Salah satu upaya yang menurut saya bisa dilakukan oleh para brand owner untuk menghindari brand identity traps adalah mempertajam brand identity system sebagai patriotic brand. Melihat perubahan nilai-nilai masyarakat dan kuatnya pengaruh globalisasi (tahun ini ada AEC), maka tema nasionalisme menjadi isu yang seksi dalam kampanye pemasaran sehingga bisa menciptakan brand equity yang kuat bagi merek lokal.
Jeep, Levi’s, Coca-Cola, Burgundy, Rolls Royce, Danish, Ford, Harley Davidson, Hyundai, dll., adalah beberapa contoh global brand berusia puluhan tahun yang makin kinclong karena dibangun brand association-nya sebagai patritotic brand bagi pasar domestik. Bagi mereka yang menggunakan Harley Davidson memiliki kebanggaan tersendiri sebagai warga negara yang Amerika banget. Everybody tries to be as American as we can be. Rolls Royce adalah mobil kebanggaan warga negara Inggris. Saking bangganya dan telah menjadi brand heritage negeri Ratu Elisabeth itu, seringkali konsumen tidak peduli brand itu kini sudah diakuisisi oleh perusahaan otomotif asal India Tata Motors. Intinya, menjadi patriotic brand mampu menciptakan magnet berkekuatan dahsyat atau emotional connection yang membuat hati konsumen bisa luluh.
Emotional Connection
Patriotic brand ini mampu menciptakan emotional connection yang tak terkira dahsyat di benak konsumen. Sederhananya, “seberapa Indonesia lu?” sangat ditentukan kuatnya patriotisme atau kegemaran menggunakan produk karya anak negeri. Ini bisa kita rasakan bangganya luar biasa apabila kita menggunakan produk dalam negeri. Ini juga terjadi pada warga negara Amerika Serikat. Meskipun mereka dikenal negara kapitalis dan banyak produk yang dilahirkan dari warga negaranya, tetapi ekspansi produk asal Jepang dan China cukup membuat khawatir kondisi pasar mereka, sehingga kampanye patriotisme mulai semarak lagi. Kita sering melihat di film-film Hollywood mengenai kampanye ini.
Contoh lainnya bagaimana strategi patriotic brand menciptakan keampuhan emotional connection ialah ketika Jokowi mendukung pembuatan mobil Esemka di Solo. Publik Indonesia pun antusias ingin turut memiliki mobil hasil karya anak negeri itu. Bahkan, kabarnya banyak orang Indonesia sudah antri memesan mobil yang diproduksi anak sekolahan itu, mulai dari masyarakat biasa, politisi, artis, pejabat, dll. Mengapa mereka antusias? Ini tidak lepas dari terjepitnya kondisi pasar otomotif negeri oleh produk-produk asal Jepang, Korea, Amerika Serikat, dll., sehingga menciptakan emotional connection mahadahsyat sehingga masyarakat pun merasa perlu untuk mendukung produsen asli Tanah Air.
Meskipun pada akhirnya kita tahu bahwa mobil Esemka mangkrak tidak jadi merek kebanggaan nasional, namun emotional connection masyarakat sangat antusias ingin memiliki tatkala mobil ini dliuncurkan dan didukung oleh Jokowi.
Self-Expressive Benefit
Apabila dahulu kita mengenal dua jenis benefit yakni functional dan emotional, maka seharusnya kita sudah mulai menerapkan self-expressive benefit. Percayalah, jenis benefit ini tidak kalah jauh lebih impactful dibandingkan dua value sebelumnya. Seperti kata Aaker dalam bukunya Managing Brand Equity bahwa perilaku dan preferensi pembelian konsumen tidak ditentukan secara faktual, tapi lebih sering digiring oleh opini publik dan brand association yang kuat. Menjadi patriotic brand adalah cara memenangkan opini publik di konsumen.
Strategi menjadi patriotic brand bisa memberikan self-expressive benefit bagi konsumen. Artinya, brand yang sudah diasosiasikan sebagai nasionalis, maka kemungkinan besar akan digunakan oleh masyarakat. Dengan menggunakan produk bangsa sendiri, mereka akan merasa bangga sekaligus telat turut berkontribusi terhadap bangsa. Dengan kata lain, patriotic brand memberikan benefit sebagai brand yang gue banget. Contohnya adalah mengenakan kaos Damn I Love Indonesia bisa jadi memberikan benefit yang luar biasa bagi konsumen dan sebagai ekspresi gaya hidup baru.
Memasuki tahun 2015, saya melihat ada kemungkinan besar bahwa menjadi patriotic brand adalah pilihan strategi ampuh dalam mendorong penjualan. Beberapa global brand sudah membuktikannya, seperti Harley Davidson, Levi’s, McDonalds, Pepsi, Starbucks, Disney, dll., yang sangat identik dengan Amerika dan menggunakan produk milik negara sendiri adalah sebuah kebanggaan. Inilah fenomena self-expressive benefit di negeri Paman Sam.
Edukasi Konsumen