Terperangah juga saya mendengar presentasi dari seorang motivator muda asal Yogyakarta, Arif Budiman. Beliau mengaku tidak memilih-milih tempat "manggung". Dan setiap tampil, standar yang diberikan sama saja, baik saat diundang para pejabat dengan tarif Rp 15 juta, untuk satu sampai dua jam presentasi dan tanya jawab, ataupun saat tampil di depan petani kampung dengan imbalan 4 kg buah salak senilai Rp 100 ribu.
Hanya saat menerima honor Rp 100 ribu, beliau dalam batin membuat "perjanjian rahasia" dengan Allah. KIra-kira perjanjiannya begini: "Ya Allah, Engkau tahu bawa standarku adalah Rp 15 juta. Hari ini aku baru mendapat Rp 100 ribu. Maka aku ada tagihan pada-Mu Rp 14.900.000". Terlepas dari apapun penafsiran orang lain, nyatanya berdasarkan pengalaman sang motivator tersebut selama ini, Allah selalu "membayar" utang tersebut, bahkan melebihi dari yang "diperjanjikan".
Utang piutang dengan Sang Khalik, mungkin bisa menjadi polemik tak berkesudahan. Tapi yang ingin saya sampaikan di sini adalah, bahwa tugas kita adalah sebatas berbuat baik kepada orang lain. Nanti yang membalas bisa jadi bukan dari orang yang kita bantu, tapi Allah mengirimnya dari sumber yang tak kita duga.
Saya sendiri secara pribadi tidak setuju membuat "utang piutang" dengan Allah. Tapi pengalaman saya yang dalam urusan duniawi sering merasa dirugikan, sering pula mendapat ganti dari hal lain di luar perhitungan semula. Terakhir saya betul-betul kecewa terkait ketelodoran saya dalam urusan uang cuti di kantor.
Ceritanya begini, di kantor tempat saya bekerja, setiap karyawan mendapat uang cuti tahunan sebanyak satu kali gaji bulanan di luar tunjangan. Lalu setiap enam tahun sekali, namanya bukan cuti tahunan, tapi cuti besar dengan uang sebesar tiga kali gaji. Suatu kali, di saat saya sudah berhak untuk mengajukan cuti besar, saya tidak mengambil hak tersebut, tapi tetap mengajukan cuti tahunan biasa. Artinya, cuti besarnya saya geser ke awal tahun berikutnya, karena gencarnya isu akan ada kenaikan gaji besar-besaran di awal tahun.
Ternyata memang ada kenaikan gaji di tahun berikutnya, tapi tidak sebesar yang digembar-gemborkan teman-teman yang katanya dapat info valid dari direksi. Saya tidak menyadari gara-gara keputusan saya di masa lalu tersebut, membuat saya kehilangan satu kali cuti besar di akhir masa tugas saya, karena siklus enam tahunannya jatuh di tahun terakhir pengabdian saya. Namun gara-gara dulu pernah saya geser, siklus enam tahunnya jatuh di saat saya sudah pensiun kelak, alias tidak lagi berhak atas uang cuti besar.Â
Menyadari hal tersebut, saya mencoba berjuang dengan membuat surat permohonan resmi ke Divisi  Human Capital. Di samping itu saya juga melakukan pendekatan informal ke pejabat yang memutuskan permohonan ini. Tapi akhirnya jawaban resmi dari Divisi Human Capital adalah bahwa saya tidak berhak melakukan revisi atas ketelodoran di masa lalu tersebut. Ya sudah, saya merasa sudah berusaha, namun memang bukan rezeki saya rupanya.
Satu bulan setelah itu, ada seseorang yang secara posisi jabatan berada satu lapis di bawah saya mengajukan permohonan mengikuti pelatihan selama seminggu di London. Untuk pelatihan seperti ini keputusan akhir ada di tangan direktur. Namun surat permohonannya membutuhkan tanda tangan saya sebelum sampai di meja direktur.Â
Ada keinginan saya untuk tidak menandatangani surat permohonan tersebut, karena berkali-kali direksi memberi pengarahan tentang pentingnya budaya efisiensi, dan saya melihat biaya pelatihan dan akomodasi ke London relatif mahal. Saya tidak ingin sekadar melempar beban ke direksi, agar terlihat akomodatif ke anak buah, dalam arti membiarkan direksi yang bertugas untuk menolak, padahal justru saya yang harus bisa menyaring.
Agar bisa win-win solution, akhirnya saya ajak si pemohon untuk menghadap sang direktur sekadar secara lisan memberi aba-aba bahwa kalau beliau berkenan, akan saya layangkan surat permohonan resmi. Eh gak tahunya, sang direktur malah sangat setuju dan bertanya apakah saya tidak tertarik untuk ikut sekalian, kenapa hanya seorang anak buah saja yang diusul?
Alhamdulillah, sebelumnya tidak terbersit sedikit pun keinginan saya untuk ikut pelatihan di Eropa, sekarang bak durian runtuh, saya malah diminta untuk ikut. Akhirnya jadilah saya terbang ke London dan Cambridge, yang liputan perjalanannya sudah saya tulis dalam beberapa tulisan saya di Kompasiana tanggal 10 sampai 17 April 2016 yang lalu.Â