Dear digital diary! Sudah berapa lama kamu saya abaikan? Hahahha, jangan bertanya kenapa ya? Kamu pasti akan bosan mendengar alasannya. Hari ini aku punya sedikit cerita untukmu. Jangan salahkan aku jika aku bercerita hanya pada saat aku ada waktu dan ingin bercerita padamu. Cukup berikan dimensimu padaku, maka aku akan menuangkannya ke dalam susunan kata yang bisa kau cerna. Kamu siap? Baiklah, siap atau tidak siap aku tetap akan bercerita. Kamu tahu, belakangan ini aku merasa sepertinya sedang masuk ke dalam fase gundah gulana. Aku juga tidak paham betul bagaimana mendefenisikan keadaan ini. Mungkin ini juga bagian dari fase gundah gulana itu. Ini bukan penyakit, karena dia tidak membuatku terluka. Menderita? Mungkin, tapi tidak semenderita orang-orang yang sedang ditimpa musibah atau ada dalam tragedi kehidupan yang menyakitkan. Sepulang kerja, aku selalu berpikir dengan sendirinya apakah aku sedang ada dalam sebuah mimpi yang berkepanjangan dan tidak tahu kapan terbangun. I just don’t know, sometimes I think I don’t feel my own life. Sudah hampir tepat setahun aku berada di Ibu Kota. Sudah menjalani tiga perusahaan (teman-temanku memanggilku kutu loncat krn tidak pernah betah bekerja di satu perusahaan). Berpindah – pindah kos tiga kali, dan sekarang mempertanyakan diri. Apa yang sudah aku dapat selepas menyelesaikan studi Sarjanaku . Bekerja? Sudah. Bahagia? Ntahlah. Mungkinkah aku mencari kebahagiaan. Well, semua orang mencari itu. Berarti aku masih normal. Masih seperti manusia kebanyakan. I just can’t stop thinking so damn much. Kemarin aku pulang kerja, dan masih berpusing-pusing ria, serta bertanya-tanya dalam hati. Apakah aku bahagia dengan hidupku sekarang? Apakah aku akan bahagia dengan pekerjaanku nantinya? Apakah aku akan mempunyai waktu untuk diriku sendiri? Bahkan ketika aku berdoa, aku malah lebih banyak bertanya ketimbang bersyukur. Oh, poor me! “Tak tik tuk, pletak pletik,” aku mengutak-ngatik smartphone ku sambil tiduran sepulang kerja. Bosan! Lalu setiba saja aku mengetik namaku di search engine, GOOGLE. Keyword “Irwan Sitinjak” lalu search…! Oke, halaman pertama, ada profil facebook, twitter, linked, my space, kompasiana, Oh my god! Semua social media. Fufufufu… Tiba-tiba ketemu nama “pepeng” dan ada namuku di dashboard judul. Curious! Kenapa ada namuku di blognya mas pepeng. Dengan ligat, aku membuka blog pribadinya dan aku teringat! Dua tahun yang lalu, mas pepeng pernah jadi “Tokoh Kita” di web beswan djarum (fyi, saya adalah beswan djarum angkatan 26, incase you guys wondering) dan saya sebagai beswan djarum diberi kesempatan untuk bertanya. Aku sebenarnya tidak terlalu ingat secara menyeluruh kemarin bertanya apa saja. Tapi lebih ke arah self courage. Bagaimana mas pepeng bisa menyelesaikan studi Masternya dalam keadaan sakit. Bagaimana dia masih bisa bersyukur di tengah keadaan yang sangat tidak menyenangkan. Bagaimana dia bisa berjuang untuk meraih mimpinya ketika keadaan diri sendiri kelihatan tidak bisa berlari untuk mengenggap mimpi. Bagaimana cara meredam kekecewaan? Terutama kekecewaan terhadap diri sendiri. Oh ya, apa kalian masih mengenal mas Pepeng? Sang host kuis era 90-an “Jareeee jareeee” ok, jika kau anak jaman sekarang dan belum kenal, silahkan googling terlebih dahulu :p Berikut kutipan jawaban mas pepeng yang aku copy dari blog beliau.
Irwan, terima kasih masih ingat jareee jareeee…. Program itu dimulai tahun 1992, pada HUT RCTI yang ke-3, dan berakhir pada tahun 2001. Genap 9 tahun saya jadi pembawa acara Jari Jari. Kekecewaan selalu jadi bagian dari kehidupan manusia. Masalahnya, apakah kita mampu menebusnya dengan tindakan ksatria? Mengakui bahwa kekecewaan adalah sebuah proses kemenangan yang tertunda, kemudian kita bangkit untuk mulai mencobanya. Protes kepada kenyataan tidak ada artinya. Hanya menambah beban pada jiwa kita yang bisa berdampak langsung membangkitkan watak manusia pada umumnya, yaitu, selalu mencari kesalahan atau menyalahkan apapun di luar dirinya agar bisa memuaskan ketidak mampuannya menyelesaikan masalah. Lebih parah lagi jika kita protes kepada Allah. Apa hak kita protes kepada SANG MAHA KUASA? Misal kita protes dengan pertanyaan: “Oh GOD, why me?” Lalu bayangkan jika Allah menjawab: “Why NOT?” Ilustrasi di atas saya uraikan untuk pengantar sebuah pertanyaan yang harus kita jawab dengan JUJUR dan penuh NYALI (courage): “Akankah selesai persoalan, kekecewaan dan semua yang terkait jika kita hanya protes dan marah saja?” Jawabannya ada pada diri kita masing-masing. 1. Apakah kita akan mengejar semua yang kita citakan dengan bangkit dan merebutnya kembali?. 2. Atau, cukup hanya dengan protes, marah menggerutu tanpa penyelesaian? Jika yang kita pilih yang nomor 2 berarti kita sudah menjadi korban atas persoalan kita sendiri. Sangat sayang jika dunia ini diisi dengan karakter manusia nomor 2 karena menyerahkan dirinya menjadi korban dan dikontrol oleh hal-hal yang merugikan. Manusia jenis ini bisa dikategorikan sebagai manusia “Learned helplessness” (manusia yang belajar untuk tidak berdaya) Untuk Anda Irwan, saya berdo’a semoga menjadi orang yang tak kenal putus asa. Penuh semangat seperti saat anda pertama kali belajar sepeda. Jatuh bangun, jatuh lagi. Bangun lagi sampai akhirnya Anda termangu merasakan keberhasilan naik sepeda dengan keseimbangan prima. Suatu hal yang Anda cita-citakan dengan teguh saat belajar dan ingin mahir bersepeda. Benarkah demikian? Satu hal yang menakjubkan saat kita anak-anak adalah kemampuan kita bangkit dan melenting setinggi-tingginya (tanpa rasa kecewa, apalagi putus asa sedikitpun). Hal itulah yang sangat kita butuhkan saat kita ingin berhasil meraih cita Irwan selamat berkarya. Sukses, sehat dan banyak rejeki untuk Anda Salam untuk keluarga….
Saya bukan tipe melankolis, tapi ketika membaca itu kembali di saat saya berada dalam low courage, saya cukup tersentuh. Saya membaca berulang-ulang part ini “Untuk Anda Irwan, saya berdo’a semoga menjadi orang yang tak kenal putus asa. Penuh semangat seperti saat anda pertama kali belajar sepeda.” Dan “Irwan selamat berkarya. Sukses, sehat dan banyak rejeki untuk Anda” karena pesan itu khusus untuk saya, seakan ia tahu bahwa saya memang sedang dihadapkan pada fase kekecewaan yang besar. Thankyou mas Pepeng! You are blessed! Dan terima kasih buat dua buku hadiahnya :D And for you guys who read this! Keep your dream alive! Go catch your dream dan make it real! Never give up! Do good and Be good!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H