Di tengah dunia yang kian mengglobal, borderless, dan flat, justru globalisasi menyisakan banyak hal yang paradoks. Salah satu ciri paradoks dalam konteks globalisasi adalah semakin pentingnya nasionalisme ketika banyak para ekonom liberal mengatakan tidak pentingnya nasionalisme. Di tengah proses globalisasi yang menciptakan unfairness dan injustice sehingga menciptakan ketimpangan (inequality), maka nasionalisme menjadi nilai-nilai baru yang hidup kembali, setelah sebelumnya sempat “dilupakan”.
Seiring dengan hadirnya kembali nilai-nilai nasionalisme dalam konteks dunia yang “datar” pada masyarakat Indonesia, hal ini pun dimanfaatkan oleh para brand owner untuk mempertajam brand identity milik mereka. Telkom adalah contoh kasus terbaru bagaimana perusahaan plat merah ini mempertajam brand identity-nya sebagai patriotic brand. Secara sederhana, patriotic brand adalah upaya penajaman brand identity system dengan nilai-nilai nasionalisme supaya dipersepsikan sebagai brand kebanggaan bangsanya dan peduli terhadap kemajuan negerinya di benak konsumen (in the consumers’ mind). Dari sisi warna logo, tagline, iklan, pakaian seragam karyawan, dll., Telkom Group sangat identik dengan merah-putih. Ini adalah bentuk patriotic message bahwa Telkom ada demi Indonesia. Strategi pemasarannya pun menggunakan dalih demi Tanah Air seperti Indonesia Digital Network, Indonesia Digital Entrepreneur, Indonesia Digital Cloud, Indonesia Digital School, dll, sebagai “Mahakarya Indonesia”.
Mengapa brand identity Telkom berubah? Selain visi masa depan perusahaan itu sendiri, penajaman brand identity Telkom Group adalah upaya merespons perubahan nilai-nilai masyarakat yang mulai peduli nasib bangsanya. Dengan begitu, menjadi patriotic brand bisa menjadi pilihan strategi untuk meningkatkan brand equity dan mendorong penjualan produk Telkom. Seberapa akan efektifkah penajaman brand association Telkom menjadi patriotic brand untuk meningkatkan penjualan? Melihat beberapa kasus global brand di negeri Paman Sam cukup sukses dan membuat masyarakat loyal untuk menggunakan Jeep, Levi’s, Coca-Cola, Disney, Ford, Harley Davidson sebagai wujud cinta nasionalisme terhadap produk bangsanya.
Hal ini pula yang mulai dimanfaatkan oleh para advertiser dalam mempertajam brand identity milik Unilever, Pertamina, Gudang Garam, BRI, Semen Indonesia, dll., dengan tema-tema nasionalisme. Meskipun belum seekstrem Telkom, tetapi mereka kian sadar harus membangun brand association nasionalis pada product attribute miliknya. Mereka kian gencar memasarkan produknya dengan cara menyentuh nilai-nilai kebanggaan sebagai warga negara Indonesia dengan menggunakan produknya, meskipun produk-produk itu tidak sepenuhnya adalah karya anak bangsa. Umumnya, pas menjelang tanggal 17 Agustus ataupun Hari Kebangkitan Nasional, mereka menghadirkan iklan-iklan nasionalistik.
Perubahan Nilai-nilai
Pilpres tahun lalu memberikan gambaran bagaimana seksinya tema nasionalisme dalam hingar-bingar kampanye politik. Semua calon presiden menjanjikan hadirnya semangat nasionalisme dalam mengoperasionalkan kekuasaan pemerintahan mendatang, baik di bidang ekonomi, politik, budaya, dll. Prabowo-Hatta dengan jargon “Selamatkan Indonesia”, dan Jokowi-JK dengan iming-iming “Indonesia Hebat”. Keduanya mengaku sebagai calon presiden nasionalis dan akan mengupayakan kepentingan bangsa atas dominasi asing di segala sektor kehidupan: ekonomi, pangan, tatakelola migas, politik, budaya, dll. Mengapa mereka menggunakan tema nasionalisme dalam kampanyenya?
Apabila melihat efektifnya kampanye nasionalisme pada Pilpres tahun lalu, maka saya percaya bahwa tema ini akan semakin seksi sebagai tema pemasaran di tahun ini. Mengapa seksi? Ini tidak lepas dari perubahan nilai-nilai pada masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia yang dulu mulai apatis terhadap gagasan nasionalisme, kini menilai merasa penting bahwa nilai-nilai ini sangat urgen. Ini tidak lepas dari pengaruh eksternal yang sangat mempengaruhi tumbuhnya rasa nasionalisme, meskipun nasionalisme itu masih bersifat artifisial. Seperti dikatakan Andy Hines dalam bukunya Consumer Shift, bahwa perubahan nilai-nilai bisa sangat ditentukan oleh external factor seperti ideologi, norma, politik, ekonomi, dll. Di dalam tulisan sebelumnya, saya telah mengupas perubahan nilai-nilai ini di artikel Indonesia Middle-Class Consumer Trends 2015.
Kuatnya dominasi global brand di pasar Indonesia dan adanya kawasan perdagangan bebas telah menstimulus rasa nasionalisme di masyarakat. Mereka bakal kian menjadi sensitif terhadap produk-produk asing dan lebih memilih brand dari Tanah Air asalkan kualitas produk atau layanannya tak kalah jauh dengan global brand. Mengapa? Dengan cara demikian, mereka seolah-olah bertindak peduli terhadap nasib bangsanya. So, mereka merasa Indonesia banget. Di negara-negara maju seperti Inggris dan Amerika, penajaman brand identity merek-merek besar lumayan sukses.
Brand Identity Traps
Sejak dua dekade lalu melalui bukunya Building Strong Brands, pakar brand David A. Aaker mewanti-wanti para brand owner yang sudah mapan agar awas terhadap brand identity traps. Brand identity traps adalah fenomena di mana brand sudah tidak mampu meningkatkan brand equity karena terjebak di brand image (persepsi yang terbangun), brand position (value proposition atau tagline), external perspective (tidak memasukkan unsur-unsur internal), dan product-attribute fixation (brand=produk). Umpamanya, brand seringkali diasosiasikan dengan produk karena para brand owner tidak cukup serius membangun brand. Padahal, menurut Aaker, membangun brand adalah pekerjaan yang sangat strategis. Alasan konsumen membeli suatu produk bisa jadi bukan karena atribut produk itu sendiri (kualitas, fitur, layanan), melainkan ada variabel lain seperti country of origin, brand personality, organizational association, emotional benefit, self-expressive benefit, dll. Apakah orang membeli produk Apple murni disebabkan oleh kualitas produknya?
Umpamanya adalah Super Mie yang dulu brand ini mahahebat, tapi tiba-tiba melempem dan disalip oleh kompetitor utamanya Indomie. Selain faktor kurangnya inovasi produk, Super Mie mulai redup karena kurang kreatif membangun brand identity system. Sementara itu, Indomie mulai membangun brand-nya tidak sekadar mie (produk) semata, melainkan makanan pokok selain nasi dengan variasi rasa, subtitusi makan berat saat tengah malam, teman makan sahur, dll. Dengan begitu, value of brand Indomie kian kokoh. Pada kategori lain, brand kecap Bango makin mengkilap seiring kuatnya brand identity produk milik Unilever itu. Lebih dari kecap, Bango menjadi “penyedap rasa masakan Nusantara”. Kinclongnya brand Bango menjadi pesaing serius bagi brand-brand kecap besar lainnya.