"Wajar menyampaikan harapan. Resolusi atau apapun bentuknya tak guna jika bukan solusi. Tapi, memang tidak ada kaitan pergantian tahun baru dengan  pandemi virus corona. Yang tersisa adalah kuat-kuatan."
Pandemi sedang naik-naiknya. Yaiyalah, memang sejak awal pandemi tidak pernah turun. Belum pernah betul-betul turun. Sekedar mereda atau stagnan sesaat iya. Jangan bicara gelombang pertama, kedua dan seterusnya. Setiap saat di kegelapan tak kasat mata, sebenarnya corona terus mengintip dan mengambil kesempatan.Â
Yang terlena, terlupa disasarnya. Yang sadar saja, bisa juga kena. Selama 10 bulan terakhir Indonesia sedang terombang ambing di tengah gelombang besar lautan pandemi. Yang awalnya tidak dirasa, tahu-tahu sudah terjebak di tengah pusaran. Hingga kini belum terlihat tepian.
Manusia dengan aktivitasnya tidak benar-benar faham keberadaan virus ini. Tiba-tiba saja ada tetangga kampung sakit dan meninggal. Ada berita pejabat ABC setelah perjalanan dinas atau pilkada meninggal. Tak disangka, kuburan Covid-19 sudah tinggal 3 liang. Ada orang kost yang sudah membusuk 3 hari baru dievakuasi dari kamarnya. Ketika sehat bangga menjadi manusia merdeka, ketika berebut bed dan ventilator di rumah sakit, berapapun harga dan harta dibayarnya.Â
Semua berdoa dan berusaha untuk tidak dihampiri dan mengalami. Termasuk saya dan keluarga. Tapi keputusan tertinggi tidak pada diri. Yang diatas Yang Maha Pencipta. Jadi hanya perlu hati-hati dan berserah diri. Begitulah manusia. Bahagia dan derita, gembira dan duka silih berganti menghampiri. Tidak hanya manusia. Hewan, tumbuhan, batuan, air, udara, gas, virus, bakteri, elektron, muon selalu mencari keseimbangan. Itulah dunia.
Di lain sisi kemanusiaan, hasrat keluar rumah para rakyat juga sedang tinggi-tingginya. Bukan di jalanan tetapi menikmati pemandangan alam. Ada saat tertentu kebosanan melanda pandangan rasa terbatasi dinding empat sisi. Keseimbangan-keseimbangan baru hadir bergantian sebagai makhluk personal, kekerabatan, sosial kemasyarakatan. Tidak melulu di rumah. Perlu belanja. Sedikit ngobrol dengan tetangga. Bertemu keluarga. Menyiapkan rencana akademik ananda. Semua memerlukan ruang dan pergerakan. Tidak bisa berdiam diri dan diekekusi di balik kursi. Tarik ulur logika kadang-kadang berada di aras floating point memahami algoritma pandemi. Sayangnya logika kadang tidak sejalan dengan rasa.
Di luar sana, maskapai pesawat menebar harga normal, kereta api cepat menawarkan diskon memikat, bis wisata dan jalanan tol merayu manja, jalanan darat tak kalah asyiknya. Ya sudah, semua merencanakan perjalanan di kala liburan. Yang natalan menyiapkan ritual dan pesta menyambut tahun baru-an. Yang kangen keluarga merencanakan agenda. Imajinasi sudah terpatri. Siapa yang tidak tertarik hati?
Lalu, kekuatiran musim liburan kembali bergema. Ada pergerakan massa ada pesta tawa corona. Dibalik berjejalnya manusia di bandara, gerbong kereta, tempat wisata, pasar tradisional, mall, pusat perbelanjaan, pusat kuliner jajanan dan ini yang baru, 'kluster keluarga'. Bertambah 30-40% setelah musim liburan menghantui layar display pemantauan. Menguatkan digit reaktif, positif dan kematian.
Buru-buru, muncullah kebijakan baru. Rapid test antibodi dengan sampel darah sudah tidak akurat. Yang sekian lama sudah dijadikan test standar. Kini tidak standar lagi secara resmi, walau 'sakjane' jauh-jauh hari sudah diteriakkan banyak pihak. Mulai 21 Desember wajib melakukan test antigen, tidak lagi test antibodi. Yang harganya lebih mahal, yang masa berlakunya hanya 3 x 24 jam. Yang lebih akurat, tapi bikin mengkerut kening rakyat. Yang berlibur panjang jadi mikir dua kali lipat. Yang naik pesawat dan kereta mau tidak mau, ya harus sepakat. Ngedumel boleh, jangan coba menjilat. Ini demi kesehatan diri dan masyarakat.