[caption id="attachment_195128" align="aligncenter" width="500" caption="admin/ilustrasi (shutterstock)"][/caption] Pernah dengar Nomophobia? Mungkin sebagian besar kita tidak familiar dengan namanya, tapi mungkin sebagian besar kita terjangkiti phobia ini. Nomophobia adalah kependekan dari no-mobile-phone phobia, atau singkatnya phobia, kecemasan, atau kepanikan akibat tidak ditemani mobile phone atau handphone. Sebuah survey di Inggris pada 1000 responden menunjukkan 2/3 responden atau 66% merasa takut jauh dari ponselnya.  Angka ini meningkat 11% dari empat tahun sebelumnya (Kompas 16 April 2012). Masyarakat Indonesia, termasuk kita, bukan tidak mustahil sudah terjangkiti phobia ini, karena Indonesia termasuk salah satu dari 10 besar negara dengan penggunaan ponsel tertinggi. Tahun 2010 saja, 70% remaja Indonesia usia 15-19 sudah menggunakan ponsel, sedangkan pengguna ponsel ABG usia 10 - 14 tahun meningkat lima kali lipat dalam 5 tahun. Saya termasuk orang yang percaya diri tidak terjangkiti nomophobia. Bahkan saya termasuk senang berjauhan dengan ponsel. Istri dan banyak orang komplain susah menghubungi saya, dan saya memang tidak mau tertekan atau stres karena dihubungi orang. Alasannya sederhana, dulu ketika saya masih bekerja sebagai wartawan di media asing, selama 8 tahun di akhir tahun 90-an saya harus selalu dekat dengan ponsel, bahkan tidurpun saya harus bersiaga untuk mendapat panggilan. Maklum, karena media asing wartawan lokalnya cuma 1 - 2  orang, kalau ada peristiwa apa-apa saya harus bisa diraih biro media asing tempat saya bekerja,  apalagi di awal milenium, berita Indonesia sangat diminati dunia. Bayangkan, selama 8 tahun telinga harus selalu berjaga menerima panggilan telepon tentu cukup membuat saya membenci ponsel. Tapi kejadian hari ini membuat sadar, bahwa sekalipun saya berusaha menjauhi ponsel, saya ternyata terjangkiti nomophobia. Kejadiannya begini. Saya pergi ke kota untuk membeli perlengkapan tas dan toko "Asma Nadia" di sebuah  mal di Mangga Dua. Ketika berbelanja, hanya beberapa belas menit setelah turun dari mobil,  saya baru sadar bahwa ponsel saya tertinggal di mobil dan supir parkir entah dimana. Kalau harus menelusuri gedung, saya harus berkeliling 7 lantai, menelusuri mobil demi mobil, tentu saja tidak menarik bukan? Maka solusinya saya harus menelepon supir, tapi masalahnya saya tidak punya telepon. Saya mulai panik. Akhirnya saya terpaksa pinjam telepon  ke toko tempat berbelanja, tapi masalah kedua muncul. Saya tidak tahu nomor HP supir, karena nomornya terekam di ponsel yang tertinggal di mobil. Saya harus bertanya nomor sang supir ke orang kantor yang punya nomornya, tetapi ternyata saya tidak hapal satupun nomor orang dikantor yang tahu nomor sang supir karena no mereka semua terekam di ponsel yang ketinggalan. No kantor juga saya tidak ingat. Untung ada satu nomor yang saya ingat, yaitu nomor rumah. Tapi apa ada yang tahu nomor supir kantor? Singkatnya saya bisa menghubungi rumah, rumah berhasil menghubungi supir dan saya bisa bertemu suoir yang membawakan ponsel saya. Kejadian ini cukup membuat saya sadar bahwa saya terjangkiti nomophobia dalam level tertentu. Saya memang tidak pusing berjauhan dari ponsel, tapi begitu banyak hal penting yang tercatat di ponsel sehingga ketergantungan saya sebenarnya cukup tinggi. Nah bagaimana dengan Anda. Kalau saya boleh membuat peringkat nonophobia, mungkin kira-kira seperti ini 1. Peringkat parah. Kalau gak menelepon atau tidak berdekatan dengan ponsel panik. 2. Peringkat mendekati parah. Jika sudah berhadapan dengan telepon lupa dengan lingkungan. Makan bersama di meja makan, tapi mata di ponsel. Acara reunian, ngobrol tapi mata di ponsel. Nonton di bioskop dengan anak-anak tapi mata di ponsel. 3. Peringkat ketergantungan. Semua data disimpan di ponsel tanpa backup. Semua tugas diserahkan ke ponsel. Akhirnya tidak ingat nomor telepon tidak ingat jadwal karena semua diatur di ponsel. Mungkin saya di level ini. Nah, semoga saja tulisan ini bisa menjadi wake up call untuk mengevaluasi diri tentang sikap kita terhadap ponsel yang kita miliki. Karena idealnya  sebuah ponsel adalah alat yang membantu kita bukan mengurangi kemampuan kita dalam mengingat, membuat tertinggal dari lingkungan sosial di sekitar. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H