"Kampus", atau sebutan kerennya "Perguruan Tinggi", atau yang lebih luas, "Universitas". Sebuah wadah mencetak orang-orang yang kelak dapat membangun bangsa, mengabdi pada tanah air beta. Namun sekarang semuanya berubah, para aktivis, intelektual, cendikiawan, mereka yang dulu kita sebut "kaum cendikia" telah coba-coba memakai jas dan berdasi, ikut-ikut menjadi "politisi". Apakah ini salah? Tentu tidak, namun tentu mengecewakan. Jika bolehlah ku bertanya, "Apa esensi dari orang-orang yang berkecimpung di dunia kampus, atau akademisi itu?" Jawabannya tiada lain ialah yang tersemat di dalam konstitusi agung kita, "Mencerdaskan kehidupan bangsa". Di dalam terminologi "akademisi" tersebut terdapat mahasiswa, dosen, yang bertemu, bercengkerama dalam suatu ruang kecil dalam kegiatan yang biasa kita sebut, "perkuliahan". Ya, di sanalah terdapat proses belajar-mengajar dengan landasan pendidikan. "Pendidikan" dapat dilihat sebagai lapangan sepak bola, di mana rektor, dekan, dosen, dan mahasiswa menjalan perannya sebagai pemain di lapangan, dengan tujuan atau gol yang sama, menciptakan generasi intelek dan bermoral, di mana peran agung mereka di tingkat pendidikan tinggi tergabung dalam tim yang biasa kita disebut "civitas akademika". Namun, pikiranku merasa janggal, aneh sekali! Di kampusku, perguruan tinggi negeri, yang katanya berlabel "Islam" ini, entah mengapa banyak orang terjangkit virus politik. Belum lagi ini bulan Ramadhan, yang seharusnya dapat mendekatkan kita dengan kemuliaan, bukannya mendekatkan diri dengan kekuasaan. Teman-temanku saling beradu argumen, adu kepintaran seolah pengamat politik, mungkin juga tim sukses. Mereka mengusung nama Capres No.X atau Capres No.Y, seolah mereka dibayar hidup-matinya, seolah apa yang mereka pelajari selama duduk di bangku kuliah "tenggelam", terbawa arus kuasa yang membutakan hati dan nurani intelektual. Pupus sudah netralitas, pupus sudah objektivitas, lebur terbawa politik praktis. Ya, mungkin ku dapat sedikit berkata. Momentum pilpres tahun ini agaknya sedikit membuat suatu trend baru di dunia kampus, "civitas politika". Para mahasiswa berkampanye di sana-sini, di tongkrongan, di kantin, di media sosial, berkicau A, B, C, D, menjag0-jagokan capres pilihannya. Padahal, kalau mau kampanye langsung saja turun ke bawah menjadi tim sukses. Bukannya saling jelek-jelekkan si A atau si B di belakang meja. Ya mungkin saja hal ini tidak hanya terjadi di kampusku, mungkin juga di kampus-kampus lain. Dari sini, kampus yang esensinya mencerdaskan kehidupan bangsa, beralih menjadi mencerdaskan trik politik bangsa. Sebagai mahasiswa, tentu saya merasa kecewa. Belum lagi, BEM di kampus ikut-ikut mendeklarasikan dukungan salah satu capres. Agak memalukan rasanya, namun inilah fakta. Apapun alasannya, tentu tak masuk logika. Netralitas kaum cendikia, yang katanya "intelek" itu telah terjerumus ke dalam lubang hitam politik praktis. Entah kemana esensi "Tri Dharma" perguruan tinggi. Semuanya lenyap tertelan kuasa. Kampus pun sekarang diisi oleh mereka yang sekarang kita sebut "civitas politika", yang dulu menjadi harapan bangsa, jadi tonggak masa depan bangsa. Sekarang tonggak itu bak bambu kopong, yang belajar merajut kuasa. Tidak lagi kritis, malah perlu dikritisi. Sekarang, antara pendidikan dan kekuasaan hidup berdampingan, tak lagi mencerdaskan tapi menjerumuskan. "Semoga mereka yang terpejam cepat membuka mata, dan mereka yang tertidur cepat bangun dari mimpinya" ***** Alabyad, 1 Juli 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H