Pagi itu gue terbangun lebih siang dari Sabtu biasanya. Maklum, weekend is another heaven on earth bagi gue. When Saturday comes, nothing else matters to me except oversleep. Dan pagi itu, gue ternyata masih melihat, bernafas, bergerak, dan tinggal di Negara yang dilintasi garis khatulistiwa yang masih berpresiden SBY. Susilo Bambang Yudhoyono, seketiba gue ingat apa yang memberatkan daya logika gue kemarin malam. Lagi-lagi isu baru politik yang menyerap perhatian khalayak ramai Indonesia, bahkan dunia sepertinya. Terkait hebohnya RUU pemilihan kepada daerah yang mekanismenya diatur oleh DPRD.
Rasanya, belum cukup semalaman nongkrongin timeline twitter dan path yang totally disagree atas keputusan ini. Saya masih tidak terima atas kemunduran demokrasi ini. Terlalu banyak postingan yang saya post di social media hingga perhatian gue tertuju pada komentar cerdas teman gue yang saat ini sedang kuliah di Edinburgh, Scotland.
BURUK MUKA, DEMOKRASI DIBELAH
Karena lagi gak di Indonesia, gue gak terlalu mengikuti pro-kontra yang menyertai RUU Pemilihan Kepala Daerah. Gue tahu ada wacana untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD, tapu gue selalu mikir kalo it just a joke, maksud gue, yang bener aja, orang di Senayan sedangkal itu untuk membawa Demokrasi di negeri ini melangkah mundur ke era orde baru. Terus malem ini, pas gue buka Path , ada temen yang posting bahwa hasil sidang DPR memutuskan bahwa kepala daerah dipilih oleh DPR.
Terus konyolnya lagi, Demokrat malah gak ikutan voting, karena walkout dari sidang. Bayangkan, mereka punya lebih dari 150 hak suara yang menetukan masa depan negeri ini dan malah disia-siakan. Demi pencitraan ? Katanya memilih netral karena aspirasinya tidak diakomodir, gue rasa kita semua milih wakil rakyat itu untuk mengambil keputusan. Bukan untuk sok-sok bersikap netral. Pemimpin dibayar lebih mahal dari orang-orang yang dipimpinnya, untuk mengambil keputusan. Dan kita punya 158 wakil rakyat, yang tak berani melakukan itu. Buat Demokrat, gue rasa kutipan dari Dante dalam Infernonya Dan Brown paling cocok ” Tempat terdalam di neraka dicadangkan bagi mereka yang memilih untuk netral di tengah krisis moral “
Terus gue lucu aja sama statement mereka yang pro pemilihan kepala daerah melalui DPRD, Hasyim Muzadi bilang “Rakyat, saat ini, berpikir bagaimana caranya bisa makan. Rakyat hanya berpikir bagaimana mendapatkan sembako . Mereka tidak berpikir bagaimana berdemokrasi secara benar “. Ha, memalukan !
Gue gak bawa banyak buku ke UK, tapi salah satu buku yang gue bawa adalah ” Indonesia Merdeka”, buku berisi pidato pembelaannya Bung Hatta di pengadilan Belanda tahun 1928. Ada beberapa part dalam pidato itu yang gue suka, salah satunya ketika menanggapi statement bahwa Indonesia belum siap untuk merdeka, karena kebanyakan masyarakatnya masih bodoh dan buta huruf.
Dalam pidatonya Bung Hatta bilang ” Apakah Indonesia harus menunggu, sampai petani terakhir dari desa yang penghabisan mendapat pendidikan dalam ketatanegaraan, untuk menjadi matang buat pemerintahan sendiri ? Tidak Tuan, persoalan apakah suatu bangsa cakap untuk memerintah dirinya sendiri tidaklah tergantung daripada jumlah jiwa yang melek huruf, tapi pertama-tama adalah soal adanya lembaga-lembaga demokrasi dan semangat kaum inteleknya. Dan Indonesia dapat memenuhi kedua syarat itu “
Dan kini berpuluh-puluh tahun kemudian, gue mempertanyakan yang sama. Apakah kita harus menunggu sampai tingkat kemiskinan negara kita jadi 0%, dan 100% penduduknya sudah menguasai ilmu politik, demokrasi, dsb , baru kita bisa memilih kepala daerah secara langsung ?
Gue tahu bahwa pilkada selama ini banyak kelemahannya, politik uang dimana-mana. Tapi gue percaya, untuk matang dalam berdemokrasi, kita butuh pembelajaran, dan carut-marut selama pilkada itu adalah bagian dari proses pembelajaran kita sebagai sebuah bangsa, dan seiring berjalannya waktu dan perbaikan sistem, demokrasi kita akan semakin dewasa. Buktinya, dari pilkada langsung itu, kita akhirnya menemukan pemimpin-pemimpin yang kompeten , ada Jokowi, ada Ridwan Kamil, Risma, dsb.
Justru yang aneh dalam sistem demokrasi Indonesia adalah partai-partainya. Gue pernah lihat spanduk selamat ulang tahun PDIP yang ke 40 dengan gambar Megawati, dan gue ngerasa sedih aja, udah 40 tahun dan ketua umumnya masih Megawati ? Aneh aja, lo milih wakil rakyat, terus ntar wakil yang lo pilih itu harus nurut sama sang ketua umum. Ambigu banget kan demokrasinya. Dan ini gak hanya terjadi di PDIP, pengkultusan ini terjadi di banyak partrai, Demokrat dengan SBY-nya, Gerindra dengan Prabowo-nya, begitu juga dengan Golkar. Maksud gue, ada yang salah dengan sistem governance partai di Indonesia. Dan kita sekarang, menyerahkan pemilihan kepala daerah 34 provinsi, dan ratusan kota/kabupaten ke tangan mereka.