Mohon tunggu...
Alifis@corner
Alifis@corner Mohon Tunggu... Seniman - Seniman Serius :)

Sebagaimana adanya, Mengalir Seperti Air | Blog : alifis.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

"Aisyah, Biarkan Kami Bersaudara", Solidaritas di Tanah Cadas

9 Mei 2020   18:28 Diperbarui: 9 Mei 2020   18:37 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aisyah bersama murid-murid (liputan6.com)

Solidaritas adalah sikap yang dilandasi sifat satu rasa, perasaan setia kawan yang umumya timbul dalam menyikapi keadaan berupa kesusahan/kesulitan. Pada saat inilah sifat manusia sebagai makhluk sosial terpanggil untuk saling menolong. Ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain, dimana secara psikologis mampu saling menguatkan.

Film yang saya pilih berjudul "Aisyah, Biarkan Kami Bersaudara". Ini tidak ada hubungannya dengan lagu Aisyah istri Rasulullah, yang mencuri perhatian dan viral di tengah masyarakat dan trending di Youtube. Walau sosok Aisyah di film, mewakili sosok wanita muslim yang cerdas, cantik dan memiliki karakter tangguh.

Film yang tayang di 2016 ini disutradari oleh Herwin Novianto dengan durasi 90 menit. Termasuk film panjang bergenre drama, kualitas festival dan memenangi lebih dari 12 kategori penghargaan. Film ini diangkat dari kisah nyata, dimana seorang gadis muslim yang menjadi guru di daerah terpencil di daerah  Indonesia Timur.

Film ini selain membawa membawa pesan solidaritas yang kuat, soldaritas sosial antarumat beragama, yang berbeda dengan solidaritas atau setiakawan dengan sahabat seperjalanan. Di sisi lain film ini membawa pesan menyentuh  pada  aspek spiritualitas yang cocok dengan suasana bulan Ramadan, toleransi agama, ketimpangan fasilitas dan aksesilibilitas pendidikan, serta keberagaman budaya, dalam hal ini budaya NTT. Sangat Indonesia banget.  

Kenapa film ini saya rekomendasikan, mengingat ini berlatar kejadian nyata yang juga dialami oleh banyak sarjana-sarjana lain, misalnya yang ikut program Program Sarjana Mendidik di Daerah Terluar, Tertinggal, dan Terdepan (SMT3). 

Saya menjumpai sendiri tahun 2019, beberapa sarjana yang ditugaskan di daerah Amfoang, kecamatan Fatumonas, Kab Kupang. Sebuah daerah terisolir yang sulit dijangkau dari transportasi darat. Untuk ke kota harus menyewa kendaraan atau bis yang hanya sehari sekali. Itupun memakan waktu sekitar 6 jam.

Tanah cadas, representasi dari pulau Timor NTT yang cenderung kering. Geologi daratan  Timor didominasi batu kapur, yang terbentuk dari proses pengangkatan dasar laut. Bersifat porus, sehingga air cenderung ada di kedalaman atau cekungan di lembah-lembah. 

Dalam keterbatasan 'segala-galanya', para sarjana SMT3 tetap semangat menjalankan kontraknya. Yang jadi hiburan adalah keramahan penduduk dan keaslian bentang alamnya. Pada beberapa scene, juga mirip-mirip dengan yang saya alami di awal-awal tugas di NTT. Amazingg...

 

Sarjana hebat itu bermanfaat untuk orang lain, bukan untuk dirinya sendiri

Berawal dari kisah Aisyah (Claudya Chintya Bella), seorang sarjana pendidikan muda dari desa kecil di daerah Ciwidei, Jawa Barat yang memperoleh kesempatan untuk mengajar di daerah Atambua, Nusa Tenggara Timur. Aisyah bercita-cita mengabdikan hidupnya menjadi seorang Guru yang bersahaja dan mampu memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia.

Sempat ditahan ibunya (Lidia Kandouw) yang mengkuatirkan hidup di tempat yang sangat jauh dan berbeda kultur dari kampung halamannya. Karena Aisyah harus menempati wilayah yang mayoritas beragama Katolik.

Dari awal masalah pun muncul sejak kedatangan Aisyah di desa Derok, TTU dekat Atambua, ia yang seorang muslimah berhijab terasa asing di tempat tersebut. Banyak masyarakat yang salah paham dan mengira bahwa Aisyah adalah seorang Suster Maria karena mirip dengan hijab suster Katolik. Disambut dengan nyanyian tarian budaya masyarakat setempat, kepala dusun (Deky Liniard Seo) kemudian mengatakan "Selamat datang Ibu suster Maria", lalu Aisyah jatuh pingsan.

Pingsannya lebih disebabkan fisik yang terkuras selama perjalanan yang berat menuju kampung bukan karena dipanggil Suster Maria. Kekagetan-kekagetan berlanjut ketika siuman menjumpai patung bunda Maria di kamar, hidangan makanan babi karena ketidakfahaman penduduk setempat.

Di sebuah kampung yang amat terpencil, tanpa listrik dan tanpa sinyal internet atau telepon, memaksa Aisyah harus bertahan dengan keadaan seadanya bahkan akses air bersih pun sangat sulit didapatkan. 

Butuh perjuangan dan sikap pantang menyerah bagi Aisyah untuk melewati hari-harinya di dusun Derok, ditambah dengan ruang lingkup religius berbeda menimbulkan konflik yang lebih disebabkan kesalahfahaman Lordes (Agung Isya Almasie Benu) sebagai murid sekaligus tokoh antagonis atas informasi dari pamannya yang preman. Namun Aisyah tetap bersikeras dan bertekad untuk terus mengajar serta memperbaiki kualitas pendidikan di daerah tersebut.

Di dalam film ini memaparkan keadaan secara realistis bagaimana wajah pendidikan indonesia di daerah terpencil Indonesia. Karakter Aisyah di dalam film menunjukan sosok Guru yang nasionalis, survivor, serta pengabdian diri yang benar-benar sungguh dari hati mengabdikan dirinya untuk pendidikan di daerah terpencil agar lebih baik, tidak peduli walaupun masalah ras dan agama masih menjadi suatu permasalahan yang kental di masyarakat sekitarnya.

Aisyah di tanah Timor (liputan6)
Aisyah di tanah Timor (liputan6)

Solidaritas Sosial 

Solidaritas sosial sangat menonjol diberkan oleh tokoh-tokoh lokal dalam film ini, terkait dengan adaptasi Aisyah menjalani kehidupan sebagai seorang muslin di tengah-tengah masyarakat Katolik.

Pedro (Ari Kriting) berkarakter suka menolong dengan tulus, dan memiliki rasa simpati. Kepala Dusun yang baik dalam ucapan dan sikap, bijaksana serta toleran dan ibu Kepala Dusun (Agustina Tosi) yang memiliki karakter baik, penyayang dan murah hati. Siku Tavares (Dionisius Rivaldo Moruk) murid yang sangat menyayangi ibu guru Aisyah, mempunyai rasa empati yang cukup tinggi, perhatian, baik hati dan sopan.

Pada saat Aisyah harus beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan kebiasaan sosial masyarakat, Pedro, Kepala Dusun dan Ibu, Siku Tavares terpanggil untuk  menolong. Di satu sisi ada ketidakenakan dari warga kampung karena merasa tidak mampu melayani Ibu guru Aisyah dengan baik, Aisyah justru yang menguatkan diri dengan memberi pemahaman bahwa Aisya sudah merasa dilayani dengan baik. Aisyah ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain, demikian juga sebaliknya.

Siku Tavares sebagai murid sekolah yang dipercaya Kepala Dusun untuk mendampingi, menjaga dan membantu ibu guru Aisyah sangat menonjol dalam sikap solidaritasnya dalam setia interaksi ibu guru Aisyah. Saat pingsan karena kelelahan perjalanan, pingsan karena berpuasa di tengah bulan Ramadan yang panas, saat mengambil air bersih di cekungan lembah. Rasa solider untuk tidak menuruti keinginan bermain dimasa anak, mematuhi perintah Kepala Dusun sebuah tindakan terpuji terhadap berbagai kesulitan yang dialami ibu Guru Aisyah.

Ibu kepala Dusun sangat perhatian dengan kondisi ibu guru Aisyah. Selama Aisyah tinggal di rumah kepala dusun, ibu dusun selalu baik dan menyiapkan kebutuhan ibu guru Aisyah seperti halnya anak sendiri. Dalam salah satu adegan, Ibu Kepala Dusun menuangkan air dari drigen untuk berwudhu.

Siku Tavares  selalu memiliki solusi di beberapa kali permasalahan, salah satunya  di aspek toleransi dalam melaksanakan syariat agama bagi ibu guru Aisyah yang muslim, seperti cuplikan dibawah :

Aisyah : "permisi punten.. Saya mau minta maaf sama bapak ibu, mungkin kehadiran   saya disini jadi bikin bapak sama ibu  semuanya jadi susah.".

Pedro :     "sonde ibu punya kesalahan, ini kesalahan.. ini beta beta kesalahan "(tidak ibu, buka ibu yang salah tapi ini kesalahan saya)

Kepala Dusun : "iya ibu.."

Pedro : "beta lupa bilang kalo ibu Aisyah Islam, jadi sekarang Dusun bingung mau kasih    makan bu Aisyah apa.."

Siku Tavares langsung memberikan ide

Siku : "aaa... beta tau katong ma kasih makan ibu apa" (aaa..tau ibu mau dikasih makan apa)

Akhirnya jamuan makan malam untuk Aisyah adalah semangkuk mie instan.

sajian mie untuk Aisyah, di antara menu babi (alifis)
sajian mie untuk Aisyah, di antara menu babi (alifis)

Di dalam film ini, terkandung pesan tersirat dimana "agama itu menuntun seorang untuk semakin berpikiran terbuka dan toleransi agama adalah hal yang harus ditanamkan oleh masyarakat Indonesia untuk saling menebarkan kebaikan tanpa mengenal ras dan agama.

Ibu guru Asyah dalam berbagai situasi berusaha menjelasan bahwa agama damia, tidak sua berperang. Islam begitu kental dengan nilai-nilai kemanusiaan atau humanisme. Perdamaian dan cinta damai sudah menjadi bagian dari hidup umat Islam dan menjadi bagian dari aqidah yang sudah mendarah-daging.

Film drama tentang seorang guru yang pantang menyerah ini mengajarkan kita soal pesatuan dalam perbedaan, pentingnya toleransi tanpa membedakan agama dan ras, dan sarat sekali dengan pendidikan. Apalagi dikemas dengan gaya yang santai, penh dengan kelucuan yang alami, karakter dan dialek timor yang khas, serta alam alami yang kering di bulan november yang mempesona.

Yang belum nonton, silahkan disempatkan. Ini film yang inspiratif, menarik dan menyenangkan untuk dinikmati ceritanya.

alifis@corner

090520

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun