Mohon tunggu...
Irza Triamanda
Irza Triamanda Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta

Hanya untuk bersenang-senang

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menyelia Kekerasan Anak di Lingkungan Keluarga

21 September 2023   16:02 Diperbarui: 21 September 2023   16:19 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Akhir tahun 2022, tepatnya September, masyarakat sempat dikejutkan dengan berita mengenai seorang anak perempuan berusia dua belas tahun yang positif terinfeksi penyakit HIV (Human Immunodeficiency Virus). Gadis kecil asal Medan tersebut mengaku telah menjadi korban kekerasan seksual beberapa anggota keluarganya, mulai dari calon ayah tirinya, adik neneknya, sampai omnya. Ia juga sempat dipaksa tantenya yang bekerja sebagai muncikari untuk melayani pelanggan-pelanggannya.

Peristiwa di atas merupakan salah satu dari berbagai kasus tentang kekerasan anak yang terjadi di Indonesia. Sampai saat ini, masih cukup sering muncul pemberitaan tentang hal tersebut. Sebagai contoh, ada anak yang disiksa ibu kandungnya dan dipaksa mengemis.  Ada pula balita yang meninggal dan ditemukan fakta bahwa ia telah dikurung selama dua bulan di kamar mandi oleh orang tuanya. Bahkan, ada seorang ayah di Gresik yang tega menghabisi nyawa putrinya yang berusia sembilan tahun dengan alasan agar anak tersebut masuk surga.

Dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang kita menemukan anak-anak sedang berdagang, mengamen, bahkan meminta-minta di jalanan kota. Meskipun tidak semua anak terpaksa, tetapi tindakan membiarkan mereka  melakukan aktivitas tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk eksploitasi. Hal ini sesuai dengan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak. Pasal yang dilanggar adalah 76 I yang berbunyi "Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap anak."

Berbagai kejadian tersebut merupakan bukti bahwa belum semua anak di Indonesia mendapatkan rumah yang tepat untuk mendukungnya tumbuh dan mengembangkan potensi. Keluarga sebagai lingkungan paling dekat dengan anak seharusnya menjadi tempat pembelajaran pertama untuk membentuk mental dan karakter yang baik. Akan tetapi, belajar dari berbagai kasus di atas, keluarga justru menjadi sumber luka dan penghambat masa depan anak.

Berdasarkan bank data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tentang kasus pengaduan anak berdasarkan klaster perlindungan anak tahun 2016 -- 2020, terdapat 4.946 kasus pada klaster keluarga dan pengasuhan alternatif. Nilai ini berada pada tingkatan teratas apabila dibandingkan dengan klaster lain. Kekerasan pada anak ini disinyalir terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2022 saja, sebanyak 4.683 kasus diadukan pada KPAI. Sedangkan untuk klaster ini, jumlah total aduan mencapai 1.960.

Sejalan dengan KPAI, Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni) juga menyimpan data tentang tingginya kasus kekerasan anak di lingkungan keluarga. Sepanjang 2023 ini, sudah ada 10.061 kasus yang tercatat di Simfoni. Kelompok usia anak yang menjadi korban mencapai angka 57.2%. Sebanyak 6.633 kasus terjadi di lingkungan rumah tangga dengan pelaku yang didominasi dari keluarga, yaitu orang tua, suami/istri, dan saudara.

Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan mengingat keluarga merupakan fondasi utama bagi pembentukan karakter dan mental anak. Keluarga sebagai lingkungan terdekat sangat berpengaruh terhadap bagaimana masa depan sang anak. Mereka yang menjadi korban kekerasan di dalam rumahnya mengindikasikan bahwa tatanan fondasi dalam keluarganya sudah rapuh. Kerapuhan itu dapat dilihat dari interaksi dalam keseharian keluarga tersebut. Hilangnya cinta kasih orang tua kepada anak, perhatian yang sudah tidak intens, komunikasi yang berantakan antara orang tua dan anak merupakan sederet contoh kegagalan pendidikan di keluarga. Orang tua memberi pendidikan kepada anak melalui hal-hal tersebut. Apabila apa yang diterapkan baik, anak juga akan mendapatkan ilmu yang baik, begitupun sebaliknya.

Keluarga bertanggung jawab besar untuk membentuk kecerdasan emosi, otak, dan spiritual anak. Apabila di lingkup keluarga saja anak tidak mendapatkan pendidikan tepat dan sebiak-baiknya, maka hal tersebut bisa berpengaruh di masa depan. Apa yang dilihat dan dirasakannya setiap hari merupakan asupan mereka untuk bertingkah laku di luar. Sebagai contoh, apabila anak sering melihat ayahnya melakukan kekerasan verbal maupun fisik kepada ibunya tanpa perlawanan, maka ia dapat mencontoh itu ketika sudah dewasa dan berada dalam suatu hubungan. 

Anak akan melihat kekerasan sebagai bentuk perwujudan kasih sayang. Apabila ia laki-laki, maka dirinya akan tumbuh dengan memperlakukan hal yang serupa dilihatnya kepada pasangannya. Akan tetapi, jika ia perempuan, dirinya cenderung akan diam dan menerima ketika diperlakukan hal yang serupa oleh pasangannya. Meskipun tidak semuanya melakukan hal itu, tetapi beberapa kasus mengatakan demikian.

Kekerasan anak dalam keluarga ini ternyata tidak semata-mata karena permasalahan dalam keluarga saja, tetapi ada berbagai faktor lain yang mempengaruhi. Yang pertama adalah ditilik dari aspek utama terlebih dahulu, yaitu internal keluarga. Keluarga yang harmonis cenderung memiliki tingkat perilaku kekerasan di dalam rumah yang lebih rendah daripada keluarga yang mempunyai berbagai masalah. Pola interaksi di rumah tangga juga sangat berpengaruh, seperti dalam pengambilan keputusan penting. Apabila ada salah satu pihak antara suami atau istri yang lebih dominan, maka tingkat tindak kekerasan dalam keluarga tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan yang menerapkan kesetaraan peran antara keduanya.

Dengan demikian, struktur dalam keluarga juga sangatlah berperan penting. Beberapa tipe keluarga cenderung memiliki risiko kekerasan anak yang tinggi. Keluarga yang kedua orang tuanya sudah tidak harmonis lagi (sering terjadi adu mulut atau sedang menuju ambang perceraian). Hal ini dikarenakan permasalahan-permasalahan yang terjadi merupakan salah satu pemicu rasionalitas berpikir suami-istri menurun. Akibatnya, jalan penyelesaian masalah mengikuti rasa emosional masing-masing yang dapat mengarah ke kekerasan. 

Selain itu, keluarga dengan orang tua tunggal juga memiliki risiko yang sama. Pendapatan untuk kebutuhan hidup biasanya lebih sedikit sehingga terkadang orang tua kehilangan kontrol emosi kepada anak apabila ada kekurangan dalam hal ekonomi.

Orang tua di Indonesia tidak semuanya memiliki kesadaran tentang perlindungan terhadap anak. Sebagian besar dari mereka masih mewarisi pola asih yang diterapkan kepadanya di zaman dahulu untuk diimplementasikan ketika sudah menjadi orang tua. Perkembangan ilmu pengetahuan danteknologi di era sekarang seharusnya memberikan pintu bagi orang tua untuk ikut berkembang dalam hal mendidik anak. Tidak sejalan tentunya apabila kondisi anak di zaman sekarang disamakan dengan yang dahulu. 

Terpaan berbagai media membuat anak lebih cepat cerdas dari belajar mandiri di rumah dengan akses yang sudah sangat mendukung. Hal itu pula yang akan mempengaruhi karakter anak. Dalam hal inilah peran orang tua untuk mendidik secara tepat sangat diperlukan. Hukuman berupa kekerasan bagi perilaku negatif anak tampaknya sudah tidak relevan karena tindakan tersebut tidak mendidik dan memberi pelajaran pada anak agar jera, tetapi justru bisa menjadi awal adanya trauma dalam diri anak.

Orang tua yang sudah maju dan mau belajar untuk mendidik anak cenderung tidak akan melakukan hal serupa. Mereka akan menjadikan pengalaman buruknya di masa lalu sebagai pembelajaran agar tidak terjadi kepada buah hatinya. Semua itu disadari sebagai sebuah perbuatan yang tidak baik bagi anak, baik untuk sekarang, maupun di masa depan. Mereka cenderung menerapkan komunikasi yang terbuka dan ada kesetaraan antara semua anggota keluarga. 

Dengan kondisi demikian, segala permasalahan akan lebih dibicarakan sehingga menurunkan risiko adanya kekerasan anak dalam keluarga. Akan tetapi, perwujudan hal ini membutuhkan kontribusi semua anggota keluarga, terutama kedua orang tua.

Selain internal keluarga, faktor kedua yang mempengaruhi kekerasan anak dalam keluarga adalah kebijakan pemerintah. Anak adalah calon generasi bangsa. Maju atau tidaknya Indonesia di masa depan, salah satunya adalah bergantung pada mereka. Oleh karen itu, perlindungan dan kesejahteraan anak memang sudah seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Jaminan pemenuhan hak dan perlindungan hidup anak adalah salah satu contohnya. Hal tersebut sesuai dengan isi Pasal 20 -- 24 UU Perlindungan Anak yang menjelaskan mengenai hal tersebut. UU ini dibentuk sebagai sebuah bentuk realisasi dari pertanggungjawaban itu.

Hukum merupakan salah satu pilar utama yang bisa membenahi permasalahan kekerasan anak ini. Semua perangkat hukum adalah sebuah privilese bagi negara untuk memaksa rakyatnya tunduk terhadap hal tersebut. Apabila hukum ditegakkan dengan tepat, maka kehidupan masyarakat tentu akan menjadi aman dan damai. Akan tetapi, hukum yang mengatur tentang perlindungan anak tampaknya belum mampu mencapai tujuan tersebut.

Budaya hukum dan persepsi masyarakat tentang perlindungan anak perlu diubah menjadi lebih baik lagi.  Perubahan ini dapat dilakukan dengan melakukan pergerakan yang lebih sistematis dan terstruktur dengan melibatkan seluruh elemen dalam masyarakat serta disosialisasikan secara masif. Pemerintah perlu membentuk kesadaran dan juga komitmen dalam masyarakat bahwa haram hukumnya melakukan kekerasan pada anak.

Budaya hukum di Indonesia masih menganggap bahwa anak adalah otoritas dan tanggung jawab orang tua. Mereka dapat memperlakukan anak sesuai dengan yang dikehendakinya tanpa adanya intervensi dari pihak lain. Ibarat kata,, ikut campur dalam urusan keluarga lain adalah hal yang membuat sungkan karena pihak lain merasa tidak berhak dalam hal itu. Oleh karena itu, pemerintah harus menjadikan kekerasan anak dalam keluarga adalah tindak kejatahan normal. Dengan demikian, semua pihak yang terlibat dalam kasus, meskipun hanya melihat, dapat melaporkan kepada pihak yang berwenang tanpa perlu merasa ikut campur karena hal tersebut demi kesejahteraan bersama.

Dengan mengubah budaya hukum dan perspektif masyarakat saja nampaknya tidak cukup untuk menegakkan hukum apabila aparat tidak bekerja dengan baik. Pada pertengahan tahun 2021 terdapat sebuah kasus pemerkosaan anak oleh ayah kandungnya di Aceh, dimana awalnya pelaku sempat dibebaskan oleh majelis hakim sebelum dihukum selama 200 bulan penjara. 

Vonis tersebut beralasan bahwa pelaku tidak terbukti secara sah telah melakukan jarimah,  yaitu pemerkosaan terhadap yang memiliki hubungan mahram (anak). Putusan itu berdasarkan pada babakan Hukum Jinayat dalam Pasal 49 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014. Seperti kita ketahui, Aceh merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki otonomi khusus sehingga memiliki peraturan tersendiri.

Banyak pihak yang tidak terima dengan keputusan awal tersebut. Akhirnya, dengan desakan warga Aceh dan juga kegigihan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Aceh Besar dengan menggandeng berbagai elemen penting di masyarakat, pelaku divonis hukuman 200 bulan penjara. Peristiwa ini merupakan salah satu contoh pentingnya peran penegak hukum dalam mengurangi kasus kekerasan anak di lingkungan keluarga. Selain itu, peran masyarakat juga terlihat.

Masyarakat berperan untuk terus mengawal kasus-kasus yang demikian agar aparat penegak hukum tidak lalai dalam menjalankan tugasnya. Budaya apatisme di Indonesia juga harus segera dihilangkan. Negara-negara di Eropa perlu dicontoh dalam hal ini. Ketika ada indikasi terjadinya kekerasan pada anak, seperti luka di bagian tubuh, maka guru ataupun orang terdekat yang melihat akan langsung melaporkannya pada pihak yang berwenang dan turut melindungi korban. 

Tidak perlu ada rasa sungkan ataupun rasa seolah-olah membuang waktu karena mengurusi hal yang bukan menyangkut diri sendiri. Meskipun yang menjadi korban bukanlah anggota keluarga ataupun orang yang kita kenal, tetapi upaya melaporkan dan melindungi korban ini adalah perbuatan yang bisa mngurangi tingkat kekerasan anak di Indonesia. Sesuai dengan ajaran semua agama bahwa setiap perbuatan baik pasti akan kembali kepada pelakunya.

Jadi, kekerasan anak di lingkungan keluarga tidak serta merta dapat dikurangi hanya dengan memperbaiki internal keluarga ataupun hukum di Indonesia saja. Akan tetapi, semua pihak harus mau terlibat dalam upaya ini sesuai dengan perannya masing-masing. Kehidupan yang sejahtera merupakan hak bagi semua anak di Indonesia. 

Melalui hal tersebut, anak dapat memiliki rumah yang baik untuk mengembangkan potensinya secara maksimal. Anak adalah tongkat estafet perjuangan bangsa. Oleh karena itu, mari kita bersama-sama berupaya untuk menegakkan perlindungan anak di Indonesia secara adil dan setegas-tegasnya demi kemajuan Bangsa Indonesia di masa depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun