Mohon tunggu...
Ivan Sulistiana
Ivan Sulistiana Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Tulis Ajar ~ Mahasiswa Sosiologi UIN Jakarta ~ Pecinta Buku ~ Perindu Alam ~ Indonesia ~ "Pembelajar Sepanjang Nafas Menghembus Ajar"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rembulan 19 Juni

19 Juni 2014   08:13 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:10 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rembulan malam ini, ya di tengah malam gelap, mendung, bintang-bintang pun meredup, bersembunyi di balik awan. Renungkan malam ini berjalan, berlari, terengah di antara kesunyian. Hari ini dan hari-hari kemarin berlalu begitu cepat. Tanpa terasa, aku beranjak dewasa. Namun, langkah yang ku tempuh dihantui banyak keganjilan. Keganjilan itu semakin mengganjil 3, 5, 7, 9, 11, 13, ya banyak keganjilan dibalik angka-angka itu hingga tak berujung genap. Apakah hanya aku yang melihat? Tidak, semua orang diberkahi sepasang mata, hanya mungkin sebagian mereka pura-pura buta. Keganjilan itu terangkum dalam kata "Indonesia". Negeri yang dilingkupi keindahan alamnya, ragam budayanya, dan jutaan manusia yang menginjakan kakinya di atas tanah kepulauan ini. Tapi mengapa, bangsa yang kaya ini, negeri yang subur ini, masih dijajah? tak kunjung merdeka? tak kunjung sejahtera? Ya, bukan salah Tuhan, bukan pula salah alam. Manusia, manusia bertitel rakyat Indonesia lah penyebabnya. Keganjilan itu merambah ke segala aspek kehidupan. Segala ranah sosial; kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin, dilema politik yang hanya dipolitisasi oleh para politisi bermuka dua, pendidikan yang hanya menekankan kuantitas dan mencetak pekerja dan lalai akan kualitas untuk mencetak pembangun bermoral, kesehatan yang hanya memprioritaskan kaum elit, lingkungan yang dieksploitasi secara masif berujung bencana, hingga akhlak pemuda pemudi yang lenyap ditelan modernitas zaman. Mau kemana kapal bernama "Indonesia" dengan lubang-lubang menggerogoti segenap badannya, belum lagi awak kapal yang hanya berpesta pora, berfoya di atas kapal, padahal kapal ini hendak tenggelam tinggal menunggu putaran arah jarum arloji. Hendak kemana kapal ini? Belum lagi nahkodanya, tak memegang kompas, tak punya skill kendali, bahkan saraf otaknya terganggu oleh hasrat kuasa semata. Mau kemana? Ya memang keganjilan itu bukanlah angan atau suatu respon untuk bersikap pesimistis, tapi suatu beban bagi generasi ini untuk, bukan hanya berfikir dan merenung, tapi bertindak! Kita butuh aksi nyata yang murni, tulus untuk membangun bangsa. Mungkin sulit untuk melakukannya, sulit pula bertemu orang yang memilki tujuan dan jalan pikiran yang sama. Tapi bukan mustahil borok-borok yang menggerogoti bangsa ini bisa disembuhkan. Bukankah satu 'dokter' mampu menangani berbagai pasien dengan beragam keluhan penyakit? Ya, pemuda harus optimis! bukan mengeluh atau gigit jari melihat penyakit-penyakit bangsa ini. Pemuda bangkit!!! Rembulan malam ini, Ya perenungan malam ini agak sedikit mendalam, bahkan sedikit kritis dan agak idealis. Tapi hal itu lebih baik daripada bergalau ria memikirkan cinta yang omong kosong itu. Karena cinta yang itu, yang sesaat dan selayang pandang itu, bukanlah hakikat, tapi muslihat. Jika ku flashback tuk melihat kejadian hari ini, dan mungkin hari-hari kemarin, tentu ada yang memulai ada pula yang berakhir. Ada pertemuan, ada pula perpisahan. Ada senyuman, ada pula tangisan. Ada pula pertemanan, dibaliknya permusuhan. Ada pula dukungan, ada pula caci-maki. Ada yang sadar, adapula yang gila. Hahaha sendaku tertawa sejenak. Ya memang itulah dinamika kehidupan. Tapi ku sadari, bukan saatnya untuk menangis akan suatu perpisahan, atau sedih karena berakhirnya perjuangan. Ini adalah awal, awal yang mungkin berat, dan mungkin juga ringan. Bukan saatnya tertidur, apalagi gila. Dalam usaha untuk memperbaiki bangsa ini, dalam langkah untuk merangkul bangsa ini dari goa yang gelap menuju taman harum berbunga, hanya do'a yang pantas diikrarkan sembari terus belajar, belajar, dan belajar, akan ilmu yang tak habisnya bagai pasir dilautan, yang tak habisnya bila ditulis dengan tinta lautan. Ilmu, usaha, dan do'a kunci kesuksesan diri, kunci kebahagiaan bangsa ini. Keganjilan rembulan 19 Juni, mungkin adalah perenungan tentang diri dan keganjilan bangsa ini. Dan masalah-masalah bangsa, mungkin akan terus ada, terus beranak-binak, terus berlanjut, bila bangsa ini tidak mau merubah nasibnya sendiri. Bukan bergantung pada nahkoda yang gila kuasa itu, atau awak yang berpesta pora itu, tapi pada diri bangsa yang sadar itu, yang sadar untuk merubah, membangun, dan membakti, berkorban sampai mati. Mungkin renunganku malam ini akan berlanjut, dan akan berlanjut lagi. Tak henti di sini. Ya takkan diam, dan takkan berhenti selama rembulan gagah memancarkan sinarnya. ***** Ciputat, 19 Juni 2014 Salam, Alabyad.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun