Kontes pengelolaan sampah semakin hari semakin beragam judulnya dengan tujuan untuk menyelesaikan masalah sampah baik yang di lakukan oleh pemerintah, swasta, maupun LSM, berbagai macam konsep di tawarkan dari dan untuk stakeholder yang bermuara kepada masyarakat agar terkesan memberikan sebuah win-win solusi agar terbebas dari masalah sampah dan sampah mampu menjadi nilai ekonomi yang menjanjikan bagi pengelolanya, benarkah?
Subyektif Bicara Sampah
Narasi persampahan yang umum terdengar adalah soal infrastruktur yang paling terdepan bukan suprastruktur (Non fisik), padahal teknologi dengan berbagai nama dan cara kerjanya sudah menghiasi dunia persampahan.
Tetapi faktanya selama hampir kurang lebih 15Tahun masalah sampah tidak kunjung selesai, ditambah lagi narasi regulasi yang keluar tidak proporsional dan mengambil pasal demi pasal sesuai kepentingannya untuk memperlancar tujuan yang tidak berpihak kepada masyarakat, yang tidak berkeadilan, yang lebih parah antara di panggung dan di lapangan beda cerita, beda implementasi.
Umum terdengar di telinga kita bahwa permasalahan sampah karena warga/masyarakat susah diatur dan solusi masalah sampah adalah dengan menambah armada angkutan sampah, padahal bukan itu sumber masalahnya dan bukan juga solusinya.Â
Pemberdayaan yang sesungguhnya ialah melibatkan masyarakat secara luas dan memberikan pemahaman yang mudah dimengerti, mudah dilakukan, dan mudah untuk diwujudkan dengan sederhana.
Tidak kalah penting adalah pemberdayaan itu bukan untuk menambah pekerjaan dari pekerjaan utama masyarakat tetapi untuk menjadi kebiasaan masyarakat itu, kecuali memang atas dasar permintaan khusus.
Linear Memahami Pemberdayaan
Substansi pemberdayaan ialah meningkatkan SDM, menumbuh kembangkan bakat masyarakat secara umum-struktural yang terpendam, merubah paradigma berpikir (developmentalis) dan menciptakan peluang baru sesuai potensi wilayah dan meluruskan pokok mekanisme dasar berdasarkan akademisi untuk diwujudkan atau dipraktekkan.
Sehingga, ke depannya, pemberdayaan itu mampu memandirikan masyarakat, dimaknai dalam konteks menempatkan kondisi masyarakat desa yang semata-mata bukanlah obyek penerima manfaat (benefitiaries) yang tergantung pada pemberian dari pemerintah atau swasta saja melainkan dalam posisi sebagai subyek yang berbuat secara mandiri sebagai partisipan, yaitu terbukanya ruang dan kapasitas untuk mengembangkan potensi, kreasi dalam memahami lingkungan( tempat tinggal), sumber daya sendiri, dan sumber daya alam (Baca: UU 6/15 Tentang Desa).
Tetapi yang terjadi adalah pemberdayaan yang subjektif, pemberdayaan yang umum terjadi ialah untuk segelintir orang dan sebatas mengugurkan kewajiban yang memanfaatkan ketidak tahuan masyarakat atau pengusaha untuk kelompok pengusaha itu sendiri.Â