Rencananya, menikmati momen Ramadan di Kupang NTT selama 2 pekan, kami berencana mudik ke Jawa. Jadi dalam impian benak kami, ada 2 pekan di bulan Ramadan menikmati ibadah puasa dan suasananya, berkumpul dengan orangtua dan saudara-saudara. Sampai libur hari raya Idul Fitri berakhir.
2 Maret 2020 2 bulan yang lalu, saya sudah beli 3 tiket balik Surabaya - Kupang untuk penerbangan Garuda tanggal 27 Mei 2020. Itulah kebiasaan perantau keluarga. Beli tiket jauh-jauh hari untuk antisipasi kekuatiran pada tanggal yang direncanakan sheet sudah tidak ada dan menghindari kenaikan harga yang tak masuk logika. Maunya, 2 pekan Ramadan bisa beribadah dengan khidmat, tak lagi mikir ribetnya memburu tiket.
Mengapa tiket mudik keluarga justru belum beli? Â Itu gampang. Situasional. Pertengahan Maret kami bisa beli dengan situasi lebih pasti. Rencana mudik di sekitar pekan kedua Mei, Toh saya sudah selesai ujian semester di kampus dan istri berencana ambil jatah cuti tahunan yang belum digunakan. Ditambah, momen itu bersamaan dengan anak kedua kami yang sudah diterima di salah satu sekolah dambaannya, MAN IC di Pasuruan, kota domisili nenek dari anak-anak kami.
Momentum yang indah dan membahagiakan. Komplit. Sebelum akhirnya dibuyarkan oleh wabah corona. Semua tidak menyangka wabah covid19 yang semula mewabah di kota Wuhan China, akhirnya  hadir di Indonesia. Awal Maret menjadi titik balik semua impian, keinginan dan rencana dari orang-orang perantau seperti keluarga saya.
Keadaan berubah dengan cepat. Pertengahan Maret wacana lockdown begitu menggema di media sosial. Â Berarti tidak akan ada pergerakan besar-besaran seperti mudik. Iya, rencana mudik kami sudah terancam. Padahal 2 Idul Fitri berturut sudah tidak berkumpul dengan orangtua dan sanak famili. Tapi kami tetap optimis keadaan masih bisa dinegosiasikan. Agak ambyar, tapi belum sepenuhnya gagal.
Perundingan Tripartit dg Anak Sulung
Di sisi lain, perhatian kami terpecah dengan anak sulung yang kuliah di Malang. Awal  Maret sudah ada seoang mahasiswa yang positif terjangkit di Malang. Tanggal 11 Maret sudah dirawat di ruang isolasi Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA). Semakin menambah kekuatiran istri saya. Perundingan dengan anak sulung tetap dijalankan Asumsinya, lingkungan tidak lagi aman. Apalagi ditengah pemukiman tempat kostnya berada. Populasi mahasiswanya luar biasa. Sesak jalanan dari pagi, siang dan malam. Untuk makan juga sering beli berdesakan. Ini adalah kondisi yang disukai virus corona. Kami disini menyimpan kekuatiran.
Ibunya berulang-ulang, ulang dan ulang seperti jadwal minum obat menelepon meminta agar pulang saja ke rumah neneknya di kota Pasuruan. Naluri melindungi dari seorang ibu yang melahirkan. Tapi si sulung bertahan dengan kemauan. Tetap di Malang. Ada beberapa tugas yang belum terselesaikan. Salah satunya, ada janji ketemu seseorang. Saya sebagai ayah secara rasional memahami. Tapi saya minta si sulung juga mengerti perasaan seorang ibu.
Tanggal 24 Maret anak share kebijakan Dekan, kuliah daring dan tidak ada tatapmuka di kampus. Negosiasi semakin gencar. Istri membujuk neneknya untuk membujuk cucunya. Persis perundingan tripartit. Antara ibu dan anak, ditengahi nenek.
Tanggal 27 Maret akhirnya si sulung luluh. Diselingi dengan tangis-tangisan. Si sulung, ibu dan neneknya. Melalui handphone. Dijemput pulang tanggal 29, langsung diisolasi 14 hari di kamar belakang. Sambil menjalani study from home. Hmm... seperti drama Korea.