Saat kondisi tertekan (stress), sering terdapat perkataan yang masuk ke pikiran kita berupa "Positive Thinking Aja Dech" dari sahabat yang peduli. Nasehat yang sebetulnya baik itu tetapi justru menjadi bumerang sehingga membuat diri individu menjadi makin terpuruk. Kondisi tersebut dikenal dengan istilah "Toxic Positivity." Anjuran untuk "be a positive thinking" tersebut menjadi toksik atau terkesan beracun bagi kondisi emosional individu yang alami stress.
Toxic positivity adalah keyakinan individu untuk tetap mengunakan pola pikir positif dalam memandang kondisi yang dialami seberapapun sulitnya. Perkataan baik itu menjadi toksik karena diberikan di saat yang tidak tepat. Dalam kondisi stress, biasanya individu akan merasa lebih nyaman dengan "didengarkan" dan bukan dengan perkataan yang menekan dan tidak menyediakan wadah penyaluran. Â Dalam pergaulan masyarakat, toxic positivity dapat disebut dengan istilah "ke teken" secara psikologis dengan terus mengucapkan "berpikir positif" tentang situasi sulit tanpa solusi.
Toxic positivity juga dapat timbul dari anggapan individu itu sendiri yang menerapkan mindset di pikirannya berupa "udah positive thinking aja lah." Hal ini tentu merupakan upaya yang dapat berdampak toksik bagi mental emosional dirinya. Individu menggunakan quote (kutipan) tersebut dalam upaya menekan emosi jiwa yang kemudian malah berujung lara. Individu menjadi mengabaikan inti permasalahan yang dialami dengan menyembunyikan emosi yang menyakitkan.
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya toxic positivity, diantaranya adalah: karakter keribadian yang tertutup (introvert), minimnya dukungan sosial (social support), dan kondisi "over thinking" yang tidak mendapatkan oase untuk curhat. Otak kita memang memiliki kapasitas muatan yang luas sebagai kontainer hati dalam menampung segala tekanan, tetapi tentu perlu mendapatkan pemecahan masalah.
Agar otak kita menjadi prima dan terwujudnya "healthy brain," maka perlu kenali tanda-tanda dari toxic positivity. Tanda dari kepositifan yang beracun ini diantaranya adalah: menekan emosi jiwa seperti kesedihan akibat rasa marah, kecemasan, dan perasaan lara hati dengan mengatakan "I am Okay" padahal sebenarnya perlu diutarakan. Individu sungkan menyampaikan rasa sakit hati di pikiran dengan alasan tidak ingin memperpanjang. Seyogyanya, individu tersebut perlu bersikap asertif dengan "speak up" terhadap ketidaknyamanan akibat sumber tekanan dari individu lain.
Sebagai simpulan, toxic positivity dapat dialami setiap individu dan memerlukan penyaluran perasaan, pemulihan dan pencarian solusi terhadap stress yang mendera. Hal yang dapat dilakukan adalah dengan mencari bantuan psikologis dan kesehatan jiwa dari profesional yang sesuai, seperti: psikiater, psikolog, dan konselor.
dr Isa Multazam Noor, MSc, SKJ(K) -- Psikiater Anak & Remaja di RS Antam Medika Rawamangun Jakata Timur       Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H