Mohon tunggu...
irwanto
irwanto Mohon Tunggu... Freelancer - Pemuda Harapan Bangsa

Pusat Penelitian dan Pengembangan Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Di Mana Benang Merah antara Adat dan Konservasi?

17 Mei 2016   13:52 Diperbarui: 17 Mei 2016   15:07 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : WWF Indonesia 2016

"Sebuah perahu jenis fiber bermotor tempel, haluan depan terpasang tiang yang ujungnya terikat kain berwarna hitam berjalan pelan. Kemudian berlabuh tepat di samping kanan dermaga yang di sana telah dinanti oleh puluhan sanak saudara. Terdengar suara menjerit, menangis, dan menggerutu oleh orang-orang terdekat di kampung itu. Seolah-olah tidak menerima hal yang telah terjadi. Seorang balita dibopong keluar dari perahu itu namun sudah tak bernyawa. 

Balita malang ini telah lama terkena sakit yang susah disembuhkan. Masyarakat kampung berdatangan dengan raut duka dan beberapa di antara mereka menyempatkan menyampaikan ucapan bela sungkawa. Berselang beberapa jam kemudian, tokoh adat dan keluarga duka melakukan pertemuan untuk mengagendekan jadwal Doa Duka (ibadah duka). Pada pertemuan tersebut juga telah meminta kepada pemuda untuk menyiapkan bahan makanan untuk dijadikan sajian adat di Doa nanti. Tiga pemuda tersebut menyiapkan alat perburuan mereka dan mengaturnya di atas perahu “semang” (cadik yang dipasang di kedua sisi perahu) dengan mesin 15 PK. Target perburuan mereka adalah Penyu."

Telah banyak kita tahu bahkan juga pernah menyaksikan tentang kisah kekentalan adat/budaya masyarakat yang ada di Pulau Papua. Ritual-ritual adat tersebut memberikan warna terhadap budaya-budaya yang ada di Indonesia. Mulai dari mekanisme pemilihan kepala suku, prosesi adat di kedukaan, tarian-tarian penyambutan dan ritual-ritual khusus yang beraneka ragam di setiap wilayah sukunya. Juga banyak media yang mempublikasikan bahkan mendokumentasikan hingga menjadikannya spot budaya internasional pada agenda tertentu seperti festival-festival budaya sehingga mengundang banyak wisatawan untuk menyaksikan langsung proses-proses pementasan budaya tersebut.

Teluk Cenderawasih yang merupakan wilayah leher burung daratan Pulau Papua. Sudah sejak lama dihuni oleh masyarakat lokal Papua yang tentunya memilki ragam ritual kebudayaan. Teluk ini dicanangkan sebagai Kawasan Konservasi Laut oleh Menteri Kehutanan dan dikelola oleh Balai Besar Taman Nasional Teluk Cenderawasih di Manokwari. 

Wilayahnya adalah termasuk Teluk Wondama dan Nabire dan dibagi ke dalam tiga Satuan Pengelolaan (SPTN) yang berkantor di Ransiki, Wasior, dan Nabire. Kawasan ini memilki 21 Zona Inti, 18 Zona Perlindungan Bahari dan 14 Zona Pemanfaatan Pariwisata serta beberapa zona yang termasuk pada wilayah Take Zone. Memperlihatkan bahwa lebih dari 40 titik Wilayah No Take Zone dan harus benar-benar dikelola dengan baik.

Jika dilihat integrasi kepentingan antara budaya dan konservasi secara fungsi adalah memilki kesamaan, yaitu masing-masing memilki tujuan yang berdampak pada keberlanjutan. Namun, jika dilihat berdasarkan aktivitas dan produk maka akan sangat berbeda jauh pada tataran implementasinya. Misalnya budaya yang memilki ingeneusknowledge, sedangkan konservasi memiliki scince knowledge. Seperti contoh budaya perburuan penyu untuk ritual tertentu bahwa secara turun-temurun dipahami sebagai aturan yang berasal dari nenek moyang yang sulit untuk dilanggar. 

Kemudian pada penentuan kawasan konservasi untuk perlindungan spesies bahwa tanpa adanya kajian ilmu mengenai stok atau semacamnya maka akan susah mengonsepkan mekanisme perlindunagn spesies tersebut.

"Setelah sampai di tempat di mana mereka sering berburu, sekitar refdangkal (sebutan bagi wilayah terumbu yang kedalamannya antara 5-15 meter oleh nelayan Papua) mereka mempersiapkan alat perburuan yang terdiri dari tali (panjang 10 meter dengan diameter 7 mm), tombak (5 meter), pengait/kail (diameter 1 cm ujungnya runcing) serta satu buah batang pohon (panjang 1,5 meter dan diameter 25 cm). Tanpa aba-aba 3 orang pemburu langsung terjun ke laut dan mengayuhkan kaki sambil memegang tombak berburu yang ujungnya dipasang pengait/kail. Sementara yang di atas perahu adalah motores (sebutan bagi juru mudi perahu bermesin) dan beberapa orang anak belasan tahun yang ingin ikut belajar cara berburu. Sekitar 45 menit kemudian terdengar suara teriakan yang jauhnya sekitar kurang lebih 200 meter, si motores langsung menarik starter dan menancap gas mesin oerahu untuk menjemput pemburu tadi. Sahutan mereka dengan berbahasa Papua yang kira-kira artinya 'kita dapat yang besar, ayo bantu angkat ke perahu.'”

Transformasi pengetahuan antara budaya dan konservasi adalah sangat perlu untuk mendesain mekanisme tatakelola potensi sumber daya. Di sinilah fungsi Pendekatan Hak untuk Pengelolaan Sumber daya yang menjembatani fungsi-fungsi dan tujuan keduanya. Komposisi di dalam budaya yang memiliki hak atas sumber daya mereka, mekanisme dan konstruksi adat sudah menjadi toleransi tersendiri. Apalagi menyangkut wilayah yang secara struktural memiliki ikatan atas penguasaan berdasarkan marga. Dan banyak hal lagi tentang budaya yang menjadi karakteristik pemanfaatan potensi sumber daya. 

Sedangkan perlindungan spesies adalah mutlak, jika melalui kajian bahwa spesies mengalami penurunan stok dan terancam punah. Sehingga dalam tatanan implementasi program konservasi di wilayah yang memiliki kekentalan adat yang cukup tinggi, memerlukan keterpaduan yang terintegrasi misalnya pada knowledge. Karena agar keduanya tetap berjalan, harus tetap bergandengan dan saling mendorong dalam perkembangannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun