Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Terbit Liurku Melihat Kolak

28 Juni 2016   17:09 Diperbarui: 28 Juni 2016   17:22 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terbit liurku melihat kolak
Di jual orang di tepi jalan
Untung teringat nasehat emak
Di situ aku dilarang makan

Terus kupergi menoleh tidak
Ubi kubeli serta cempedak

Kolak sekarang dimasak emak
Kami menanti tidaklah lama
Harganya murah rasanya enak
Kudapan bersih makan bersama

Itulah pantun yang terdapat pada pelajaran Bahasa Indonesia anak SD era tahun 1960-an sampai 1970-an. Generasi anak sekolah yang memakai buku teks "Ini Budi, Ini Ibu Budi" tentu tidak mengenal pantun tersebut.

Bagi saya pantun tersebut menarik, di samping karena kosakatanya yang kuno yang sekarang tidak dipakai lagi seperti liur (air ludah, iler), cempedak (nangka), dan kudapan (cemilan, snack), juga karena ada pesan moral yang amat kuat bahwa kalau bisa membuat sendiri, kenapa harus membeli? Membuat makanan sendiri akan jauh lebih murah dan lebih sehat. 

Tapi dalam konteks masa kini, ketika perempuan lebih memilih bekerja secara formal (jadi orang kantoran atau jadi buruh pabrik) ketimbang jadi ibu rumah tangga, dan ketika para pedagang makanan sangat banyak dan gencar menjajakan barangnya (dari kantor ke kantor, pesan online antar alamat), maka membeli makanan seperti tidak terhindarkan. Membuat sendiri bukannya tidak bisa, tapi tidak punya waktu, 

Dulu, di dekade 1970-an, di sepuluh hari terakhir bulan puasa, ibu saya dibantu dua orang kakak perempuan saya, setiap hari memasak kue untuk disajikan saat lebaran. Satu hari satu atau dua macam kue. Belum ada kue nastar atau putri salju. Peralatannya amat sederhana, masih pakai tungku dengan bahan bakar sabut kelapa. Di tiga hari terakhir, yang dimasak bukan kue lagi, tapi rendang daging, dan masakan lain yang tahan lama untuk kebutuhan selama beberapa hari lebaran yang akan dimakan sendiri serta tamu yang datang. 

Sekarang, ibu-ibu yang se kantor dengan saya lagi sibuk memilih kue yang akan dipesan, atau membeli langsung di bazar di halaman kantor. Menurut saya, hal tersebut baik-baik saja adanya. Paling tidak, industri skala kecil yang memproduksi kue kering jadi tertolong. Ibu-ibu juga tertolong, tidak perlu capek-capek bikin kue, dan belum tentu juga ibu-ibu zaman sekarang pintar membuat kue seperti ibu-ibu zaman dulu. Uang THR dari kantor segera berputar ke tukang jual kue, kios pakaian, toko sepatu, dan sebagainya. Yah, hitung-hitung anggap saja bagi-bagi rezeki.

Tapi bagaimanapun juga, menurut saya, seandainya bisa membuat sendiri, akan lebih baik lagi. Kenapa? Karena kata pantun di atas lebih murah dan lebih sehat. Kemudian juga mengasah ketrampilan yang siapa tahu bisa dikomersilkan bila kelak terkena PHK atau saat sudah pensiun. 

[caption caption="Kue yang dibeli ibu-ibu di kantor"][/caption]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun