Mohon tunggu...
Irwan S
Irwan S Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Free journo

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Media Tidak Sehat, 'Kembali' ke Orde Baru Saja!

13 Januari 2012   12:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:56 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13264568652074674982

"Deadline untuk memenuhi kuota berita tiap harinya, harus ada berita tentang kebakaran tadi malam, hasil liputan konser si penyanyi ini itu, buru-buru bangun pagi janjian dengan narsum buat wawancara."

Masih banyak sederetan kerja seorang jurnalis yang jauh lebih berat lagi, namun, di usia saya yang baru satu tahun sebagai seorang reporter di media lokal kota Medan, job desc seperti itu cukup berat but I do love all those things by the way. Apalagi kala itu masih mengemban label “mahasiswa”.

Banyak manfaat yang sebenarnya tidak bisa didapat oleh kebanyakan mahasiswa. Apalagi saya mengambil jurusan ilmu komunikasi. Al hasil, selain mendapat jajan tambahan, saya bisa membandingkan teori-teori yang diajarkan di kampus dengan praktiknya di market place yang sebenarnya. So complicated science! Banyak hal yang tidak berada pada koridor teori² komunikasi yang saya pelajari di bangku kuliah. Well, teori2 itu sebenarnya baik adanya, namun si pelaku media ini lah yang tidak mengindahkannya. Ya, banyak faktor bisa menjadi penyebabnya.

Mari kita lihat sembilan elemen jurnalisme yang dipaparkan oleh wartawan yang nyaris tanpa cacat, Bill Kovach dan rekannya Tom Rosenstiel. Sembilan elemen itu adalah:

1.Menyampaikan kebenaran

2.Memiliki loyalitas kepada masyarakat

3.Memiliki disiplin untuk melakukan verivikasi

4.Memiliki kemandirian terhadap apa yang diliputnya

5.Memiliki kemandirian untuk memantau kekuasaan

6.Menyadi forum bagi kritik dan kesepakatan publik

7.Menyampaikan sesuatu secara menarik dan relevan kepada publik

8.Membuat berita secara komprehensif dan proporsional

9.Memberi keleluasaan wartawan untuk mengikuti nurani mereka

Lihatkan, bagaimana sempurnanya seharusnya jurnalisme tersebut. Kesembilan elemen itu seakan menjadi tuntutan pada dunia jurnalistik untuk meningkatkan mutunya. Kesembilan elemen itu menurut saya lebih ditekankan pada wartawan dan berita. Wartawan harus mampu membuat liputan cover both side, based on fact, independensi wartawan harus hidup, berita hrs komprehensif dan proporsional serta banyak hal agar produk jurnalisme tersebut tidak mengaburkan masyarakat. Bahkan Suthicai Yoon, redaktur pendiri harian The Nation di Bangkok menulis agar elemen² tersebut dibaca wartawan Thai. Namun, saya yang hanya mahasiswa jurnalistik yang sangat tidak dapat dibandingkan dengan Kovach tidak melihat adanya sebuah “teguran” atau mungkin bisa saja menjadi sebuah elemen bagi media untuk bisa merefleksi diri tidak hanya dari segi pemberitaan ataupun kualitas SDM mereka. Jurnalisme menurut saya tidak hanya sebatas wartawan dan berita. Media, rumah bagi wartawan untuk menghasilkan berita yang dikonsumsi oleh khalayak.

Kembali ke cerita hidup saya sebagai seorang reporter yang “tidak utuh”. Ini bukan merupakan rasa kesal dan kecewa saya, namun kalau mediaatau pers itu merupakan bagian dari demokrasi Tanah Air sebagai pilar ke empat. Maka media harus mampu menunjukkan kesehatannya dalam mengemban tugas menciptakan demokrasi yang hidup di masyarakat kita.

Dari tiga media yang pernah menjadin tempat bekerja saya sebagai reporter, ada tiga permasalahan yang saya rangkum sehingga menimbulkan sebuag tag “Media Tidak Sehat”. Tidak sehat secara manajemen, redaksional, dan finansial. Nah, mungkin akan semakin sempurna elemen² tadi jika ada sebuah tuntutan atau prinsip media yang sehat itu hrs bisa diwujudkan sebuah media. Media harus mampu memenuhi kewajibannya untuk memberikan hakstaff kepada seluruh staffnya.

Secara manajemen, tiga media tersebut sangat timpang. Bagaimana mungkin seseorang yang posisinya ada dalam redaksi harus mengerjakantugas dalam produksi sekaligus? Oke, jika itu merupakan sebuah strategi dalam memajukan SDM. Namun, perlu dilihat kesiapan SDM nya. Jangan mengambil resiko yang besar yaitu keterlambatan terbitnya media. Itu sudah sangat fatal!Bahkan, seorang praktisi pers senior dari sebuah harian lokal ternama di Medanpernah mengatakan, sebisa mungkin orang² redaksi jangan perdan ikut campur urusan produksi dan perusahaan. Manajemen yang buruk! Itu adalah poin pertama dari tiga media yang saya tempati kala itu.

Kebobrokan lain adalah bidang redaksi. Pernah di media saya pernah bekerja dulu ada seorang redaktur senior yang hampir setiap hari sibuk dengan game onlie lewat sebuah situs jejaring sosialnya. Kerjanya hanya mengutip berita dan kali-kali hanya mengedit judulnya saja. Oh come on, satu orang bisa berdampak kepada yang lainnya. “Ah, si redaktur aja bisa main dan kerja nya gitu, aku juga lah” its fair!

Atau seorang reporter yang hanya dijadikan tukang catat, tukang wawancara, dan menjadi pendengar yang baik tanpa memberikan peluang untuk memberikan ide. Hei, reporter isn’t a robot! Bahkan kesiapan mental seorang pemimpin dalam memimpin redaksi masih perlu diuji kelayakannya. Yah, mungkin pelatihan leadership dperlukan untuk kasus ini, don’t get me wrong! .Dan yang terparah adalah persoalan finansial. Tidak sedikit media yang pada akhirnya gulung tikar karena tidak mampu menutupi biaya operasionalnya. Bahkan, saat saya menulis ini ketiga media tersebut masih mempunyai “hutang” yang sepertinya sengaja dilupakan. Saya sendiri tidak mengharapkan, namun itu tidak terjadi pada saya sendiri. Banyangkan jika posisi media di Indonesia ini banyak yang terkena virus tidak sehat. Bagaimana mungkin mereka bisa memandang tugas mereka yang mulia itu jika mereka sendiri pun tidak bisa berbenah diri menjadi media yang baik. So hypocrite, don’t you think huh? Mungkin ini menjadi salah satu atau penyebab tunggal yang menjadikan wartawan amplop di Indonesia. Banyangkan menurut dewan pers 70 % wartawan Indonesia tidakmelaksanakan Kode Etik Jurnalistik. Jelas masih sering nerima suap sana sini, gaji si wartawan dibawah UMR, malah sering telat lagi.

Apa sebaiknya posisi pers harus kembali ke masa orde baru? Dimana setiap media yang ingin terbit harus mempunyai izin usaha? Lihat betapa menjamurnya media massa saat ini, baik media cetak, elektronik, maupun media online, Namun tidak diikuti dengan kesehatan media. Mungkin kalau menurut saya, izin usaha media itu sepertinya diperlukan namun dibawah naungan sebuah lembaga, dewan pers mungkin atau lembaga baru. Nah, kalau pada orde baru izin usaha juga harus dibarengi dengan konten berita yang diatur, maka mungkin pada era sekarang, poin² kurang baik tersebut dihapuskan. Izin ini hanya untuk melihat seberapa siap media ini nantinya mampu menjalankan tugasnya sebagai social control? Bahkan kalau perlu diberlakukan sanksi yang keras terhadap media yang melenceng dari jalur yang sebenarnya. Sehingga media akan sadar apa sebenarnya tugas mereka, meskipun media tidak lepas dari dunia bisnis. Namun, peran sebagai pilar keempat dalam demokrasi adalah yang utama. Atau kalau memang susah dibilang dan semakin membandel, kembali saja ke sistem orde baru, kalau media tidak bisa menghargai demokrasi, maka demokrasi itu hanyalah sebuah abstraksi.

(foto: searching form Google)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun