Mohon tunggu...
Alifis@corner
Alifis@corner Mohon Tunggu... Seniman - Seniman Serius :)

Sebagaimana adanya, Mengalir Seperti Air | Blog : alifis.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Orkestra Tagar ala Gus Nadir

14 Mei 2020   09:17 Diperbarui: 14 Mei 2020   09:30 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perang Tagar

Di pekan ini topik tagar begitu membahana. Bukan sekedar sindir  antar 'dua kubu' yang masih belum ikhlas melepas perseteruan sejak Pilpres 2019, yang mungkin bibit-bibitnya sudah mengerak sejak Pilpres 2014. Saya sebut 'dua kubu' ini begitu militan, hingga buta hati dan susah berlapang dada. Saat ini sedang terjadi peperangan seru, bersenjata istimewa yaitu TAGAR.

Begitu populernya tagar, bikin geleng-geleng kepala Gus Nadir, sebutan untuk sosok 'Akademisi yang Kiai' dan 'Kiai yang akademis".  Saya yakin anda semua sudah mengenal pria yang memiliki nama lengkap  Nadirsyah Hosen. Kali ini, Gus Nadir  membuat cuitan mengkritisi fenomena tagar terorganisir. Kalau jaman dahulu mungkn kita ingat dengan istilah OTB, organisasi tanpa bentuk. Nah istilah yang disinggung Gus Nadir disini adalah 'Orkestra Tagar' yang di gerakkan pasukan gerak cepat 'Buzzer' dan dikomandoi 'Kakak Pembina'.

Diksi 'Orkestra Tagar' yang dilempar oleh Gus Nadir, di twitland dengan lugas menelanjangi motif-motif permainan , persaingan, permusuhan, bahan rekayasa tagar yang silih berganti bermunculan di trending topic. Akibat berabe, kegemesan Gus Nadir menuai badai. Perang berkembang dari dua kubu menjadi tiga kubu.

Anda bisa bayangkan, kedua kubu saling berperang memperebutkan puncak trending topic. Lalui Gus Nadir yang berbadan besar dengan rambut panjang berkibar-kibar datang ke tengah-tengah medan laga, berteriak-teriak sampai serak berusaha menyadarkan ketidakdewasaan dan kesia-siaan sikap kedua kubu. Bukannya berhenti dan berdamai, perang tetap berlanjut. Parahnya Gus Nadir justru ditimpuki, dijambaki dan dikata-katai. Berhari-hari peperangan tidak mereda, justru makin menggila. Bulan Ramadan seharusnya berpuasa, justru kok makin membara.

Rasional Berbangsa dan Bernegara

Gus Nadir memiliki tujuan mulia. Membelajarkan masyarakat untuk bepikir rasional dalam mengamati dan mengkritisi berbagai aspek menyangkut ipoleksosbudhankam. Segala hal berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Termasuk situasi di tengah pandemi covid19 yang cenderung dipolitisasi oleh 'semua pihak'. Akibat perang opini dan masing-masing berargumentasi untuk citra diri, wabah yang diharapkan landai di akhir Mei, malah melonjak tinggi. Duh, Gusti...

Rasional disini tidak ada sangkut-pautnya dengan Pilpres 2019 lalu yang memenangkan Pak Jokowi dan KH Makruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2019 -- 2024. Saat itu, ingat ya saya berbicara 'saat itu' memang ada kecenderungan atau orientasi pemilih yang diklasifikasi dalam 2 tipologi pemilih, yaitu pemilih rasional atau objektif dengan pendekatan variabel  policy-problem solving, dan pemilih fanatik atau subjektif dengan pendekatan variabel ideologi atau sifat primordial. Saat itu.

Seharusnya, selesai kontestasi dan hajatan Pilpres, semua komponen masyarakat kembali meluruhkan ego-ego partisan dan kembali memposisikan diri sebagai rakyat yang bekerja sesuai  dengan bidang dan keahliannya. Semua kembali membangunkan diri untuk mengambil peran positif dalam rangka kemaslahatan umat, kemandirian bangsa dan kesejahteraan bersama. Di lain pihak DPR, DPD, ormas dan orpol turut mensupport dan mengkritisi proses pembangunan secara objektif dan konstruktif. Ulama sebagai partner Umara juga mendampingi dan mengarahkan jalannya pemerintahan agar arahnya benar, menjunjungtinggi cita-cita mulia, kemaslahatan umat dan kesejahteraan rakyat.

Tapi realitasnya tidak sesederhana angan. Secara spesifik, saya boleh sebut kedua kubu itu adalah kubu yang benci Jokowi dan kubu yang cinta Jokowi. Begitu meriah saling sindir, caci, merendahkan eksistensi di medsos yang akhirnya justru tidak menyehatkan kultur komunikasi anak negeri. Di era demokrasi paling maju pun, subjektivitas itu tidak boleh dilarang. Kebencian pun tidak terlarang.  Tapi etika dan objektivitas harus dikedepankan, bukan ditenggelamkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun