Mohon tunggu...
Alifis@corner
Alifis@corner Mohon Tunggu... Seniman - Seniman Serius :)

Sebagaimana adanya, Mengalir Seperti Air | Blog : alifis.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Panik Moral & Puisi Keadilan

13 April 2010   09:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:49 2269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pekan-pekan terakhir ini, media banyak menuliskan atau memberitakan tentang ‘gayus’ seorang PNS IIIA, yang tersangkut ‘markus’ atau makelar kasus Pajak, yang kemudian memicu terbukanya berbagai bentuk ‘mafia-mafia’ ketidakadilan . Ada yang lebih besar lagi, yang gempalng pajak, orang Sidoarjo - maaf !. Ada makelarnya di Mabes SJ, dan seterusnya-seterusnya. Apakah nyanyian Susno sudah berhenti, belum. Satgas Mafia, bilang masih banyak data penting yang belum diungkap. Kemarin, Susno ditangkap di Toilet bandara, ribut lagi di TV dan koran. Ada apa lagi-ada apa lagi ????? sebuah pertanyaan besaarrr !!! Semua komponen bangsa ‘kaget’, tidak hanya sekali, bahkan terkaget-kaget. Ternyata..ternyata…Ternyata…, dan selama ini rakyat hanya hidup di alam ilusi, tidak nyata. Itulah, Panik Moral. Tiada hentinya, proses Indonesia yang lebih baik, baik itu disisi HAM, Demokrasi, Keadilan bahkan Kepemimpinan Nasional menimbulkan efek ‘Panik Moral’. Menurut Kenneth Thompson konsep panik moral sebenarnya menandakan sesuatu yang positif, yakni masyarakat mulai terfokus pada problematika sosial yang sungguh penting untuk dihadapi. Pada takaran yang tepat, panik moral akan menghasilkan kesadaran yang tinggi untuk mencegah terjadinya krisis sosial lebih jauh. (Thompson, 1998) Tetapi akankah tataran kredibilitas telah ‘membumi’ dalam peri-keadilan Republik ini? Kayaknya tidak? Kasus Century yang telah menyita begitu banyak Energi, tidak memberi efek dan manfaat, karena hanya mempertontonkan kuasa dan ambisi, Berlanjut ke kasus Gayus, Cyrus atau kasus-kasus apa lagi. Semuanya menyedot perhatian rakyat Indonesia. Giringan media juga selalu mengarahkan pada liputan kasus yang tiada ujungnya. Dan sekali lagi, gayus-pun mungkin hanya ‘ikan teri’ yang terlalu rakus, sementara ‘hiu’nya lolos tak dapat diberangus. Tetapi, kita bisa fahami itulah proses, dan suara-suara moral rakyatlah yang paling berperan dan bisa mengarahkan ke mana ‘keadaan yang lebih baik’ bisa tercapai. Padahal masih banyak agenda Republik ini yang juga memerlukan ‘kepanikan moral’, diantaranya narkoba, moralitas generasi bangsa, iklim dan kelestarian alam yang porsinya agak terabaikan. Itulah ketidakadilan yang mengkuatirkan, dan berpotensi menjerumuskan bangsa lebih dalam lagi. Setidaknya ada empat ciri dari panik moral yang sehat, seperti yang telah dirumuskan Thompson, dalam tulisan Rezaantonius di Rumah Filsafat. Yang pertama adalah keberadaan suatu fenomena yang mengancam nilai-nilai kehidupan masyarakat. Perubahan iklim dan pemanasan global mengancam kehidupan manusia secara langsung. Potensi bencana dalam bentuk kelaparan, kekeringan, dan anomali alam lainnya, seperti badai dan tsunami, langsung menghantam eksistensi manusia secara utuh. Sudah selayaknya perubahan iklim dan pemanasan global menjadi bagian dari panik moral dan keprihatinan masyarakat di seluruh dunia, dan terutama di Indonesia. Yang kedua, ancaman dari suatu fenomena yang sungguh dapat dikenali dan didefinisikan secara tepat oleh masyarakat, terutama media. Perubahan iklim dan pemanasan global dapat langsung dikenali gejalanya oleh masyarakat. Media massa dan LSM, baik nasional dan internasional, telah berulang kali menyuarakan keprihatinan mereka soal hal ini. Yang ketiga, fenomena tersebut berhasil menggerakan sebagian besar masyarakat untuk segera bertindak. Di Indonesia wacana tentang korupsi dan keadilan publik sedang menjadi panik moral, namun belum wacana mengenai perubahan iklim dan pemanasan global. Ketiganya memang wacana yang sangat penting. Oleh karena itu ketiganya harus menjadi bagian dari keprihatinan moral masyarakat luas. Yang keempat, panik moral akan bermuara pada terjadinya perubahan sosial. Para pembuat kebijakan dan tokoh publik akan menggerakan opini publik ke arah yang sama sekali baru. Akankah itu disadari dan telah menjadi empati tokoh-tokoh bangsa? Atau sudah mulai ribet dan gaduh dengan gontok-gontokan kekuasaan lagi?? Sementara rakyat terombang-ambingkan dalam opini-opini lembut dan berdasi? Wallahu Alam.. Aq rakyat biasa, jadi hanya bisa merenungkan, menyuarakan atau menuliskan, serta menanam pohon-pohon di sekitar rumah dengan harapan bumi lebih sejuk dan damai… Amin. Almarhum Rendra, pernah menuliskan puisi ‘keadilan’, demi Orang-orang Rangkasbitung: Saya telah menyaksikan Bagaimana keadilan telah dikalahkan oleh para penguasa dengan gaya yang anggun dan sikap yang gagah Tanpa ada ungkapan kekejaman diwajah mereka Dengan bahasa yang rapi mereka keluarkan keputusan-keputusan yang tidak adil terhadap rakyat Serta dengan budi bahasa yang halus mereka saling membagi keuntungan yang mereka dapat dari rakyat yang kehilangan tanah dan ternaknya Ya, semuanya dilakukan sebagai suatu kewajaran Demi Orang-Orang Rangkasbitung… W.S Rendra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun