Mohon tunggu...
No One
No One Mohon Tunggu... lainnya -

Tidak Aktif

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Sebuah Catatan Kecil tentang Hujan

1 Februari 2010   05:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:09 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_65846" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Pada mulanya, hujan adalah berkat. Ketika payung mulai ditemukan oleh penciptanya yang misterius, hujan atau mungkin gerimis juga, bukan melulu sebuah rahmat; tersimpan semacam kutukan di dalamnya.

Setelah payung usai, lahirlah jas hujan dan pada akhirnya mobil. Payung dikenakan ketika orang-orang mulai mengenal jam, ketika hari dihitung dalam 24 jam, 1440 menit.

Di Jawa, seperti diceritakan Lombard, pembaratan waktu itu sudah mulai setidaknya 1915 – pada beberapa tempat lebih awal. “Dapat dibayangkan bahwa peralihan dari waktu sakral ke waktu profan menimbulkan banyak masalah,” tulisnya. Dua masalah nampaknya tak selesai hingga sekarang. Pertama, jam karet. Kedua, kemalasan.

Dari analisis Lombard, dua pokok soal itu tidak bermakna negatif. Itu merupakan bukti bahwa pembaratan, dalam kasus tertentu, tidak pernah berhasil – atau hanya menyentuh segi-segi luar saja.

Matahari, yang selalu muncul atau seolah-olah tak pernah absen, tak pernah tergantikan fungsinya sebagai penanda waktu utama, agaknya. “Siang saja besok kita ketemu di lobi,” pernyataan itu lebih akrab daripada, “Kita bertemu di lobi pukul 12.15.”

Tentang kemalasan, itu mungkin ilusif belaka. Mitos ini muncul setelah abad 17, ketika profesi buruh lahir di Pulau Jawa dan tuan-tuan itu jengkel dengan ‘penolakan kaum pribumi untuk dikerahkan’. Istilah itu sepenuhnya politis; ia diciptakan para mandor kebun nila, lada, dan kopi.

Waktu, dalam konsep Nusantara, tidaklah linear. Pranata mongso memberitahu bahwa bulan ketiga akan berulang – waktu bersifat siklis.

“Musim harus berganti musim agar langit menjadi biru,” kata Sapardi. Apakah puisi Surah Penghujan itu pula sebentuk penghayatan waktu siklis?

Dimana waktu linear, payung merupakan siasat. Mobil merupakan transformasinya yang lebih canggih. Keduanya ingin memangkas jarak dan dalam hujan, mobil semakin tergesa-gesa.

Hujan lebat pada 14 Januari 2010 sekitar pukul 18.00. Saya mengendarai sepeda motor dari Gramedia Sudirman hingga Prambanan. Di sebelah timur Ambarukmo Plaza, air menggenang di jalan dan di situ pula tak ada solidaritas. Mobil-mobil tetap melaju kencang, tak peduli akan para pengendara sepeda motor yang terguncang karena ‘ombak’ yang diciptakannya.

Kasus yang sama terjadi di Prambanan, di dekat Bong Supit Bogem. Ini lebih kejam, bahkan. Mobil di belakang membunyikan klakson pada sepeda motor yang berjalan pelan karena kondisi memang tak memungkinkan untuk melaju lebih cepat atau pilihan yang didapat ialah mesin mati, atau tergelincir.

Hujan mungkin memang mengandung kutukan; mungkin ia menghalangi para pekerja yang sibuk; dalam perjalanan dinas, misalnya. Mungkin juga para bos atau buruh yang kelelahan dan ingin segera sampai di rumah untuk istirahat dan mobil pun tergesa-gesa.

‘Orang-orang kota’ itu, ingin menghindari hujan. Juga mereka yang tidak basah, yang berteduh di bawah kendaraan beroda empat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun