Selain itu, keluarga dengan orang tua tunggal juga memiliki risiko yang sama. Pendapatan untuk kebutuhan hidup biasanya lebih sedikit sehingga terkadang orang tua kehilangan kontrol emosi kepada anak apabila ada kekurangan dalam hal ekonomi.
Orang tua di Indonesia tidak semuanya memiliki kesadaran tentang perlindungan terhadap anak. Sebagian besar dari mereka masih mewarisi pola asih yang diterapkan kepadanya di zaman dahulu untuk diimplementasikan ketika sudah menjadi orang tua. Perkembangan ilmu pengetahuan danteknologi di era sekarang seharusnya memberikan pintu bagi orang tua untuk ikut berkembang dalam hal mendidik anak. Tidak sejalan tentunya apabila kondisi anak di zaman sekarang disamakan dengan yang dahulu.Â
Terpaan berbagai media membuat anak lebih cepat cerdas dari belajar mandiri di rumah dengan akses yang sudah sangat mendukung. Hal itu pula yang akan mempengaruhi karakter anak. Dalam hal inilah peran orang tua untuk mendidik secara tepat sangat diperlukan. Hukuman berupa kekerasan bagi perilaku negatif anak tampaknya sudah tidak relevan karena tindakan tersebut tidak mendidik dan memberi pelajaran pada anak agar jera, tetapi justru bisa menjadi awal adanya trauma dalam diri anak.
Orang tua yang sudah maju dan mau belajar untuk mendidik anak cenderung tidak akan melakukan hal serupa. Mereka akan menjadikan pengalaman buruknya di masa lalu sebagai pembelajaran agar tidak terjadi kepada buah hatinya. Semua itu disadari sebagai sebuah perbuatan yang tidak baik bagi anak, baik untuk sekarang, maupun di masa depan. Mereka cenderung menerapkan komunikasi yang terbuka dan ada kesetaraan antara semua anggota keluarga.Â
Dengan kondisi demikian, segala permasalahan akan lebih dibicarakan sehingga menurunkan risiko adanya kekerasan anak dalam keluarga. Akan tetapi, perwujudan hal ini membutuhkan kontribusi semua anggota keluarga, terutama kedua orang tua.
Selain internal keluarga, faktor kedua yang mempengaruhi kekerasan anak dalam keluarga adalah kebijakan pemerintah. Anak adalah calon generasi bangsa. Maju atau tidaknya Indonesia di masa depan, salah satunya adalah bergantung pada mereka. Oleh karen itu, perlindungan dan kesejahteraan anak memang sudah seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Jaminan pemenuhan hak dan perlindungan hidup anak adalah salah satu contohnya. Hal tersebut sesuai dengan isi Pasal 20 -- 24 UU Perlindungan Anak yang menjelaskan mengenai hal tersebut. UU ini dibentuk sebagai sebuah bentuk realisasi dari pertanggungjawaban itu.
Hukum merupakan salah satu pilar utama yang bisa membenahi permasalahan kekerasan anak ini. Semua perangkat hukum adalah sebuah privilese bagi negara untuk memaksa rakyatnya tunduk terhadap hal tersebut. Apabila hukum ditegakkan dengan tepat, maka kehidupan masyarakat tentu akan menjadi aman dan damai. Akan tetapi, hukum yang mengatur tentang perlindungan anak tampaknya belum mampu mencapai tujuan tersebut.
Budaya hukum dan persepsi masyarakat tentang perlindungan anak perlu diubah menjadi lebih baik lagi. Â Perubahan ini dapat dilakukan dengan melakukan pergerakan yang lebih sistematis dan terstruktur dengan melibatkan seluruh elemen dalam masyarakat serta disosialisasikan secara masif. Pemerintah perlu membentuk kesadaran dan juga komitmen dalam masyarakat bahwa haram hukumnya melakukan kekerasan pada anak.
Budaya hukum di Indonesia masih menganggap bahwa anak adalah otoritas dan tanggung jawab orang tua. Mereka dapat memperlakukan anak sesuai dengan yang dikehendakinya tanpa adanya intervensi dari pihak lain. Ibarat kata,, ikut campur dalam urusan keluarga lain adalah hal yang membuat sungkan karena pihak lain merasa tidak berhak dalam hal itu. Oleh karena itu, pemerintah harus menjadikan kekerasan anak dalam keluarga adalah tindak kejatahan normal. Dengan demikian, semua pihak yang terlibat dalam kasus, meskipun hanya melihat, dapat melaporkan kepada pihak yang berwenang tanpa perlu merasa ikut campur karena hal tersebut demi kesejahteraan bersama.
Dengan mengubah budaya hukum dan perspektif masyarakat saja nampaknya tidak cukup untuk menegakkan hukum apabila aparat tidak bekerja dengan baik. Pada pertengahan tahun 2021 terdapat sebuah kasus pemerkosaan anak oleh ayah kandungnya di Aceh, dimana awalnya pelaku sempat dibebaskan oleh majelis hakim sebelum dihukum selama 200 bulan penjara.Â
Vonis tersebut beralasan bahwa pelaku tidak terbukti secara sah telah melakukan jarimah, Â yaitu pemerkosaan terhadap yang memiliki hubungan mahram (anak). Putusan itu berdasarkan pada babakan Hukum Jinayat dalam Pasal 49 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014. Seperti kita ketahui, Aceh merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki otonomi khusus sehingga memiliki peraturan tersendiri.