Membaca iklan di beberapa surat kabar, stasiun televisi dan media sosial akhir-akhir ini dipenuhi oleh program consumer promo, perubahan brand identity, co-branding antara logo resmi dari Pemerintah dan merek, serta menampilkan iklan perjuangan untuk memperingati Hari Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus. Ada banyak merek, baik lokal maupun multinasional, yang menawarkan beragam diskon atau bundling program demi menaikkan tingkat penjualan. Perayaan tahunantujubelasagustusan ini dijadikan win back target penjualan tahun ini. Namun, tidak sedikit beberapabrand melakukan corporate branding demi diasosiasikan sebagai merek yang peduli dengan bangsa ini.
Selain sebagai strategi pemasaran musiman (seasonal marketing strategy), beberapa merek menjadikan tema nasionalisme menjadi corporate identity dalam mereknya. Ini dilakukan dengan upaya untuk memperkuat pasar domestik. Semua ini mengindikasikan tentang “selling nationalism”. Nasionalisme yang sedang tumbuh di hari kemerdekaan ditunggangi oleh para pemilik merek untuk program pemasarannya.
Mengapa tema nasionalisme menjadi “seksi” untuk “ditunggangi” lalu “dijual” oleh sang pemilik merek? Ini tidaklah lepas dari kian bangkitnya rasa nasionalisme di tengah masyarakat yangborderless dan “datar”. Tidak seperti dikatakan para pakar globalisasi dahulu bahwa nasionalisme adalah “barang usang”, melainkan tetap relevan di tengah proses globalisasi itu sendiri. Nasionalisme bisa jadi memberikan self-expressive benefit atau social value bagi konsumen.
Relevansi
Di Amerika Serikat, kampanye nasionalisme menjadi kian marak pasca terjadinya peristiwa penyerangan World Trade Center (WTC) 11 September 2001 dan krisis ekonomi tahun 2008. Di tengah serangan terorisme (politik) dan krisis ekonomi, mereka kian peduli terhadap rasa kebangsaan. Untuk itu, beberapa brand memanfaatkan momentum ini sebagai bagian dari membangun koneksi sosial dengan masyarakat Amerika atas mereknya. Sejak saat itu, bermunculan tema advertising seperti United We Stand, American Buy, Thank You America, dan lainnya.
Di Indonesia, tema nasionalisme juga tetap menjadi isu yang relevan sampai saat ini. Pertarungan wacana masal kampanye Pilpres tahun lalu dibumbui oleh pertanyaan, “Siapa yang paling nasionalis di antara kedua calon?” Berbagai program para peserta Pilpres pun mengaku sudah sesuai dengan semangat nasionalisme. Beberapa waktu lalu, Koran Tempo merilis hasil survei dari sebuah lembaga survei mengenai arti nasionalisme. Hasil riset itu menunjukkan tentang pentingnya nasionalisme ekonomi. Mereka berpandangan bahwa ekonomi harus dikelola oleh negara demi kemakmuran bersama.
Melihat fenomena di atas, para pemilik brand secara cerdas “menunggangi” nasionalisme sebagai common issue yang berkembang di Tanah Air. Untuk itu, setiap tanggal 17 Agustus, para pemilik brand pun wajib ikut-ikutan merayakan tujuh belas agustusan. Mereka berlomba-lomba menciptakan program pemasaran di tanggal 17 Agustus untuk merayakan sekaligus demi menggenjot awarenessdan penjualan.
Social Value
Menurut Douglas Holt di bukunya yang berjudul Cultural Strategy (2012), nasionalisme dapat menjadi social value bagi konsumen. Social value ini dapat mempererat rasa solidaritas dan penerimaaan berdasarkan identitas, asal-usul, gender, ideologi, dan lainnya. Saat membeli produk atau jasa, konsumen, konsumen dapat merasa cocok dengan brand karena nilai sosial yang muncul. Dalam tahap ini, Douglas ingin melampaui tahapan functional, emotional benefit dan self-expressive benefit yang dulu dibahas oleh David Aaker.
Untuk mencapai social value, sebuah brand haruslah otentik. Artinya, kampanye sebuah brand bukan sekadar lipstik, palsu atau fake. Ketika memperjuangkan sesuatu yang dianggapnya benar, maka itu adalah misi atau landasan mengapa brand itu ada (why brand must exist). Dalam konteks cultural branding ini, sebuah brand menjadi penggerak (mover) yang telah merasuk menjadi bagian dari gaya hidup dari target pasarnya.
Beberapa contoh brand yang melegenda sebagai cultural icons adalah Body Shop dan Ben’s & Jerry. Di dalam negeri, contoh yang sedang populer adalah Telkom. Seiring perubahan visi perusahaan, kini corporate identity Telkom pun identik dengan merah-putih (Indonesia). Banyak program perusahaan diarahkan demi merah putih seperti pengembangan teknologi informasi untuk UMKM, lembaga sosial, masyarakat di desa atau kampung nelayan, sekolah, pemerintahan, dan lainnya. Di tengah dominasi kompetisi dengan perusahaan asing, Telkom mampu menjadi social value bagi konsumen lokal. Oleh karena itu, ketika menggunakan produk dari BUMN ini, barangkali konsumen merasakan “getaran” semangat merah-putih.
Empat Strategi
Lalu, bagaimana para pemilik brand dalam menjual nasionalisme? Ada beberapa pola yang bisa dipetakan. Secara sederhana, saya kelompokkan menjadi empat tujuan strategi memasarkan nasionalisme oleh para brand owner. Ke empat jenis itu yakni pemujaan (glorification) masa lalu, mengajak aksi untuk masa depan (next action), kepentingan iklan (advertisement), dan pergerakan sosial (social movement).
Dalam hal glorifikasi, kita akan banyak melihat iklan merek yang membangga-banggakan Indonesia di masa lalu. Sido Muncul Group dengan berbagai produknya kerap menampilkan kebanggaan sebagai bangsa, meliputi budaya, kesenian, alam, adat-istiadat, dan sebagainya. Selain itu, iklan-iklan bumbu masakan atau makanan kerap berlatar belakang kehebatan resep khas Indonesia lama.