Mohon tunggu...
Alifis@corner
Alifis@corner Mohon Tunggu... Seniman - Seniman Serius :)

Sebagaimana adanya, Mengalir Seperti Air | Blog : alifis.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Maaf Jenderal, “Menghargai” Beda Makna Dalam Modernisme __Bagian 3

22 Juli 2010   02:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:41 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lelang Sesosok Jenderal Besar !
Belum lekang dari ingatan kita beberapa waktu lalu ada sebuah situs yang menjual atau melelang beberapa pulau di Indonesia. Kali ini ada lagi yang berniat menjual dan melelang benda bersejarah di Indonesia. Sebuah blog http://lelangbendaantik.blogspot.com/ dan http://dilelang.multiply.com melelang sebuah patung Jenderal Sudirman dan rumah jawa kuno bersejarah, Sabtu (17/7).
Dalam blog lelangbendaantik tertera tulisan ‘Dilelang’ rumah jawa kuno dan patung perunggu bersejarah. Dalam situs itu tertulis kalau patung Jenderal Sudirman ini merupakan monumen Jenderal Sudirman yang dibangun dan dibiayai sendiri oleh almarhum Roto Suwarno, di Bukit Gandrung Desa Pakis Baru, Kecamatan Nawangan, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Ada gambar patung Jenderal Sudirman yang diposting Sabtu, 29 Mei 2010. Ada 2 pembaca yang berkomentar kalau patung tersebut menarik. Di bawah tulisan tersebut, masih ada gambar patung Jenderal Sudirman dengan keterangan berbahasa Belanda. Di sebelah gambar tersebut tertulis ‘Dijual secara lelang, patung perunggu bersejarah setinggi 8 meter. Patung karya seniman Saptoto tersebut saat ini berdiri megah di kawasan wisata bertaraf internasional di Desa Pakis Baru, Kecamatan Nawangan, Kabupaten Pacitan.

Sedangkan di blog dilelang-multiply terpajang gambar rumah jawa kuno dan patung Sudirman. Kedua gambar tersebut diposting tanggal 13 Juli 2010. Tampak sebuah rumah jawa limasan kuno dengan halaman yang cukup luas ditanami rumput nan hijau. “Kami jual beserta pekarangan seluas 5000 M2 dan segala isinya yang terdiri dari benda benda bersejarah perjuangan terbentuknya Republik Indonesia,” kata pelelang yang ada di situs tersebut. Dalam keterangannya, rumah itu terdiri dari dua unit bangunan berbentuk limasan ukuran 9 meter kali 12 meter. Kepada peminat bisa silahkan mengirimkan penawaran melalui email : bungasejati@gmail.com.’ (dari berita lampung.blogspot.com)


Dan apa respon khalayak ramai?

Apakah itu media, pemerintah, masyarakat. Semua Heboh, kaget penuh tanya…kok bisa begitu ya? Bisa Jawabnya !!! Apa yang tidak bisa di jaman seperti ini. Aq sependapat dengan sang Budiman yang berhikmat yang mengatakan bahwa pada kondisi historis konkret sebangsa dan setanah air, saat ini Indonesia juga sedang dilibatkan dalam proyek besar modernisasi sejagat. Indonesia adalah bagian dari dunia yang sedang menciut (the shrinking world), Pembangunan nasional adalah institusionalisasi dari kebutuhan sekaligus keinginan untuk menjadi warga resmi dari apa yang oleh McLuhan disebutnya sebagai the global village. Kita juga tengah merasakan bagaimana dimensi sains dan teknologi mulai meng¬geser nilai-nilai lama.

Tergesernya Nilai-Nilai
Tidak sedikit pemberitaan, kecelakaan terjadi karena pengendara ber-hape ria saat berlalu lintas. Sebuah ironi kemajuan. Pengalaman saya dulu, waktu kuliah pernah menulis surat ke bapak dengan bahasa kromo jowo yang belepotan, sudah diingatkan. “Gunakan saja bahasa Indonesia, kalau tidak bisa kromo baik”. Itu baru bahasa surat. Kalau ngomong langsung mungkin lebih difahami. Dan ngomong ke orangtua juga dengan sikap yang santun dan penuh tatakrama. Karena kemajuan, dengan hape ngomong sambil di atas sedel motor, atau maaf – di dalam toilet-pun tidak melanggar tatakrama. Pergeseran nilai-nilai budaya kita terjadi tanpa kita sadari.

Atau pesatnya perkembangan teknologi & informasi yang dibumbuhi ‘modernisasi’ juga menjauhkan kita dari mental hakiki. Bomiing Blackberry & Hape canggih-canggih saat ini terus berlanjut. Ironinya, Fasilitas dan harga yang cukup ‘mahal’ dibayar, tetapi tidak faham kelebihannya, masih tetap digunakan seperti menggunakan hape jadul. Karena arus ‘kemajuan’ orang jadi bangga diri dan lupa diri.

Banyak hal yang dapat kita ‘perhatikan’ di jaman sekarang ini, tetapi lebih banyak hal yang luput dari ‘pemahaman’ kita, sehingga dalam aliran hidup menjadi sering ‘terkaget-kaget’, ‘terheran-heran’ akan fenomena sekeliling.

Kalau anda pernah membaca artikelq di panik moral dan puisi keadilan, kekagetan dan pertanyaan yang tak terjawab itu adalah bentuk dari panik moral. Menurut Kenneth Thompson konsep panik moral sebenarnya menandakan sesuatu yang positif, yakni masyarakat secara insidentil mulai terfokus pada problematika sosial yang sungguh penting untuk dihadapi. Pada takaran yang tepat, panik moral akan menghasilkan kesadaran yang tinggi untuk mencegah terjadinya krisis sosial lebih jauh. Dengan catatan panik moral-nya menjadi sehat, yang memenuhi 4 kriteria.

Hikmat menuliskan, Daniel Bell dalam bukunya The Cultural Contradictions of Capitalism maupun karya-karyanya yang lain, bolehjadi telah berusaha menunjukkan konsekuensi-konsekuensi dari pilihan itu, sekaligus mewakili sebuah penyesalan. Penyesalan ketika “kemajuan” harus berarti lenyapnya sebuah tatanan peradaban yang halus, penuh sopan-santun dan tatakrama, menjaga nilai-nilai moralitas dan agama – betapapun ini harus disebut budaya borjuis- dan digantikan oleh suatu peradaban yang lebih beringas, penuh nafsu, mengumbar impuls-impuls instingtif, liar, urakan sekaligus ‘anarkis – walaupun itu diberi nama modernisme atau postmodernisme sekalipun.

Mari Diri Kita Bertanya (?)
[1] Apakah yang dilakukan ahli waris dengan tindakan ‘lelang’ termasuk sebuah konsekuensi-konsekuensi transformasi nilai karena arus kapitalisme?
[2] Apakah pada saat yang bersamaan ( aq dekati dengan istilah bersamaan, dalam khasanah komunikasi data – informasi sekarang ini sudah real time, dengan delay time yang cenderung singkat), kekagetan dan ‘ketidakrelaan’ masyarakat atas ‘lelang’ tersebut secara moral telah mewakili sebuah bentuk ‘penyesalan’?
[3] Apakah panik moral kita mengindikasikan telah lenyapnya sebuah tatanan peradaban yang halus, penuh sopan-santun dan tatakrama, dimana karena kemajuan masyarakat kita menjadi begitu beringas (a.l: pengadilan jalanan dimana-mana), penuh nafsu (a.l: korupsi dimana-mana), mengumbar impuls-impuls instingtif (a.l: video asusila dimana-mana), liar (a.l: pelanggaran hukum dimana-mana), urakan sekaligus ‘anarkis – walaupun itu diberi nama modernisme atau postmodernisme sekalipun?
[4] Apakah kemajuan harus juga mengorbankan nilai-nilai moralitas dan agama – betapapun ini harus disebut budaya borjuis- dan digantikan oleh suatu peradaban yang cenderung ‘ tidak kita akrabi’ ?

Hanya, seringkali kita lupa untuk menghitung, meminjam istilah Berger, biaya-biaya manusiawi (human cost) atau kalkulasi dari luka-luka (calculus of pain) yang harus ditanggungkan akibat ambisi besar “ Indonesia menjadi negara maju dan modern.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun