentifikasikan keluarga yang berisiko tinggi melakukan kekerasan fisik, seperti penilaian riwayat kekerasan pada orangtua, penyalahgunaan zat, gangguan kepribadian atau tindakan kriminal. Strategi program keluarga sehat jiwa juga berupaya membantu ayah dalam meningkatkan kemampuannya dalam mengasuh anak, contoh metode good parenting skills dengan melakukan peran yang lebih efektif bersama pasangannya.
Upaya bagi anak korban kekerasan fisik adalah menciptakan suasana lingkungan yang baik dalam seting kelompok pada sesi terapi bermain untuk membantu anak menggunakan respons koping yang lebih sehat dan dapat berinteraksi dengan teman sebaya. Anak perlu diberitahu bahwa kekerasan yang terjadi bukanlah kesalahan mereka, dan mereka tidak disalahkan. Art therapy juga efektif sebagai program tatalaksana pada anak yang mengalami kekerasan fisik seperti bermain dan mengambar untuk dapat mengekspresikan mengenai trauma yang dialaminya dalam bentuk simbol. Terapi ini penting mengingat bahwasannya anak sulit dalam mengungkapkan dalam kata-kata mengenai hal menyakitkan pada dirinya, sehingga diperlukan media non verbal seperti boneka dan gambar.
Berbagai modalitas terapi dan modul program tersebut diatas dapat dijumpai dan tersedia lengkap di Layanan Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja RSJ Dr Soeharto Heerdjan Grogol Jakarta. Apabila dijumpai temuan kasus kekerasan fisik pada anak di masyarakat maka dapat berkonsultasi melalui hotline service 500454 di rumah sakit kami untuk segera mendapatkan penanganan lebih lanjut.
Dr Isa Multazam Noor, SpKj (K) – Psikaiter Anak di Instalasi Kesehatan Jiwa Anak & Remaja RSJ Dr Soeharto Heerdjan Grogol Jakarta Barat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H