Mohon tunggu...
Isal Teje
Isal Teje Mohon Tunggu... Blogger Ecek-Ecek -

Penulis ecek-ecek yang sedang mencoba menaikan karirnya.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Oktober, Panggung Drama "Pribumi 212"

5 Desember 2017   15:03 Diperbarui: 5 Desember 2017   15:09 1149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kembali pada bulan oktober lalu tahun 2017,

Belakangan ini muncul isu-isu mengenai Pribumi. Entahlah, alasan apa sesungguhnya yang mendasari penggelindingan isu ini, karena dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia sudah berjalan puluhan tahun bahkan ratusan tahun tak ada isu yang sampai menggemparkan publik indonesia dalam penggunaan kata Pribumi.

Sejatinya jika ditelisik istilah "Pribumi" sendiri muncul di era kolonialisme Belanda dari bahasa Belanda merupakan Inlader, istilah pertama kali dicetuskan dalam undang-undang kolonial Belanda pada tahun 1854 untuk menyamakan beragam kelompok penduduk asli di Nusantara pada zaman itu. Hal ini juga ditujukan untuk membagi kelas sosial dalam masa kolonialisme Belanda. Ada tiga tingkatan kelas selama masa kolonial yaitu; kulit putih atau Europeanen, Vreemde Oosterlingen (Timur Asing) dan yang ketiga adalah Inlander atau Pribumi.

Namun realitanya isu ini mengenai Pribumi ini menggemparkan publik indonesia beberapa hari kebelakangan. Pasalnya pasca pidato dari gubernur terpilih DKI Jakarta beberapa hari lalu, masyarakat indonesia terhentak dengan penggunakan kata Pribumi. Bagaimana tidak terhentak, jika menelisik kebelakangan ada instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tegas-tegas berjudul: "Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, Ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggara Pemerintah." Hal ini pun menarik untuk ditelaah lebih lanjut.

Erving Goffman (The Presentation of Self in Everyday Life Life, New York: Doubleday, 1959) Melihat fenomena sosial sebagai sebuah pengamatan terhadap ekspresi tindakan sosial seperti laiknya kita menonton pertunjukan drama di atas panggung. Menurut Goffman (1959) fenomena sosial budaya terdiri dari tiga unsur; 1. front stage: yang secara formal dijadikan arena permainan, 2. back stage: yang secara informal justru melatarbelakangi konsep pengadeganan (motivasi terciptanya tindakan sosial), 3. audience: secara langsung terlibat dalam peristiwa (pemberi stimulus tindakan sosial).

Jika diaplikasikan dalam isu Pribumi yang menyangkut gubernur DKI Jakarta terpilih, hal ini merupakan fenomena sosial budaya dimana pada unsur pertama front stage: pidato gubernur terpilih DKI Jakarta. Kemudian pada ranah back stage: hal ini yang melatarbelakangi beliau dalam pidato tersebut (kontesasi politik? Atau kepentingan "bersama"?), dimana hal ini yang tidak diketahui para penikmat (masyarakat). Pada posisi audience, masyarakat yang menerima dan secara tidak langsung membuat isu ini menjadi kontroversial karena memberikan stimulus atau respon terhadap front stage(pidato) yang kemudian membuat isu ini berkembang secara cepat.

Jadi pada dasarnya respon atau stimulus masyarakat terhadap suatu isulah yang menyebabkan isu Pribumi ini berkembang dan menuai kontroversi. Sejatinya tidak ada yang salah dalam pidato gubernur terpilih DKI Jakarta tersebut, responnya lah yang membuat masyarakat ikut terstimulus untuk menuai dan menanggapi isu tersebut. Kita pun tidak tau maksud dari sang "sutradara" membuat panggung drama ini yang bertemakan tentang Pribumi. Namun ini menjadi catatan bersejarah pada era post-modernisme ini.  Dilanjutkan dengan adanya reuni 212 yang sekarang marak dibicarakan, akankah Jakarta menjadi 'main stage' lagi seperti pada kasus 1998? mari kita saksikan bersama-sama.

NB: Penulis hanya memaparkan saja, baik konten dan konteks, tidak termasuk dalam kontesasi politik apapun. Penulis juga tidak ada maksud untuk menyindir bahkan memojokan satu sama lain. Murni luapan keresahan karena isu-isu budaya kontemporer ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun