Puasa atau emosi ?
Sejak awal Ramadan tanpa kami sadari sekeluarga selalu menikmati masakan rumah. Ternyata kebijakan kerja di rumah, belajar di rumah dan ibadah di rumah, turut menyeret rutinitas makan kami sekeluarga untuk menikmati masakan rumah. Masakan istri. Tapi itu hanya bertahan 9 hari. Biang keroknya, kami sama-sama ingin makan sate gule. Apa mau dikata, berangkatlah saya dan istri keluar rumah.
Dengan protokol standar pencegahan covid-19 kami berangkat. Tak sampai 10 menit, sate gule 2 porsi bungkus sudah kami dapat. Melaju kami menuju Aldia toko daging untuk persediaan bahan lauk untuk beberapa hari ke depan, melewati halte pusat jajan takjil dan makanan kala Ramadan. Beginilah suasananya di sekitaran halte.
Berderet minuman dan makanan yang warna-warni mempesona, memang begitu menggoda. Sudah lupa himbauan untuk ber-social distancing atau physical distancing. Tidak efektif disini. Yang unik aparat hanya berjaga dari kejauhan. Mama penjual protes keras diminta menutup lapak dengan berargumen di pasar tetap diperbolehkan. Aparat juga serba salah. Jadinya kerumunan berburu takjil dan makanan tak bisa dielakkan.
Memang setiap kali bertemu bulan Ramadan, di kota Kupang bermunculan tenda-tenda dan lapak-lapak darurat yang menjual berbagai jenis takjil dan makanan siap saji. Berderet hampir 1 km di seputaran halte dekat  patung Sonbay dan dekat kantor pusat BRI. Hasrat berburu makanan begitu tinggi. Padahal ibadah puasa tidak sekedar menahan rasa haus dan lapar dari subuh sampai bedug maghrib, tetapi termasuk juga sikap sabar saat berbuka untuk tidak kalab dalam melahap sajian berbuka.
Tak dipungkiri penampilan makanan yang warna-warni, dikemas indah mampu menarik hasrat dan selera makan. Ditambah melihat makanan favorit, iklan makanan di televisi yang aduhai menjadi pemicu seseorang untuk kalab belanja makanan. Pengendalian diri dalam menjalankan ibadah puasa benar-benar diuji. Haus dan lapar adalah ujian fisik, tetapi bijak terhadap makanan dan minuman selama berbuka sampai sahur termasuk ujian psikis dan mental.
Ketika orang berpuasa rela berkerumun, berdesak-desakan bahkan berebut saat membeli makanan di suasana wabah covid-19 begini, maka patut introspeksi diri, apakah ibadah puasa telah mampu meningkatkan sikap pengendalian dri atau justru sebaliknya masih memperturutkan mengedepankan hasrat emosi untuk lebih mendominasi.
Mungkin kita masing-masing bisa identifikasi, jika memilih makanan lebih berdasarkan warna-warni, kelezatan yang menurutnya sebagai pemuasan hasrat seketika bukan pada aspek kesehatan dan kestabilan pencernaan, berarti ini adalah kalab makan karena emosi. Laparnya lapar emosi, bukan lapar fisik. Lapar fisik bisa dipenuhi dengan makanan apapun termasuk yang paling sederhana saat berbuka, misalnya minum air putih hangat. Makan camilan tidak satu dua potong dilanjut sholat maghrib, bukan  malah kalab tak tertahan karena balas dendam.
Bijak belanja bijak makan
Hasrat berlebihan sehingga terjadi fenomena kalab makan lebih dominan karena ketidakseimbangan psikis atau kejiwaan. Artinya mungkin saat itu sedang dalam keadaan tertekan, atau urang bahagia. Jelas, supaya tidak kalan belanja makanan, semua harus sadar diri dulu, bahagia dulu baru berencana berbelanja. Karena saat berbahagia belanja itu bukan solusi tetapi sekedar pemenuhan terhadap kebutuhan. Jadi belanja bijak. Belanja lebih berdasarkan kebutuhan bukan keinginan. Hal ini seiring dengan hadits Nabi SAW, barangsiapa bersukacita menyambut bulan Ramadan maka akan dihapus dosa-dosanya. Betapa indahnya, kita disadarkan makna bergembira, bersuka cita dan berbahagia.