Photo : onekla05 2013
Nelayan merupakan masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya pesisir dengan melakukan penangkapan ikan dan jenis lainnya yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut. Sebagaimana dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 17/Kepmen-KP/2013 menekankan bahwa nelayan merupakan orang yang sehari-harinya bekerja menangkap ikan atau biota lainnya yang hidup didasar, kolom maupun permukaan perairan.
Dilihat dari segi kepemilikan alat tangkap, nelayan dapat digolongkan menjadi beberapa kelompok yaitu; nelayan buruh, nelayan juragan dan nelayan perorangan. Nelayan buruh adalah nelayan yang bekerja dengan menggunakan alat tangkap milik orang lain. Nelayan juragan adalah nelayan yang memiliki alat tangkap namun dioperasikan oleh orang lain. Sedangkan nelayan perorangan adalah nelayan yang memeilki peralatan tangkap sendiri dan dalam pengoprasiannya tidak melibatkan orang lain. Berdasarkan aktifitasnya, nelayan juga digolongkan menjadi dua bagian yaitu nelayan penagkap dan nelayan pengumpul. Nelayan penangkap yaitu nelayan yang melakukan aktifitas penagkapan sedangkan nelayan pengumpul adalah nelayan pembeli hasil tangkapan langsung dari nelayan penangkap kemudian menjualnya kembali di pasar.
1.Konflik
Studi konflik telah dimulai sejak perkembangan ilmu sosial klasik sampai abad postmodern terutama melalui disipilin ilmu sosiologi, psikologi, dan hubungan internasional. Kekayaan sumberdaya yang ada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Nusantara sangat rentan terhadap perubahan-perubahan yang diakibtakan oleh adanya pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam. Adanya penguasaan hak atas sumnerdaya alam secra sepihak oleh negara terbukti gagal dalam pengelolaannya, sehingga menyebabkan salah satunya konflik yang semakin merebak.
Pada Kasus konflik diantara nelayan sebagian besar merupakan konflik teritori (teritori adalah suatu pola tingkah laku yang berhubungan dengan kepemilikanatau hak seseorang atau kelompok atas sebuah tempat atau lokasi geografis (Bell et, all,. 1996)). Konflik ini dipicu karena sebagian besar manusia cenderung bertingkah laku tertentu dalam wujud kepemilikan atau haknya atas teritori tertentu. Paradigma common property menjadi sebab dalam mengklaim teritori dan pada akhirnya semua masyarakat khususnya nelayan menanamkan pandangan ini. Namun akibatnya adalah perolehan potensi sumberdaya (perikanan dan kelautan) terimplikasi oleh konflik antara nelayan.
Permaslahan konflik antar nelayan memperebutkan sumberdaya perikanan sudah sejak lama terjadi diwilayah pesisir dan kepulauan nusantara. Telah banyak study kasus seperti yang terjadi di perairan pantai utara Madura pada tahun 1995, di perairan Sidoarjo pada tahun 2001, di perairan Maluku tahun 2007 hingga tahun 2013 terjadi di perairan Sulawesi Selatan. Sejak saat itu pula muncul kebijkan dan hukum untuk mengatur dan meminimalisir konflik yang terjadi. Namun implementasi hokum dna kebijakan tersebut mengurai konflik-konflik baru, hingga merambat pada tataran institusi dan stakeholder dalam mengelola sumberdaya kelautan dan perikanan Nusantara.
Penangnan konflik tersebut banyak kalangan menganggapnya gagal dalam penyelesaiannya. Hal disebabkan karena pertama partisipasi masyarakat dalam menghadapi konflik cenderung menghindari permasalahannya bukan menyelesaikannya sehingga esensi penerapan hokum serta acuan penindakan sanksi tidak dipahami secara seksama oleh subyek konflik. Kedua, paradigma superior dan imperior masi sebagian besar mengalir dalam tatanan masyarakat nelayan, ibarat “tembok besar” yang membatasi interaksi sosial antara institusi pemerintah dengan kelompok nelayan, sehingga konsep kebijakan tidak berbasis isu dan cenderung top down. Ketiga,sosialisasi hukum dan kebijakan terbatas pada kalangan tertentu. Keterbatasan sumberdaya baik pada tataran sarana dan prasarana terutama infrastruktur untuk menjangkau pulau-pulau kecil mentyebabkan implementasi penerapan Hukum dan Kebijakan tidak sampai pada nelayan. Keempat, pelaku penerapan sanksi dalam hal ini yudikatif telah terlena dengan negoisasi yang menghanguskan aturan dan undang-undang yang telah ditetapkan.
2.Destructive Fishing
Salah satu dampak dari menghindari pemicu permasalahan konflik adalah detruktive fishing. Istilah ini diartikan sebagai kegiatan yang memanfaatkan sumberdaya perikanan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan sekitar. Kegiatan pengrusakan ini biasanya menggukan bahan peledak dan bius untuk mendapatkan ikan-ikan yang ada di kolom perairan dengan jumlah yang banyak.
Pengrusakan sumberdaya ini di picu oleh pertama dengan adanya perebutan lokasi penangkapan dan menganggap laut tidak ada yang memiliki sehingga untuk mendapatkan jumlah ikan yang banyak pada lokasi tertentu harus dengan alat tertentu pula. Namun alat tersebut dapat merusak ekosistem dan mengancam keberlanjutan spesies bernilai ekonomis. Kedua, negara mendorong peningkatan tingkat konsumsi ikan bagi masyarakatnya menyebabkan banyaknya permintaan pasar bagi ikan-ikan ekonomis. Hal ini akan memicu penangkapan yang tidak ramah lingkungan dan mengurai berbagai macam permasalahan terkait. Ketiga, sistem penerapan ecolabel fishery dianggap tidak menguntungkan bagi kalangan marginal dalam hal ini nelayan. Pada hal sebaliknya, konsep ini member dampak yang sangat positif baik pada segi ekonomi maupun lingkungan. Sampai pada saat ini pemerintah belum berani menerapkan konsep tersebut sehingga destructive fishing masi saja marak terjadi. Keempat, kontrol sumberdaya yang tidak rutin, baik dalam konteks institusi pemerintah, stakeholder bahkan kelompok masyarakat pun tidak mau terlibat secara langsung entah alas an upah atau semacamnya. Namun jika ditinjau dari sistem pengaturan dan pengawasan telah ada diatur dalam Hukum dan Kebijakan menyangkut Kelauta dan Perikanan.
Permaslahan ini tidak menuai penyelesaian yang berdampak positif namun berpihak pada tataran tertentu. Sehingga timbul konflik-konflik baru yang padahal permasalahannya tetap sama. Kebijakan-kebijakan oleh pemeraintah daerah dalam menyelesaikan destructive fishing juga dipatok dengan “anggaran proyek”, semakin besar anggarannya maka kualitas proyek bisa diukur. Upaya-upaya yang dianggap perlu dan penting dalam meminimalisirnya adalah menyusun konsep-konsep strategi, diantaranya: a) Kebijakan konvensional, dengan tujuan agara pengelolaan perikanan menjadi lebih rasional; b) Penerapan instrument user fee, diharapkan mampu memaksimalkan rente ekonomi sekaligus melestarikan sumberaya ikan itu semdiri; c) Penerapan konsep ecolabel fishery, diharapkan mampu mengendalikan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan dan ramah lingkungan; d) Perlindungan indigeneus knowledge, mampu melindungi spesies yang diatur dalam sistem sosial masyarakat pulau-pulau kecil.
3.Kemiskinan
Permasalahan nelayan dan kemiskinan memang bukan monopoli negara-negara berkembang saja. Dinegara maju sekalipun, manakala terjadi mismanagement terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan. Kalaupun benar bahwa sebagaian besar nelayan kita miskin, kita perlu mengkaji lebih jauh pemahaman mengenai penyebab kemiskinan tersebut.
Secara garis besar bahwa rentetan permasalahan yang berakar dari konflik yang berkepanjangan menuai percabangan pada destructive fishing dan akan beranting kepada kemiskinan nelayan. Tanpa disadari bahwa penyelesaian permasalahan tidak dicabut dari akarnya sehingga dampak-dampak yang terjadi akan menjadi permasalahan baru dan dipandang sebelah mata. Meskipun telah banyak upaya-upaya yang telah dilakukan namun hanya menyelesaikan permasalahan teknis saja bukan solusi yang bersumber dari hulu.
Pada tataran nelayan, kemiskinan tersebut dikelompokkan menjadi beberapa paradigma yaitu : a) Paradigman Teknologi, termasuk didalamya kemampuan mengakses teknologi, memahami fungsi teknologi serta penguasaan terhadap teknologi; b) Paradigma Ekonomi, menyangkut pendapatan rata-rata, kemampuan memenuhi kebutuhan pokok serta dalam hal keterlibatan dalam pasar produksi; c) Paradaigma Struktural, yaitu suatu kondisi ketidak berdayaan, terperangkap dalam kemiskinan dan bersifat pasrah; d) Paradigma Kultural, merupakan anggapan bahwa kmiskinan adalah warisan budaya yang secara turun temurun menjadi hal yang biasa.
Permasalahan kemiskina juga disebabkan oleh beberapa faktor seperti kondisi alam (cuaca yang tidak menentu), pendidikan rendah (biaya sekolah tinggi serta merasa tidak perlu mengenyam pendidikan), pola hidup (budaya boros, tidak memiliki tabungan dan pola hidup konsumtif), Infrastruktur (ketersediaan TPI, kondisinya buruk serta rantai suplai yang sangat panjang) dan kebijakan pemerintah (kebijakan berlaku umum serta tidak ada kajian kebutuhan masyarakat nelayan. sehingga dianggap upaya-upaya dalam menagtasi kemiskinan tersebut seperti 1) Memupuk kesadaran bangsa tentang potensi sumberdaya kelautan dan perikanan; 2) Meningkatkan tingkat sensitifity pada problema internal bidang kelauatan dan perikanan dan sumberdaya manusia; dan 3) Mengkondusifkan Kebijakan Ekonomi Makro.
4.Terlupakan
Indonesia sebagai salah satu sumber pangan terbesar di dunia, olehnya itu pengembangan wilayah pada sentra kelautan dan perikanan. Pembanguan ini melalui industrialisasi baik dalam hal pariwisata (wisata pantai, diving, snorkeling,dll) maupun sektor perikanan (penangkapan, pengolahan dan pemasaran). Industrialisasi membentuk sebuah ruang bagi masyarakat tertentu yang memiliki kepentingan dan permodalan cukup besar.
Industri kelautan dan perikanan telah dipandang khusus sebagaimana yang ditetapkan sebagai arah kebijakan seperti minapolitan, modernisasi alat tangkap, serta baru-baru ini terbangun konsep blue economi. Pada dasarnya arah kebijakan tersebut lagi-lagi political will, dimana visi misi yang tidak sinergis dan tidak saling melengkapi namun membentuk visi misi baru dalam proses kepemerintahan yang baru pula. Ini dilakukan tanpa ada evaluasi target capaian program pembangunan di kepemerintahan sebelumnya. Sehingga program yang dijalankan menutup kasus tanpa penyelesaian yang rill.
Pembahasan kebijakanpun tercakup pada isu-isu global tanpa penyesuaian studi-studi berdasarkan karakteristik lokasi. Jaminan kesejahteraan menjadi sebuah mimpi bagi masyarakat nelayan, dan akan menjadi mimpi buruk bagi anak cucu mereka. Apalagi pada proses perumusan konsep kebijakan tanpa keterlibatan masyarakat nelayan, yang smestinya sebagai subyek dalam pengelolaan malah menjadi obyek kebijakan, padahal nelayan sendiri adalah pelaku langsung dalam mengakses sumberdaya perikanan sebagai sumber pangan dunia. Akhirnya rumusan kebijakan dan program kesejahteraan hanya pada sasaran bantuan teknis (Mesin, BLT dll) yang sebenarnya tidak menyentuh titik pokok permasalahan kesejahteraan nelayan.
Pembanguan kewilayahan yang berorientasikan pegembangan ekonomi namun mengindahkan kelestarian lingkungan telah menjadi pembahasan yang tetap hangat. Mengapa demikian?, sebab tidak pernah menyimpulkan solusi yang tepat sasaran, namun dianggap benar oleh para birokrasi. Sepeti pada konsep Reklamasi, padahan pada UU RI No. 27 tahun 2007 yang melahirkan Keputusan Presiden RI No. 122 tahun 2012 dan menerangkannya di Peraturan Menteri Kelautan & Perikanan RI No. 17 tahun 2013 tentang Reklamasi di wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil harus dilaksanakan atas dasar keberlanjutan sumberdaya dan berbasis lingkungan. Namun kenyataannya masi mendapat kecaman bagi pemerhati lingkungan bahkan nelayan itu sendiri. Sehingga pada tulisan ini keberadaan nelayan pada nusantara sudah dilupakan. Padahal mereka adalah pahlawan pangan bagi bangsa kita.
Problematikanelayan merupakan rantai sebab akibat yang terjadi sudah sejak lama dan saling mempengaruhi permasalahan lainnya. Seperti pada konflik yang menyebabkan destructive fishing, destructive fishing menyebabkan kemiskinan dan kemiskinan ini membuat para nelayan akan terlupakan. Olehnya itu perlu upaya pembenahan bukan dikalangan masyarakat namun pada tataran pemerintah sekalipun untuk menuai konsep startegis dalam menyelesaikan perasalahan Nelayan pada akar sebenarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H