Ilustrasi pelecehan seksual pada anak. megapolitan.kompas.com
Berita mengenai kasus kekerasan seksual pada anak di Indonesia rasanya kian hari makin mengkhawatirkan saja. Ragam kasus yang terjadi mulai dari pelaku dewasa yang dikenal dengan sebutan paedophilia sampai dengan yang baru saja ramai di pemberitaan media massa, yaitu pelaku remaja.
Kasus yang dilansir dari pemberitaan baru-baru ini tentang tindak pemerkosaan pada anak yang berujung pada pembunuhan di Indonesia telah membangunkan kesadaran pada masyarakat akan pentingnya awareness (kepedulian) akan pencegahan terhadap aksi kekerasan dan kejahatan seksual pada anak dan remaja yang dilakukan oleh para predator seksual anak.
Bahkan terasa sungguh miris, tindak pemerkosaan tersebut diduga dilakukan secara bersama-sama oleh 14 remaja usia tanggung, yaitu anak yang masih bau kencur atau anak ingusan.
Pengaruh minuman alkohol ditengarai menjadi pemicu aksi brutal itu terhadap korban seorang anak remaja perempuan yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Kasus ini sontak meningkatkan kewaspadaan masyarakat akan bahaya dan pengaruh alkohol terhadap perilaku anak dan remaja yang notabene masih dalam tahapan pencarian jati diri atau mengalami krisis identitas.
Sungguh tak dapat di mengerti dengan akal pikiran yang sehat, para remaja tersebut tega melakukan perbuatan tersebut dan kemudian membunuh korbannya.
Pemberitaan akan dugaan perbuatan sadis yang diakhiri dengan menghilangkan nyawa korban ini telah memunculkan kembali suatu perdebatan pernah ada di Indonesia akan opsi “kebiri kimiawi” sebagai bentuk alternatif tambahan hukuman bagi para predator seksual anak.
Predator seksual anak adalah para residivis yang melakukan kejahatan seksual secara berulang pada anak dan remaja berusia dibawah 19 tahun. Kebiri kimiawi adalah pemberian obat hormonal atau agen kimia (farmakologis) yang dapat menurunkan tingkat agresivitas dan kekerasan seksual dari para pelaku pelanggaran seksual, baik terhadap wanita maupun anak dan remaja.
Kebiri atau pengebirian dikenal dalam dunia medis dengan istilah kastrasi. Kastrasi bertujuan untuk menghilangkan fungsi dari testis (kantong sperma) pada individu laki-laki dewasa. Opsi kebiri kimiawi biasanya diberikan dalam jangka waktu tertentu, baik pada saat menjalani masa penahanan di penjara atau setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan.
Hal ini sebagai upaya pencegahan sekunder saat residivis kembali ke masyarakat. Studi literatur menyebutkan bahwa opsi kebiri kimiawi yang telah dilakukan di beberapa negara (Amerika Serikat, Eropa, dan Asia) diberikan dalam jangka waktu tertentu, yaitu 3 sampai 5 tahun sebagai bentuk partially incarceration (penahanan sebagian).
Opsi kebiri kimiawi bagi para residivis memerlukan persetujuan dan bukanlah hal yang bersifat paksaan. Pemberian agen farmakologis dari kebiri kimiawi dilakukan setelah menjalani pemeriksaan psikiatrik (kejiwaan) yang bersifat periodik dan telah mendapatkan pertimbangan atau rekomendasi dari para psikiater yang tergabung dalam tim kesehatan jiwa terpadu.