Saat itu kami sedang ngantri di Bioskop untuk nonton film "Rumah Tanpa Jendela"
di salah satu bioskop 21.
Antrian cukup panjang membuat kami menduga-duga apa yang akan ditonton.
Di belakang counter ikut terpampang "Hari ini" : Cinema 1: Rumah Tanpa Jendela, cinema 2: Pocong Negesot, cinema 3: Arwah Goyang Kerawang, cinema 4: Jenglot.
Wah, 1 banding 3 nih.
1 inspiring movie 3 horor (apa juga kotor saya gak tahu karena belum nonton).
Apa "Rumah Tanpa Jendela " menang?
Kalau dalam politik biasanya kalau ada 1 kandidat yang berbeda (aliran politik A) melawan 3 kandidat yang mirip (Aliran B), biasanya yang sendiri menjadi lebih mungkin untuk menang. Kenapa karena pendukung ideologi yang mirip (B) akan terpecah ke tiga kandidat ke B1,B2 atau B3.
Bagaimana dengan RTJ?
Ketika kita tanya ke counter ternyata, penontonnya lumayan.
Tapi masih kalah sama yang ini, sambil menunjuk film-film horor yang ada.
Walah.
Di depan kami ada ibu dan anak yang 'ribut 'mau nonton apa.
Si ibu ngajak anaknya yang masih SD nonton "Rumah Tanpa Jendela", tapi si anak maksa nonton film horor.
Akhirnya ibu ngalah dan mereka nonton film horor. Waduh.
Lalu ada juga di depan seorang wanita berjilbab bersama pria.
Mereka ngantri tak jauh dari kami.
Ketika di tanya mau nonton apa, si wanita berjilbab pilih salah satu film horor. Gubrak.
Ternyata sekalipun tiga layar horor satu "Rumah Tanpa Jendela", sekalipun penggemar film horor dan klenik sudah terpecah tiga layar, jumlah penontonnya masih bisa mengimbangai bahkan mengalahkan "Rumah Tanpa Jendela."
Ini sebabnya produser film akan tetap menyediakan film-film horor.
"DEMAND-NYA TINGGI" permintaannya banyak, peminatnya banyak.
Betulkah?
Sebenarnya tidak juga.
Film horor tidak ada yang menyentuh penonton lebih dari 1 juta (Hanya ada sedikit saja, sejauh ini hanya 1 film horor menyentuh angka 1 juta).
Sedangkan film baik, Laskar Pelangi, Ayat-ayat Cinta, bisa menyentuh angka 3-4 jutaan.
Artinya orang yang merindukan film inspiring lebih banyak dari film horor.
Lalu kenapa banyak film baik banyak berguguran?
Karena orang baiknya "SILENT MAJORITY" dukung tapi diam, nonton kalau sempat bukan menyempatkan.
Lalu bagaimana dengan DEMAND horor yang tetap ada?
Dalam agama, agama apapun, kita dianjurkan untuk mendukung kebaikan, dan melawan keburukan.
Jadi bukan mendukung yang demand-nya tinggi.
Jika keburukan demand-nya tinggi yang bukan disupply tapi ditekan.
Jika kebaikan demand-nya rendah, bukan dibiarkan tapi harus dipromosikan kebaikannya.
Tugas kita dalam kapasitas sebagai individu masyarakat adalah mendukung film baik, buku dan karya baik lainnya. Untuk film kita bisa mulai dengan menonton, mengajak keluarga nonton, merekomendasikan, mempromosikan, dsb.
Sedangkan pemerintah seharusnya berfungsi untuk memastikan film yang beredar baik untuk masyarakat.
Apakah itu tidak demokratis?
Pemerintah kita dipilih secara demokratis, jadi kalau pemerintah memutuskan melarang itu "DEMOKRATIS" atau mewakili rakyat. jadi gak usah takut.
Kalau perlu DPR buat semacam undang-undang anti klenik, karena ini cukup mengganggu intelektual bangsa.