Ini tulisan keempat. Menulis penggalan kisah nyata memang tidak sesederhana menuangkan opini. Saya coba menggambarkan sebagai ortu di sisi kegalauan, serius, sedih, kelegaan, rasa syukur tanpa berlebihan ataupun ditutup-tutupi.
Di tulisan sebelumnya, anak melakukan isolasi mandiri di sebuah rumah aula, sebelah masjid bersama seorang muda, pegawai di kompleks seluas 3 hektar milik orang budiman. Berdua menempati satu ruangan dengan posisi berjauhan. Â
Anak harus berdamai dengan cobaan yang menimpanya. Jadi penyintas covid dengan semua rasa yang ditanggungnya. Sendirian. Tidak ada dukungan orang lain disebelahnya memaksa diri untuk mengambil keputusan dan tindakan sendiri, seperti ke kamar kecil, minum obat, dll.
Untuk asupan makan sehari-hari dan air mineral disediakan. Berbagai kebutuhan yang lainnya, sejak awal isoman terus kami usahakan dengan  meminta bantuan temannya, seperti beli desinfektan untuk baju dan ruangan, termos besar untuk air panas ketika anak setiap saat perlu minum. Termasuk membelikan makanan pesanan anak sendiri, misalnya energen, dan lainnya. Biaya-biaya kami transfer.
Hari itu, ketika PPKM darurat Jakarta Bali diumumkan pak Jokowi, Â Istri pulang kantor membawa berita. Saat mengajukan ijin untuk kelonggaran waktu kantor agar bisa mencurahkan lebih intens ke anak, diberi tawaran untuk berangkat ke Jakarta. Perjalanan dinas. Tanpa lungsum. Baik juga, sekali dayung 2 tujuan tergapai.
Seakan ini menjadi sebuah jalan. Sementara 2 hari lagi efektif dimulai pemberlakuan PPKM Darurat.
Jadi andai berangkat  besok pagi sebelum sebelum tanggal 3, berarti tidak harus PCR, cukup swab. Ada 2 hari, sabtu dan minggu sebelum melaksanan kerja dinas bisa membackup dr dekat saat anak menjalani puncak infeksi.
Bukan juga hadir 24 jam, tetapi bisa melayani saat anak ingin disuapi atau dibuatkan minum pagi atau sore hari. Melaju 30 menit dari Pancoran, begitu urusan selesai balik lagi. Demikian juga di sore hari.
Jika ini lancar, rencana selanjutnya, saya yang kemudian akan berangkat untuk membackup pemulihan anak.
Kami berdua juga saling mengingatkan akan kekurangan. Istri memiliki riwayat asma, tentu beresiko jika menembus wilayah merah menghitam. Kelebihannya istri detail dan cermat dengan prokes. Sebaliknya saya agak abai, kadang tidak terlalu ingat dengan prokes, pede dengan stamina yang lebih kuat dan baik.
Informasi test PCR di kota Kupang sudah dapat. 1 hari selesai 1,1 juta. Yang 2 hari atau lebih 750k. Kartu vaksin sudah ada. Tas koper sudah disiapkan dengan berbagai obat, multivitamin dan suplemen sdh dibelikan. Komplit. Hanya saja masih menyisakan 2 pertimbangan.
Pertama, ijin dosen pembimbing, karena keberadaan anak disana terkait dengan program akademik kampus, bukan keperluan pribadi. Hal yang sempat kami abai ketika rencana 'panik' yang akan menjemput anak dibawa ke Nganjuk, Jatim rrnah diajukan. Lagi-lagi anak yang menyadarkan.
Yang kedua terkait kerja dinas istri, perlu memastikan terkait apakah sektor dinas istri termasuk sektor esensial non esensial, dan konsultasi dilakukan dg Kementerian di Jakarta. Jika  kantor di Jakarta WFH,  otomatis tidak jadi berangkat.