Mohon tunggu...
Iryan Ali
Iryan Ali Mohon Tunggu... -

Lahir dan besar di Karawang. Saat ini tinggal di Jakarta. B: www.iryanah.com F: Iryan Ah T: @iryanah

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Kelas Menengah & WTM

1 Mei 2015   11:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:29 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14304604391543664047

[caption id="attachment_414111" align="aligncenter" width="500" caption="ilustrasi /Kompasiana(kompas.com)"][/caption]

Ada suatu fenomena titik balik yang beberapa tahun belakangan ini muncul di kalangan sebagian kecil kelas menengah (C3000): weekend tanpa ke mall. Kelas menengah yang biasa gandrung banyak menghabiskan waktu akhir pekan pergi ke mall (mallism), kini sadar tentang dampak negatif terlalu sering menghabiskan waktu keluarga di mall dan mulai berkampanye tentang pentingnya weekend tanpa ke mall.

Kita bisa melihat bentuk kesadaran gerakan kampanye mereka ini dalam bentuk WTM (weekend tanpa ke mall) yang sudah marak di media sosial dan aktivitas liburan yang mereka gelar sendiri. WTM telah menjadi gerakan dan komunitas masyarakat untuk mencari alternatif liburan saat akhir pekan.

Mengapa muncul gerakan dan kampanye WTM ini? Saya menduga hal ini disebabkan oleh sudah saking mendarah-dagingnya jalan-jalan ke mall di setiap akhir pekan pada mayoritas kalangan warga kelas menengah ibu kota ataupun second cities lainnya. Lihatlah mall-mall di berbagai kota hampir tidak pernah sepi dikunjungi oleh kelas menengah.

Ketika hari-hari biasa banyak waktu dihabiskan untuk bekerja (orang tua) dan sekolah (anak), maka waktu akhir pekan mereka tumpahkan semua waktunya di mall. Di Jakarta, hampir sehari penuh orang menghabiskan waktu di mall saat akhir pekan, baik dalam satu mall ataupun pindah-pindah ke berbagai mall. Di mall, mereka bisa memilih tempat untuk menghabiskan waktu bersama keluarga seperti makan di restoran, belanja kebutuhan sehari-hari, nonton film di bioskop, bermain di arena permainan atau taman, karokean, dll.

Namun, justru terlalu sering menghabiskan waktu di mall, maka sebagian kecil kelas menengah mengambil inisiatif untuk kampanye WTM ini. Adanya WTM, bukan berarti mereka anti terhadap keberadaan mall. WTM ini sebagai upaya meminimalisir waktu akhir pekan yang banyak disibukkan di mall. Selain dinilai terlalu mainstream, liburan ke mall dinilai kurang memberikan dampak positif bagi keluarga, sehingga diperlukan alternatif baru untuk menghabiskan waktu keluarga di akhir pekan. Mall dinilai sudah cukup basi, dan kini pilihannya mereka pergi ke taman rekreasi, pasar becek, perkebunan, area bermain ruang terbuka hijau, dll. Mereka mulai mencari-cari tempat-tempat baru yang mengesankan.

Mallism

Sekitar dua tahun yang lalu, pakar pemasaran Yuswohady pernah menulis tentang fenomena “Mallism”. Mallism adalah sebuah cerminan para “pemuja” mall. Ini merefleksikan bahwa pergi ke mall telah menjadi bagian gaya hidup kelas menengah. Tiada hari tanpa pergi ke mall. Belanja, nongkrong, menjamu tamunya, kopdar dengan kerabat, meeting pekerjaan, mengasuh anak, dll., yang semuanya dilakukan di mall. Praktis, hampir semua kegiatan yang dilakukan oleh kelas menengah adalah di mall. Maka, tak heran apabila pergi ke mall sudah mendarah daging dalam aktivitas kelas menengah Indonesia. Karena itu, managing partner dari Inventure itu menyebut era saat ini adalah Maleolitikum.

Oleh karena pergi ke mall telah menjadi bagian gaya hidup, hal ini telah menyebabkan permintaan pembangunan mall tak pernah berhenti dari para pengembang. Kabarnya, Jakarta adalah kota dengan jumlah mall terbanyak di dunia. Kini, pertumbuhan jumlah mall di ibu kota mulai dibatasi oleh Pemerintah Daerah. Tetapi, tak kalah siasat, kini para pengembang pun mulai mengincar area-area pinggiran ibu kota atau second cities untuk membangun mall. Mereka sangat agresif tumbuh di daerah-daerah pinggiran seperti Tangerang, Tangerang Selatan, Bekasi, dan Depok.

Saat ini justru di daerah pinggiranlah, sebenarnya para pengembang mendapatkan momentum “euforia konsumsi” pada kelas menengah. Dalam hasil penelitiannya berjudul The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potential, McKinsey menyebutkan angka pertumbuhan ekonomi wilayah second cities akan jauh lebih atraktif dibandingkan Jakarta. Second cities itu antara lain Bandung, Surabaya, Medan, Makassar, Semarang, dll.

Sebagian besar orang menganggap bahwa Jakarta adalah potret daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi besar dan cepat. Tetapi, melihat data yang diungkapkan McKinsey bahwa pertumbuhan ekonomi Jakarta tahun 2010 hanya mencapai 5,8%, sementara second cities rata-rata mencapai 6,7%. Prediksi di tahun 2030, second cities akan tumbuh lebih besar dari Jakarta yakni sekitar 9,1%, sementara ibu kota mencapai 5,1%.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun