Lara dan Via adalah bocah pejalan. Di usia belia melawan angkuhnya jaman.
Kupang. Bersama anak istri, untuk suatu keperluan sekaligus merefresh mata setelah melalui hari-hari lebih banyak beraktivitas di rumah saja.
Sore hari ini tadi, saya lewat kembali di jalan Urip Sumoharjo yang membelah kawasan barat kotaSelingan supaya mata tidak beradaptasi melihat arak dekat. Harus diimbangi melihat jauh. Santai kami lajukan kendaraan. Setelah melewati hotel Kristal, Unika pun terlewati kusempatkan menengok gerai ATM di depan sebuah toko.
Sepi, tak ada seorangpun di sana. Demikian juga 2 bocah kecil penjual jagung rebus yang kutemui di siang terik saat itu. Ya, kuingat di saat itu.
Saat itu hari Rabu, 19 Agustus sekitar jam 1 Â siang di tengah terik matahari. Sepulang antar Ata, anak kedua ke rumah temannya yang ulang tahun. Sekalian mereka kumpul-kumpul selepas tamat MTs.
Reuni kecil-kecilan atau apalah istilah, kumpul-kumpul teman di usia mereka memang menyenangkan. Apalagi di tengah tugas-tugas di sekolah baru masing-masing bersama teman-teman yang baru pula. Yang belum berjumpa muka.
Saya tak tega melarang atas nama kuatir situasi di tengah pandemi. Hal yang akan dirasa oleh semua orangtua. Kami ijinkan, asal tetap jaga protokol kesehatan.
Dua bocah perempuan itu duduk bersila di pojok-pojok teras gerai ATM. Tepat di ujung-ujungnya, sudut-sudut lantai keramiknya. Sementara 2 helai pintu kaca diantaranya sering terbuka dan menutup seiring orang-orang silih berganti melakukan transaksi di mesin ATM. Di hadapan kedua bocah gadis itu ada jagung rebus yang ditata melingkar dalam baskom.
"Jagung rebus, om", tawar mereka saat saya melangkah didekatnya.
Saya balas tanpa suara. Hanya senyuman. Tepatnya  berusaha senyum ke mereka berdua, sambil lewat untuk suatu keperluan. Semoga dengan senyuman itu mereka tidak kecewa. Senyuman saya, senyum penghargaan. Bertujuan baik, walau saya sendiri tidak yakin apakah bibir saya saat itu mengikuti arahan hati saya.